Amar Ma’ruf Nahi Munkar Hanya Untuk Ulama Saja?

Syubhat :

Sebagian orang beranggapan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar khusus untuk para ulama saja atau orang-orang yang memiliki wewenang/jabatan saja, bukan untuk orang umum.

Jawaban :

Untuk menjawab syubhat ini kami tekankan bahwasanya hadits yang memerintahkan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tidak mengkhususkan kelompok tertentu, melainkan bersifat umum kepada setiap muslim dan muslimah tergantung kepada ilmu dan kemampuannya, seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)

Imam Nawawi berkata, “Ulama berkata: ‘Amar ma’ruf nahi munkar tidak khusus bagi orang yang memiliki wewenang saja, tetapi ia boleh bagi kaum muslimin secara umum’.”

Imam Haramain berkata: “Dan yang menunjukkan akan hal itu adalah ijma’ kaum muslimin, dimana orang-orang yang tidak memiliki wewenang/jabatan di masa pertama Islam dan masa setelahnya mereka senantiasa menyeru para penguasa mereka kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, dan kaum muslimin mendiamkan mereka dan tidak mencela perbuatan mereka hanya karena mereka menyibukkan diri dengan amar ma’ruf nahi munkar walaupun tidak memiliki jabatan, wallahu a’lam.

Kemudian juga adalah bahwasanya orang yang pantas untuk menyeru atau melarang hanyalah mereka yang alim terhadap perkara yang ia seru atau ia larang, dan hal itu berbeda tergantung pada perkara itu sendiri, jika perkara tersebut merupakan sesuatu yang jelas wajib seperti shalat dan puasa, atau perkara yang sudah jelas haram seperti zina dan minuman keras maka seluruh kaum muslimin alim terdapat perkara-perkara tersebut. Sedangkan jika perkara tersebut adalah perkara-perkara yang rinci yang berupa perbuatan dan perkataan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan ijtihad, maka itu bukan untuk orang umum dan tidak boleh mereka mengingkarinya, hal itu khusus bagi para ulama.” (Syarh Shahih Muslim, karangan Imam Nawawi, 2/23)


Sumber: www.jameataleman.org

Diterjemahkan secara bebas oleh : Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah.net
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *