Bolehkan berpedoman pada perhitungan lembaga teropong bintang dalam menetapkan mulai dan berakhirnya suatu bulan?
Jawab :
Metode syari’at dalam menetapkan masuknya bulan adalah dengan cara melakukan ru’yat (melihat) hilal (bulan sabit) dan hal itu harus dilakukan oleh orang yang dipercaya loyalitasnya terhadap agama di samping memiliki penglihatan mata yang tajam. Jika orang-orang yang semacam itu telah melihatnya, maka berdasarkan ru’yah (penglihatan) tersebut wajib melaksanakan puasa jika itu hilal Ramadhan dan wajib berbuka jika itu hilal Syawwal.
Tidak boleh berpedoman pada penghitungan lembaga teropong bintang jika memang belum melihatnya. Tapi jika telah dilakukan ru’yah walaupun dengan menggunakan teropong bintang, maka hal itu boleh dijadikan patokan. Hal ini karena keumuman sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
“Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah.”
Sedangkan hisab (perhitungan), tidak boleh dijadikan pedoman dan patokan.
Adapun menggunakan teleskop untuk melihat hilal, maka hal itu tidak mengapa, hanya saja tidak wajib, karena yang zhahir dalilnya dari As-Sunnah adalah berpedoman pada penglihatan biasa, bukan yang lainnya. Kendati demikian, jika menggunakan alat tersebut dan yang melihatnya adalah orang yang dapat dipercaya, maka ia boleh melakukan ru’yat dengan itu. Orang-orang zaman dulu melakukan ru’yat dengan cara naik ke menara yang tinggi pada malam ketiga puluh Sya’ban atau malam ketiga puluh Ramadhan. Jadi mereka melihat terbitnya bulan dengan perantaraan itu. Yang jelas, jika ru’yat (penglihatan) itu telah jelas dengan cara apapun, maka hasilnya harus dipakai (dijadikan patokan) karena keumuman sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam , “Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah.”
Sumber : Kitab Ad-Da’wah, Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2/150-151). )