Amalan Istimewa di Bulan Sya’ban

Pembawa acara :

Syaikh yang mulia !

Kita ingin untuk berbicara tentang amalan-amalan yang istimewa di bulan Sya’ban, di mana Nabi-صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memperbanyak amalan-amalan tersebut di bulan mulia ini, di bulan Sya’ban.

Syaikh :

Sya’ban termasuk bulan yang jumlahnya 12 bulan yang disebutkan oleh Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-di dalam firman-Nya,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا  [التوبة : 36]

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (at-Taubah : 36)

Dan bulan ini, dalam urutan bulan-bulan hijriyah adalah bulan ke-8. Bulan ini berada di antara dua bulan yang memiliki keutamaan; yaitu bulan Rajab (di mana bulan tersebut merupakan salah satu bulan-bulan haram yang menyendiri, sebagaimana sabda Nabi ‘ «رجب مُضَر»  ketika beliau menyebutkan satu demi satu bulan haram itu) dan di antara bulan Ramadhan (yang mana bulan ini merupakan bulan ketaatan, berbuat baik, bulan turunnya al-Qur’an, dan bulan puasa).

Jadi, bulan ini (bulan Sya’ban) datang di antara dua bulan yang utama ; bulan haram dan bulan diturunkannya al-Qur’an.




Tidak diragukan bahwa waktu didapatkan keutamaannya dengan keberadaan bulan tersebut dekat dengan bulan lainnya yang utama. Oleh karena ini, bulan ini, bulan Sya’ban, memiliki keistimewaan karena keberadaannya di antara dua bulan yang Allah istimewakan. Allah mengistimewakan Rajab dengan pengharaman, dan Dia mengistimewakan Ramadhan dengan diturunkannya al-Qur’an dan diwajibkanya melakukan puasa.

Sya’ban adalah termasuk bulan yang datang dari Nabi pengistimewaannya dengan sebuh amal. Amal yang paling menonjol yang diistimewakannya di bulan ini (bulan Sya’ban) adalah ‘menyibukkan dengan puasa.’ Di dalam ash-Shahihain disebutkan hadis dari Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Rasulullah-صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – menyempurnakan puasa sebulan sama sekali kecuali Ramadhan.’

Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –juga mengatakan, ‘Aku juga tidak pernah melihat beliau pada suatu bulan sama sekali di mana beliau lebih banyak berpuasa daripada pada bulan Sya’ban.’

Maka, perkataan Aisyah, ‘Beliau pernah berpuasa Sya’ban seluruhnya.’ Yakni, pada kebanyakan hari-harinya. Sebagaimana hal itu dijelaskan di dalam riwayat lain, di mana Aisyah mengatakan, ‘Beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit.’ Atau bahwa beliau melakukan hal itu (puasa Sya’ban sebulan penuh) pada sebagian waktu. Namun, ini tidak selaras dengan penafiannya  bahwa Nabi menyempurnakan puasa sebulan selain Ramadhan.

Dengan demikian petunjuk Nabi yang valid datang dari beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-terkait dengan bulan Sya’ban adalah banyak berpuasa di hari-harinya, sampai-sampai hampir saja beliau menyempurnakannya sebulan penuh. Beliau tidak meninggalkan darinya melainkan sedikit saja. Inilah dia petunjuk Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. Dan, telah datang di dalam ash-Shahih dari hadis Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – tidak pernah menyempurnakan puasa sebulan penuh sama sekali selain Ramadhan.’ Hal ini menguatkan apa yang disebutkan oleh Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-.

Maka dari itu, termasuk sunnah yang disyariatkan bagi seorang mukmin di bulan Sya’ban adalah hendaknya ia memperbanyak puasa dan hendaknya ia bersungguh-sungguh untuk berpuasa sesuai yang dimudahkan oleh Allah terhadap dirinya di hari-hari bulan ini, bulan yang berada di antara dua bulan yang berkah; (yaitu) bulan haram dan bulan Ramadhan, bulan di mana Allah turunkan al-Qur’an di dalamnya. Dan, memperbanyak puasa di bulan ini dapat terealisasi dengan berpuasa lebih dari setengah bulan, misalnya dengan berpuasa 16 hari.

Dan memungkinkan bagi seorang mukmin untuk mewujudkan keutamaan ini sesuai dengan amalnya. Maka, barang siapa yang tidak biasa berpuasa secara mutlak kecuali pada bulan Ramadhan, maka berusahalah untuk berpuasa di bulan ini (bulan Sya’ban) meskipun sehari saja, agar ia telah mengistimewakan bulan ini dengan puasa. Atau, berpuasa sebagian hari-harinya. Barang siapa yang telah terbiasa berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka tambahlah sehari. Barang siapa biasa berpuasa Senin dan Kamis dan hari-hari putih (14, 15 dan 16) hendaknya ia berpuasa lebih dari itu sehingga terwujudlah bahwa dirinya lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, sehingga terealisasi sunnah baginya secara global, dan terealisasi pula keumuman petunjuk Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – meskipun ia tidak berpuasa kebanyakan hari-harinya.



Jadi, amal yang valid datang dari beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – di bulan ini adalah banyak berpuasa. Banyak berpuasa ini mencakup pelaksanaannya sedari awal bulan hingga akhirnya. Adapun larangan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban dalam sebuah hadis yang datang dari hadis Abu Hurairah, ‘Apabila bulan Sya’ban telah sampai pertengahnnya, maka janganlah kalian berpuasa’, mengenai hadis ini, mayoritas kalangan ahli hadis berpendapat bahwa hadis ini tidak shahih dari sisi sanadnya, yakni, hadis ini merupakan hadis yang lemah. Bila hadis ini lemah, maka tidak bisa menetapkan hukum. Sementara kalangan yang lainnya berpendapat bahwa hadis ini valid, dan mereka membawa pemahaman larangan tersebut adalah tertuju kepada orang yang tidak berpuasa sedari awal bulan. Sehingga mereka mengatakan, ‘Siapa yang tidak berpuasa sedari awal bulan, maka ia tidak boleh berpuasa setelah pertengannya.’

Dan, yang nampak bahwa hadis tersebut (hadis yang melarang berpuasa bila Sya’ban telah sampai pertengahannya) tidak valid, bahwa tidak benar adanya larangan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadis yang valid tentang adanya larangan adalah hadis yang datang di dalam ash-Shahihain dari hadis Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, ‘ Janganlah kalian berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang telah biasa berpuasa, maka silakan ia berpuasa.’

Yakni, larangan berpuasa itu adalah mendahului Ramadhan sehari atau dua hari sebelumnya untuk kehati-hatian. Adapun bila mana seseorang berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya di mana puasa tersebut adalah puasa yang biasa dilakukannya, semisal seseorang biasa berpuasa sehari berbuka sehari, atau seseorang berpuasa qadha di mana ia kurang satu hari atau dua hari saja, kemudian ia melakukannya sebelum Ramadhan, maka ini tidak masuk dalam larangan.

Barang siapa memiliki hutang puasa Ramadhan tahun lalu karena suatu udzur syar’i, seperti sakit, atau safar, maka hendaknya ia bersegera mengqadhanya di hari-hari bulan ini, bulan yang datang sebelum bulan Ramadhan, berdasarkan hadis Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – ia mengatakan, ‘Dulu aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan. Sedangkan aku tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban.’

Karenanya, hendaknya seorang mukmin bersegera berpuasa yang menjadi hutangnya, bila ada. Sungguh Allah telah berfirman,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ [البقرة : 184]

Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain (al-Baqarah : 184)



Maka dari itu, selayaknya seorang mukmin bersegera mengqodhanya. Dan, mayoritas ulama berpendapat bahwa Qadha puasa Ramadhan tahun lalu wajib dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Maka, barangsiapa yang memiliki tanggungan puasa Ramadhan tahun lalu, hendaknya meminta pertolongan kepada Allah dan mengqadhanya di hari-hari ini. Jika sampai akhir bulan ini ia belum saja dapat mengqadhanya karena suatu udzur, semisal sakit atau yang lainnya, maka ia mengqadhanya setelah Ramadhan. Datangnya Ramadhan berikutnya tidak menggugurkan kewajiban mengqadha puasanya. Bahkan ijma’ ulama menetapkan bahwa qadha wajib dilakukan walaupun setelah Ramadhan berikutnya bila belum dapat mengqadhanya karena suatu udzur, dan tidak ada kewajiban apa pun atas dirinya (selain itu).

Adapun jika terlewatkan mengqadhanya bukan karena udzur, maka Jumhur ulama mewajibkannya ‘memberi makan’ disamping mengqadhanya.’ Sementara sekelompok ulama berpendapat bahwa tidak wajib atasnya selain qadha. Dan, pendapat inilah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Dan bahwa ‘memberi makan’ hukumnya mustahab bukan wajib. Mustahab, karena hal itu valid dari sekelompok orang dari kalangan para sahabat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Ini terkait dengan sesuatu yang istimewa di bulan ini berupa puasa. Ringkasnya, disunnahkan puasa lebih banyak lagi di bulan ini, dan ini berlaku umum untuk setiap orang, dan tidak dilarang untuk melakukan puasa sunnah di hari-hari bulan Sya’ban, kecuali sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, dan hal itu berlaku bagi orang yang akan berpuasa karena sebagai bentuk kehati-hatian terhadap bulan Ramadhan.

Adapun barang siapa berpuasa pada hari tersebut karena sebelumnya ia memiliki kebiasaan berpuasa sunnah atau ia harus mengqadha puasa wajib yang belum dilakukannya maka tidak terlarang.

Wallahu A’lam

Sumber :

Ad-Diin Wa al-Hayah (al-Halaqah : 222), Sya’ban Wa Maa Warada Fihi Min Fadhli, (menit 17:03 s.d menit 30 : 00)  Prof. Dr. Khalid bin Abdullah al-Mushlih-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-, https://www.almosleh.com/ar/102547.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *