Angin Prahara
(Serial Kisah Pertaubatan, bag.5)
Seolah-olah berbagai jalan kematian
sedang mengarah kepadamu
Mereka mengejar dirimu. Lihatlah,
ada perlu apa ia denganmu
Akan datang suatu hari, di mana engkau kala itu
tidak ada lagi kehormatan
Lebih dari sekedar disiramkannya tanah ke atas tubuhmu
***
Ternyata lebih cepat dari yang kubayangkan. Kini sudah mulai hitungan mundur menuju tanggal pernikahanku. Semakin dekat waktunya, semakin besar rasa tanggung jawabku dan semakin besar pula usahaku.
Berbagai perasaan dan bisikan hati, tidak pernah lepas dari diriku…
Menurut jadwalku, waktu yang tersisa tinggal satu bulan atau lebih sedikit. Segalanya akan kubereskan.
Persoalannya sederhana, tidak membutuhkan waktu lama. Namun kemudian aku mengetahui, ternyata aku menghabiskan waktu satu minggu lebih hanya untuk memilih peralatan. Yang terakhir kali kupersiapkan adalah dapur.
Sekarang masih ada waktu luang, yaitu satu minggu, angan-anganku pun melambung. Mimpi-mimpi berbunga terus mengejarku dan kegembiraan selalu mengiringiku. Aku membiarkan angan-anganku terus berjalan, tidak mengenal tidur.
Aku mulai mondar-mandir di rumahku. Sengaja duduk-duduk, atau menikmati keheningan tempat itu sambil minum teh. Aku menjulurkan kakiku, agar terasa nyaman. Pagi yang penuh harapan…Aku membolak-balik koran dan membaca majalah. Setiap topik yang berhubungan dengan pernikahan dan anak, menjadi perhatianku. Topik yang menarik, bacalah, sebelum engkau menikah. Aku berkata dengan tenang, “Setiap orang mengajakku berbicara soal pernikahan minggu ini, dimulai dari anak-anak kecil, sampai koran dan majalah.
Aku membacanya dengan lancar. Banyak sekali nasehat, bertubi-tubi. Pemeriksaan medis pra nikah. Aku mengulang membacanya. Ada juga fungsi pernikahan, dan akhirnya, pentingnya menikah.
Pernikahan itu selalu menggelayuti diriku selama dua hari ini bahkan menguasai otakku. Menurut pendapatku yang harus aku lakukan yaitu :
Langkah pertama : Melakukan pemeriksaan medis. Lalu aku mulai memberikan sampel air seni dan lain-lain untuk diperiksa. Setelah diperiksa oleh dokter, hasilnya dilaporkan tiga hari kemudian.
Aku pergi bersama angan-anganku. Ketika datang waktunya, aku merasa berat sekali. Apa gunanya pemeriksaan medis ? Semua orang menikah tanpa pemeriksaan itu ?
Aku bangkit, namun ternyata aku datang terlambat. Ketika tiba waktuku menemui dokter, aku berjalan dengan santai. Dokter mengeluarkan berkas-berkas pemeriksaan. Ia mulai membaca. Ia membalik kertas itu sekali lagi, mencuri pandang kepadaku berkali-kali. Ketika aku bertanya, “Ada sesuatu dok ?” Ia segera meletakkan kertas-kertas itu di atas mejanya, tanpa basa-basi ia berkata, “Ada dugaan kanker darah.”
Aku tidak mempercayai pendengaranku. Rasa kaget yang demikian sangat, membuatku tidak mampu berbicara. Aku memandangi dokter itu. Matanya turut berbicara . Aku bertanya, “Bagaimana ?”
Jangan khawatir, hanya dugaan sebagai kanker. Biar saya memeriksamu lagi.
Aku tidak mampu bergerak dari tempatku. Ia merasa bahwa ia salah dalam mendiagnosaku. Ia membentangkan tangannya dan membantuku berbaring. Aku mulai bernafas dengan kuat, untuk meyakinkan diri bahwa aku masih mempunyai kekuatan untuk hidup. Ia membuka mataku, memandanginya dan mendengarkan detak jantungku. Persoalannya mudah dan remeh, kita ulang saja pemeriksaannya…!!
Aku datang dengan membawa mimpi dan angan-angan, namun sekaligus membawa duka dan kesedihan. Semuanya terjadi hanya dalam beberapa saat.
Aku terus memikirkan kondisiku. Aku memberhentikan mobilku di pinggir jalan, kupejamkan mata. Untuk apa aku berpikir ? Bukankah aku tinggal menunggu kematian ?
Aku berpikir dan berpikir. Diriku, keluargaku, dan akhirnya ? Apa yang harus kukatakan ?
Kalau hasil pemeriksaan membuktikan adanya penyakit itu, apakah aku harus diam atau memberitahukan calon istriku ? Tidak ada waktu lagi, hanya beberapa hari saja, menikah atau tidak ?
Aku tidak dapat tertidur malam itu.
Pagi harinya, aku meninggalkan pekerjaanku dan pergi menuju laboratorium. Darahku diambil. Aku katakan, “Ambil saja yang banyak, sehingga kita yakin. Mudah-mudaha ia mengambil sesuai keinginanku atau lebih banyak lagi, sehingga tidak ada darah tersisa dalam uratku. Yang tersisa hanya kedukaan dan kesenduan.
Aku tidak berhenti berpikir. Mudah-mudahan analisa itu keliru. Namun sesuatu dalam hatiku menyatakan, “Masalah itu benar adanya.”
Aku meninggalkan rumah, semenjak kemarin sore. Poci teh kubiarkan dengan harapan aku dapat kembali. Bagaikan burung dalam sangkar besi. Terbang dan terbang mencari jalan keluar. Menabrak segala arah yang dituju, tidak peduli, meski tanpa hasil.
Semua yang berjumpa denganku mengatakan, ‘Wajahmu berubah. Inilah wajah orang yang ingin menikah ! Mungkin karena saking gembiranya hendak menikah ? Engkau mulia khawatir sekarang ya ?”
Perbincangan mereka mengarah ke satu kutub, sementara aku berada ada di kutub yang berlainan…
Menunggu tiga hari adalah masa penantian yang lama. Untuk menghilangkan keragu-raguan, aku pergi memeriksakan diri ke tempat lain. Pada hari itu juga, aku menghubungi tempat pemeriksaan pertama. Tidak ada kabar, esok lusanya juga tidak ada kabar berita.
Alangkah lamanya menunggu besok dan besok lusa, apakah aku sedang menunggu kematian, ataukah masih ada harapan hidup? Aku membatalkan semua janji dan kunjungan-kunjungan. Sampai membeli kebutuhan-kebutuhan perlengkapan rumah tangga saja kutinggalkan.
Aku tidak mau berjumpa dengan siapa pun. Aku melihat dunia ini seakan mau berpisah. Aku menyembunyikan wajahku dari ibuku.
Aku menghadapi hari-hari ku, dan kulihat air matanya berderai saat aku mengadukan hal itu kepadanya. Adapun ayahku, amat sedih memiriskan hati.
Ia berusaha bergurau denganku tentang pernikahan. Aku katakan dengan tenang, “Besok, mungkin engkau mendengar kabar lain. Di hari ketiga aku sudah tenang.”
Aku berpikir, kalau benar kenyataan itu, aku tidak akan menikah. Akan tetapi kecintaan terhadap kehidupan ini, mengusik hatiku.
Banyak orang yang hidup dengan penyakit semacam ini, bahkan lebih dari itu. Harapan ada di Tangan Allah. Kalau begitu, aku kabarkan saja kepada calon istriku.
Pada jam setengah lima, aku berdiri di depan ruang periksa dalam keadaan sedih. Semoga dokternya datang lebih awal. Namun tidak juga datang ketentuannya. Aku menunggu hingga dua jam. Rasanya lebih lama bagiku daripada dua tahun. Ketika dokter memberitahukan kepadaku bahwa hasilnya sudah ada, aku segera berdiri. Ia membuka catatan hasilnya. Aku mulai gemetar, seolah-olah sedang dalam musim dingin yang menusuk. Adapun jantungku, berdebar demikian cepat, demikian kuat. Kedua lututku, aku tidak mengerti, mengapa tidak mampu menopang tubuhku lagi. Meski keringat bercucuran keras dan jiwaku bertumpang tindih, namun ia memberikan kabar gembira, alhamdulillah. Aku tidak membiarkan dokter itu menyempurnakan bacaannya. Aku membacanya sekali lagi. Meyakinkan diriku hingga akhir catatan kubaca.
Aku keluar dengan gembira. Aku selamat dari bayang-bayangku. Dengan cepat aku menuju rumah.
Musim semi masih bertengger dalam hatiku, walaupun keringat masih membasahi keningku.
Aku beristirahat, namun tidak bisa tinggal terus di rumah. Aku segera mengendarai mobilku dan memberi salam kepada ibuku. Ia memperhatikan bahwa aku begitu semangat, kegembiraan tergambar di wajahku. Kenapa segembira itu ? “Ada apa denganmu ?” Surat catatan di tanganku menceritakan segalanya. Saudaraku menimpali, “dan engkau tidak memberitahukan hal itu kepada kami ?!”
Anak Adam itu lemah, namun ia sombong dan congkak. Kesombongan dan kebanggaannya menjatuhkan dirinya sendiri.
Hanya virus kecil, kuman yang tidak terlihat. Takut mati, namun tidak beramal untuk menghadapi mati. Gembira dengan kesehatan dan keselamatan, namun tidak menggunakannya.
Berbagai kejadian berlalu, dan berbagai bencana terjadi, ia sudah berada dalam urusan lain.
Adapun engkau, baru saja dibangkitkan lagi, tetapi…
Itulah kematian…
Lembah mana mana saja yang engkau singgahi
Niscaya engkau akan mendatangi kematian itu
Atau ia sendiri yang akan datang kepadamu
Masih banyak waktu tersisa. Persiapkanlah koreksi terhadap amal perbuatanmu…”
Wallahu A’lam
Sumber :
“Az-Zaman al-Qaadim”, karya : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim (ei, hal. 128-133).
Amar Abdullah bin Syakir