Syubhat :
Seharusnya kita membiarkan orang lain melakukan apa saja sekehendak mereka dan tidak usah ikut campur dalam urusan pribadi mereka, tidak usah menyuruh mereka kepada kebaikan yang mereka enggan melakukannya, atau melarang mereka dari kemungkaran yang ingin mereka lakukan, karena hal ini bertentangan dengan kebebasan individu yang telah ditetapkan oleh Islam.
Allah berfirman :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah…” (QS. Al-Baqarah: 256)
Jawaban:
Kami akan menjawab syubhat ini dengan beberapa sesi:
- Tidak ada yang namanya kebebasan mutlak.
- Pemahaman Islam terhadap kebebasan individu.
- Keliru dalam memahami ayat.
- Wajibnya hisbah (amar ma’ruf nahi munkar) menurut Al-Qur’an dan hadits.
- Rasul sendiri melakukan hisbah.
- Disyariatkannya hudud dan ta’zir dalam islam.
Pertama : Tidak ada yang namanya kebebasan mutlak.
Kita boleh bertanya kepada orang-orang yang mengatakan demikian: dimanakah di dunia ini yang memberikan manusia kebebasan mutlak?? Apakah dalam aturan bumi belahan barat ataukah belahan timur?? Jawabannya tidak ada!! Tidak dibarat dan juga tidak di timur. Setiap orang diharuskan untuk tunduk kepada peraturan umum yang berlaku kemanapun ia pergi dan bertempat.
Adakah negara baik ditimur ataupun dibarat yang membolehkan seseorang terus menerobos berjalan jika lampu merah menyala??
Bolehkah di negara barat seseorang membangun rumah walaupun dengan hartanya yang ia dapat dengan keringatnya sendiri dengan semaunya tanpa mematuhi aturan yang berlaku di kota tersebut? Bahkan di sebagian negara-negara timur lebih pahit dari itu, tidak semua orang boleh memiliki rumah sendiri!
Kedua : Pemahaman Islam terhadap kebebasan individu.
Kebebasan individu yang Islam berikan kepada setiap manusia adalah dengan mengeluarkannya dari penyembahan (tunduk) kepada sesama hamba. Namun ini bukan berarti mengeluarkan mereka dari penyembahan dan tunduk kepada Allah ta’ala.
Maka yang diperintahkan dalam Islam dari seorang hamba adalah membebaskan dirinya dari segala bentuk ketundukan kepada selain Allah dan menjadi hamba yang taat, tunduk dan berserah diri kepada Allah yang Mahaagung.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin diperintahkan untuk berserah diri kepada Allah dan mengamalkan seluruh perintah dan larangannya adalah firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat diatas, “Allah berfirman dengan memerintahkan hamba-hambanya yang beriman kepadanya dan Rasulnya untuk melaksanakna seluruh ajaran dan syariat islam, serta mengamalkan seluruh perintahnya dan meninggalkan seluruh larangannya semampu mereka.”
Ketiga : Keliru dalam memahami ayat diatas.
Ayat tersebut bukanlah berarti setiap manusia boleh melakukan apasaja yang disukai dan meninggalkan yang tidak disukainya dan tidak boleh bagi siapapun memaksa mereka melakukan kebaikan yang mereka tinggalkan atau meninggalkan keburukan yang mereka lakukan, tetapi yang dimaksud –wallahu a’lam- adalah sebagaiamana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Maksudnya adalah janganlah kalian memaksa seseorang untuk Masuk Islam.”
Sedangkan orang islam maka wajib baginya untuk melaksanakn seluruh syariat islam semampunya sebagaimana kami sebutkan dalam ayat diatas.
Keempat : Wajibnya hisbah menurut Al-Qur’an dan hadits.
Mereka yang menyuarakan syubhat ini hanyalah mengambil satu ayat dan kemudian menafsirkannya sesuai hawa nafsu mereka, dan mereka menutup mata terhadap nash-nash yang secara jelas dan gamblang dan tidak memberikan celah untuk keraguan samasekali akan wajibnya ihtisab (amar ma’ruf nahi munkar). Dimanakah posisi mereka dihadapan nash-nash tersebut??
Diantara nash-nash tersebut adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, dan apabila tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan hatinya, tetapi itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Bagaimana mereka berani memalingkan nash-nash yang menunjukkan bahwa Allah dan Rasulnya mengancam orang-orang yang meninggalkan ihtisab??
misalnya hadits nabi:
مُرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَوْا عَنْ الْمُنْكَرِ قَبْلَ أَنْ تَدْعُوا فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Perintahkanlah (oleh kalian untuk) berbuat yang ma’ruf dan laranglah kemungkaran, sebelum (mengakibatkan) doa yang kalian panjatkan tidak diterima.” (HR. Ahmad).
Begitu juga firman Allah ta’ala:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ* كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa puta Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Mâ`idah: 78-79)
Adakah alasan lagi setelah adanya semua nash ini??
Kelima : Rasul sendiri melakukan hisbah.
Jika kita membaca sejarah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah beliau menyeru kaumnya kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran ataukah beliau membiarkan mereka dengan alasan kebebasan individu sebagaimana yang dibuat-buat oleh sebagian orang? Beliau senantiasa melakukan ihtisab di rumah beliau, jalan, masjid, pasar, bahkan dalam peperangan maupun dalam keadaan tenang. Lupakah kita dengan firman Allah ketika menyifatkan beliau bahwasanya beliau ber-ihtisab?? Allah berfirman:
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Nabi itu menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.” (QS. Al A’raf: 157)
Kita boleh bertanya kepada penyuara syubhat ini, apakah kita diperintahkan untuk meneladani orang yang menuhankan hawa nafsunya ataukah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Marilah kita baca ayat berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الآخر وذكر الله كثيراً
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Keenam : Disyariatkannya hudud dan takzir dalam islam.
Bagaimana sekirannya mereka dihapkan dengan nash-nash yang memerintahkan hadd untuk pelaku dosa-dosa besar yang telah disebutkan oleh syariat? Misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti yang dilakukan kaum Luth, maka bunuhlah orang yang melakukan sodomi dan disodomi.” (HR. Ibnu Majah no. 2561)
Begitu juga sabda Nabi:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (HR. Ibnu Majah)
Andai saja prinsip kebebasan individu yang diperselisihkan itu memiliki dasar dalam islam sebagaimana dikatakan oleh mereka, tidak akan pelaku dosa-dosa besar dihukumi dengan cambuk, diasingkan, ataupun dibunuh.
Semoga dengan ini semua menjadi jelas kebatilan pendapat mereka yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan bertentang dengan kebebasan individu.
Oleh : Dr. Fadhl Ilahi Zhahir
Diterjemahkan dan diringkas dari: http://www.saaid.net/alsafinh/01.htm
Penerjemah: Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net
Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net