Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzâb:59)
Imam Suyuthi rahimahullah berkata, “Ayat ini adalah ayat hijab yang berlaku bagi seluruh wanita. Di dalamnya berisi kewajiban untuk menutupi kepala dan wajah mereka”.
Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala secara khusus telah menyebut istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri-putrinya. Hal itu, mengingat tingginya kedudukan mereka, dan bahwa mereka lebih berhak untuk mengamalkannya dibandingkan yang lain, dikarenakan kedekatan mereka di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. at-Tahrîm:6)
Kemudian, Allah Ta’ala memberlakukan hukum memakai hijab ini bagi semua wanita yang beriman. Ayat ini seperti halnya pada ayat hijab yang pertama, memiliki kandungan yang sangat jelas, yaitu: diwajibkan bagi semua wanita yang beriman, agar menutup wajah, seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakainya, dari pandangan laki-laki lain yang bukan mahrom mereka. Sedangkan hijab tersebut adalah, dengan memakai jilbab yang dapat menutupi wajah, seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakai. Semua ini dimaksudkan, agar wanita yang berhijab tersebut berbeda dengan para wanita jahiliyah yang terbuka auratnya. Sehingga, bagi para wanita yang berhijab, akan terjaga dari tangan jahil yang berupaya mengusiknya.
Adapun dalil-dalil dalam ayat ini, yang menyatakan perintah menutup wajah, terdiri dari beberapa aspek berikut ini:
Aspek pertama, makna jilbab di dalam ayat ini, adalah sebagaimana dalam bahasa Arab; yaitu: pakaian besar yang bisa menutupi seluruh tubuh. Disebut juga dengan al-mulâah dan al-‘abâah. Dipakai wanita di atas pakaiannya, mulai dari atas kepala dalam keadaan menjulur ke bawah sampai muka, seluruh tubuh dan perhiasan yang melekat pada tubuhnya, lalu memanjang hingga menutupi kedua telapak kakinya.
Dengan demikian, maka menutup muka dengan jilbab sebagaimana menutup seluruh anggota tubuh lainnya, secara bahasa maupun syar’i, adalah suatu keharusan.
Aspek kedua, bahwa jilbab dipakai untuk menutup muka, merupakan makna yang pertama kali dimaksud di sini. Hal itu, mengingat realitas yang tampak pada sebagian kaum wanita zaman jahiliyah dulu, adalah muka mereka. Lalu, Allah Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Nabi dan para wanita yang beriman, agar menutupi muka mereka, dengan menjulurkan jilbab yang mereka pakai ke arah mukanya.
Sedangkan untuk mengungkapkan perintah tersebut, di sini Allah Ta’ala menggunakan lafazh “yudnîna”, dengan huruf bantu “’ala”, yang mengandung arti: menjulurkan. Sedang menjulurkan hanya bisa dilakukan dari atas. Berarti, di sini maksudnya: mulai dari atas kepala sampai ke muka dan badan.
Aspek ketiga, bahwa penutupan jilbab pada muka dan seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakai, adalah sebagaimana yang telah dipahami oleh istri-istri para sahabat Nabi –semoga Allah meridhai mereka-. Hal itu sesuai dengan riwayat Abdurrrazaq dalam kitab “al-Mushannaf”, dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang berkata,
لَماَّ نَزَلَتْ هذِهِ الآيَةُ: (يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ….) الآيةَ, خَرَجَ نِسآءُ اْلأَنْصَارِكَأَنَّ عَلَى رُؤُوْسِهِنَّ اْلغِرْبَانَ مِنَ السَّكيْنَةِ, وَعَلَيْهِنَّ أَكِيْسَةٌ سُوْدٌ يَلْبَسْنَهَا
“Pada saat turun ayat, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” dst, maka keluarlah para wanita dari kalangan Anshar dengan tenang, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak, dan ada di atas mereka adalah pakaian hitam yang mereka kenakan”.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
رَحِمَ اللهُ تَعَالَى نِسآءَ اْلأَنْصَارِ, لما نزلت (يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ……) الآية, شققن مروطهن, فاعتجرن بها, فصلّين خلف رسول الله صلّى الله عليه وسلم كأنما على رؤوسهن الغربان
“Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita kalangan Anshar, karena pada saat turun ayat,”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu….” dst, mereka menyobek pakaian mantel mereka dan menutupi muka mereka dengannya. Lalu, mereka shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan khusyu’ dan tenang), seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
يرحم الله نسآء المهاجرات الأول, لما أنزل الله: (وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ) شققن مروطهن فاختمرن بها
Mudah-mudahan Allah merahmati para wanita generasi pertama yang hijrah ke Medinah, mengingat ketika Allah menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.”(QS. an-Nûr:31), maka mereka menyobek pakaian mantel mereka, lalu menjadikannya kerudung.
Arti harfiah lafazh al-‘itijâr adalah al-ikhtimâr. Maka, arti kalimat “‘itajarna bihâ” yang ada di dalam hadis Aisyah radhiallahu ‘anha di atas adalah “ikhtamarna bihâ”, yang juga berarti “ghaththaina wujûhahunna”; yaitu: mereka menutupi muka mereka.
Diriwayatkan dari Ummu Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم أن نخرجهن في الفطر والأضحى؛ العواتق, والحيض, وذوات الخدور, أما الحيض فيعتزلن الصلاة ويشهدن الخير ودعوة المسلمين. قلت: يا رسول الله! إحدانا لايكون لها جلباب؟ قال: لتلبسها أختها من جلبابها
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyuruh kami, agar pada hari raya iedul fitri dan iedul adha, mengajak keluar para gadis (yang belum kawin), wanita yang sedang haid dan yang berdiam diri dalam rumah. Adapun para wanita yang sedang haid, mereka tidak usah melakukan shalat dan cukup berpartisipasi dalam kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab? Beliau menjawab, “Hendaknya saudara perempuannya memakaikan dari jilbabnya kepadanya”. Kedudukan hadis ini sahih menurut kesepakatan ulama ahli hadits.
Hadis ini sangat jelas menyatakan larangan bagi seorang wanita menampakkan dirinya di depan laki-laki lain, tanpa mengenakan jilbab. Wallâhu a’lam
Aspek keempat, di dalam ayat hijab di atas terdapat qarînah nashshiyah atau petunjuk tekstual, yang menyatakan makna jilbab, serta respons cepat para wanita dari kalangan Anshar dan Muhajirin, yang segera menutupi muka, dengan menjulurkan jilbab mereka ke arah muka-muka mereka. Petunjuk tersebut adalah, bahwa di dalam firman Allah Ta’ala, “katakanlah kepada istri-istrimu“ itu, tersirat kewajiban untuk memberi hijab dan menutupi muka istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, hal itu tidak ada seorang pun di antara kaum muslimin yang menentang atau memperdebatkannya. Di dalam ayat hijab ini, disebutkan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta anak-anak perempuannya dan para wanita yang beriman. Hal ini secara jelas menunjukkan kewajiban bagi seluruh wanita yang beriman, agar menutupi muka-muka mereka, dengan cara mengulurkan jilbab.
Aspek kelima, penetapan alasan, dengan pernyataan “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”, kembali kepada tindakan wanita tersebut untuk mengulurkan jilbab mereka, di mana itu dipahami dari lafazh “yudnîna” (menjulurkan), yang terdapat dalam ayat hijab ini. Secara prioritas, ini menetapkan kewajiban menutup muka, karena menutup muka adalah sebagai tanda untuk mengenali para wanita ‘afîfât (yang suci). Sehingga, dengan demikian, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Ayat ini dengan tegas memerintahkan wanita untuk menutup mukanya. Hal itu dikarenakan wanita yang menutupi mukanya, tidak mungkin ada laki-laki usil yang berusaha menjahilinya, dengan menyingkap bagian lain tubuhnya maupun aurat utamanya. Dengan demikian, ketika seorang wanita membuka penutup mukanya, maka yang demikian itu, akan memicu orang-orang bodoh untuk berbuat usil kepadanya. Maka, penetapan alasan dalam ayat ini, menunjukkan kewajiban bagi para wanita yang beriman untuk menutup seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakainya dengan jilbab. Hal itu tiada lain, agar mereka diketahui memiliki ‘iffah (kesucian diri), jauh dan terjaga dari pengaruh orang-orang jahat dan mencurigakan. Juga, agar mereka tidak terfitnah, dan tidak menimbulkan fitnah bagi yang lainnya. Sehingga, dengan demikian, mereka tidak akan diganggu dan disakiti.
Sangat dimaklumi, jika seorang wanita dalam keadaan sangat tertutup rapat, maka tidak seorang pun yang dalam hatinya terdapat penyakit, berani menjahilinya, dan ia pun terhindar dari pandangan-pandangan mata yang khianat. Berbeda dengan seorang wanita yang membuka auratnya, yang mengumbar wajahnya, maka tentunya, ia dengan penampilannya itu akan menggugah birahi laki-laki manapun yang memandangnya.
Ketahuilah, bahwa menutup dengan memakai jilbab, yaitu: menutupi para wanita ‘afîfât (yang suci); konsekwensinya, bahwa jilbab tersebut harus dipakai di atas kepala, bukan di atas kedua pundak. Juga, agar pada kain jilbab atau ‘abâ’ah itu tidak terdapat hiasan, atau bahkan diberi motif-motif maupun bordiran. Serta, jilbab tersebut harus tidak mengundang orang lain untuk memandangnya. Jika ternyata tidak demikian, maka jilbab tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan maksud syariat, yaitu: menyembunyikan dan menutupi tubuh wanita beserta perhiasan yang dipakainya, dari penglihatan laki-laki yang bukan mahromnya.
Seorang wanita muslimah seharusnya tidak tertipu, atau terpedaya dengan para wanita tomboi (yang menyerupai laki-laki), yang lebih asyik bergelut dengan kaum laki-laki dan berusaha mencari perhatian orang lain, yang dengan penampilannya, memproklamirkan sebagai para pesolek dan pengumbar aurat, dan membelot dari garis wanita yang semestinya; yaitu: wanita yang seharusnya menjadi lentera bagi rumah tangga yang suci, yang bertakwa dan yang mulia. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan bagi para wanita yang beriman, untuk tetap mempunyai kesucian dan semua hal yang mengantarkan kepadanya. Amîn.
Sumber : حراسة الفضيلة, syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed , semoga Alloh merahmatinya.
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet
apakah benar yang dimaksud dalam ayt (QS. al-
Ahzâb:59) mengnai jilbab adalh jilbab yg skarng kita kthui mnutupi kpala sampai d lher dn dada ?
ataukah ayt trsbut malah mngatakn bahwa kita harus mmkai pakaian yg mnutupi dada dn kmaluan. bukan mnutpi kpala.
apakah ada ayat alquran yg mngatakan harus mntupi kepala dn leher. kalau ada, mhon ntuk jlaskan kpda saya. krna sy ingn blajar.