Allah Menghendaki Kemudahan Tidak Menghendaki Kesulitan

Allah subhanahu wata’ala adalah Dzat yang Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, Allah subhanahu wata’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر…

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(Qs. al-Baqarah : 185)

1. Orang yang Sedang dalam Perjalanan (Musafir)

 

Ada beberapa hadis shahih yang memberikan pilihan kepada musafir untuk berpuasa atau berbuka, dan rahmat ilahiyah ini disebutkan dalam al-Qur’an yang mulia (di atas)

 

Hamzah bin ‘Amir al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- : “Apakah saya harus berpuasa dalam perjalanan –dan dia termasuk orang yang rajin mengerjakan puasa- ? Maka, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadanya,

 

“Jika engkau mau, berpuasalah dan jika mau engkau boleh berbuka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Dari Anas bin Malik, ia menuturkan, “Aku pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- pada bulan Ramadhan ; ketika itu, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka. Sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Hadis-hadis tersebut memberi pengertian boleh memilih, bukan pengutamaan (salah satunya). Namun demikian, dimungkinkan penggunaan dalil untuk mengutamakan berbuka puasa, yaitu dengan hadis-hadis yang bersifat umum. Misalnya, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berikut ini,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُه

Sesungguhnya Allah senang jika rukhshah (keringanan hukum)-Nya diambil sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan kepada-Nya dilakukan (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

 

Dalam riwayat lain disebutkan,

كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ

Sebagaimana Dia senang ketentuan hukum-Nya dilaksanakan (HR. Ibnu Hibban, al-Bazzar dan ath-Thabraniy)

 

Tetapi, dimungkinkan untuk membatasi hal tersebut hanya bagi orang yang merasa kesulitan sehingga boleh mengganti puasa pada hari lain agar keringanan yang diberikan Allah tersebut tidak bertentangan dengan tujuan. Hal tersebut telah dijelaskan secara gamblang, tanpa mengandung keraguan sama sekali. Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy –semoga Allah meridhainya- : “Mereka berpendapat bahwa orang yang memiliki kekuatan lebih baik baginya berpuasa, sedangkan bagi yang merasa lemah, berbuka baginya adalah lebih baik (HR. at-Tirmidzi dan al-Baghawi)

 

Ketahuilah, wahai saudaraku seiman, mudah-mudahan Allah membimbing Anda menuju jalan petunjuk dan ketakwaan serta mengaruniai pemahaman dalam agama, bahwa jika berpuasa dalam perjalanan memberatkan seseorang, maka hal itu bukanlah suatu kebaikan, bahkan berbuka adalah lebih baik dan lebih disukai Allah. Yang menjadi landasan dalam hal tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang sahabat, Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Peringatan :

 

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak berpuasa dalam perjalanan di masa sekarang ini tidak diperbolehkan sehingga mereka mencela orang yang memanfaatkan keringanan yang diberikan Allah ta’ala, atau berpendapat bahwa puasa lebih baik daripada tidak berpuasa karena adanya kemudahan dan tersediannya berbagai sarana transportasi.

Dalam pada itu, kami bermaksud menarik perhatian mereka pada firman Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

dan Rabbmu tidak lupa (Qs. Maryam : 64)

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (Qs. al-Baqarah : 232)

 

Serta firman-Nya di dalam ayat yang menyebutkan keringanan berbuka dalam perjalanan :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر…

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(Qs. al-Baqarah : 185)

 

Artinya, kemudahan bagi orang yang tengah dalam perjalanan merupakan sesuatu yang memang dikehendaki Allah sekaligus sebagai bagian dari tujuan syariat yang penuh toleransi. Perlu saya ingatkan kepada Anda bahwa Rabb yang telah menetapkan agama adalah Pencipta zaman, tempat, dan juga manusia, dan pasti Dia lebih mengetahui akan kebutuhan dan kepentingan mereka. Allah ta’ala berfirman,

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui ? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui (Qs. al-Mulk : 14)

 

Kami sajikan hal tersebut dengan tujuan agar seorang Muslim, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perintah, dan tidak ada pilihan baginya atas perintah tersebut, maka Dia harus senantiasa mengucapkan secara berulang-ulang bersama orang-orang Mukmin lainnya yang taat, yang tidak berani melakukan sesuatu yang menyalahi Allah dan Rasul-Nya :

سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ [البقرة: 285]

 

Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Rabb kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali. ” (Qs. Al-Baqarah : 285)

 

2. Orang Sakit

 

Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat sekaligus kemudahan baginya. Sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah sakit yang dengan puasa itu akan membahayakan jiwanya, memperparah sakit yang dideritanya, atau dikhawatirkan dengan puasa itu dapat memperlambat kesembuhan. Wallahu A’lam

 

3. Wanita yang Sedang Menjalani Haid dan Nifas

 

Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang tengah haid atau nifas tidak boleh berpuasa. Akan tetapi mereka harus menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan jika keduanya tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah.

 

4. Orang yang Sudah Tua Renta dan Wanita yang Lemah

 

Ibnu Abbas berkata, “Orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu mengerjakan puasa maka keduanya harus memberi makan kepada seorang miskin setiap hari dari hari-hari puasa yang ditinggalkannya (HR. al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (II/207) –dan ia menshahihkannya-melalui jalur Manshur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dia membaca (firman-Nya) : …

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…(Qs. al-Baqarah : 184)

 

Lalu Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- berkata, ‘Yaitu, orang yang sudah tua dan tidak mampu mengerjakan puasa sehingga dia harus berbuka. Oleh sebab itu, dia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin sebanyak setengah sha‘ gandum.

Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- : Barang siapa yang sudah memasuki usia tua lalu tidak mampu menjalankan puasa Ramadhan, maka dia harus mengeluarkan satu mud gandum dari setiap hari yang ditinggalkan (HR. ad-Daruquthniy (II/208). Dalam sanadnya terdapat ‘Abdullah bin Shalih, seorang yang dhaif, tetapi hadis ini mempunyai satu penguat.)

Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- bahwasanya dia pernah tidak mampu berpuasa selama satu tahun (termasuk puasa Ramadhan), maka dia pun membuat tsarid (roti berkuah) satu mangkuk besar dan memanggil tiga puluh orang miskin sehingga mereka semua kenyang. (HR. ad-Daruquthniy (II/207))

 

5. Wanita Hamil dan Menyusui

 

Di antara wujud keagungan rahmat Allah kepada hamba-Nya yang lemah adalah Dia memberi keringanan kepada mereka untuk tidak berpuasa. Di antara mereka yang mendapatkan keringanan itu adalah wanita hamil dan wanita menyusui.

Dari Anas bin Malik al-Ka’biy, dia bercerita : Kuda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- lari ke arah kami. Lalu, aku mendatangi Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan ternyata aku mendapati beliau tengah makan. Beliau berkata : “Mendekatlah dan makanlah !” Aku berkata, “Sesungguhnya aku tengah berpuasa.” Beliau berkata lagi : “Mendekatlah, aku akan memberitahumu tentang puasa : ‘Sesungguhnya Allah Yang Maha suci lagi Maha tinggi telah meringankan setengah kewajiban shalat bagi seorang musafir, serta meringankan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui.” Demi Allah, sungguh, Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-mengucapkan keduanya atau salah satu dari keduanya. Aku pun benar-benar menyesal karena tidak memakan makanan Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Wallahu A’lam

Sumber :

Shifatu Shaumi an-Nabi Fii Ramadhan“, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabiy, (ei, hal.79-85)

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *