Berbicara seputar topik peperangan tersebut, turunlah surat Al-Anfal. Surat ini merupakan “komentar ilahi” jika benar ungkapan ini terhadap peperangan tersebut. Komentar tersebut sangat berbeda dengan komentar-komentar yang dikemukakan oleh para raja dan panglima setelah meraih kemenangan.
Pertama, Allah mengalihkan pandanngan kaum muslimin untuk melihat segala kekurangan akhlak yang masih ada pada diri mereka dan sebagainya, agar mereka berupaya menyempurnakan jiwa mereka dan membersihkannya dari kekurangan-kekurangan tersebut.
Kemudian, Allah memuji segala hal yang ada dalam kemenangan tersebut berupa pertolongan Allah secara ghaib kepada kaum muslimin. Hal itu Allah kemukakan kepada mereka agar mereka tidak terperdaya dengan keberanian mereka sehingga jiwa mereka menjadi sombong. Bahkan agar mereka bertawakkal kepada Allah, menaatiNya, dan menaati RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian, Allah menjelaskan tujuan mulia yang melandasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjun dalam peperangan berdarah tersebut; dan menunjukkan kepada mereka sifat-sifat dan akhlak yang dapat menyebabkan kemenangan dalam peperangan.
Kemudian, berbicara kepada kaum musyrikin , orang-orang munafiq, orang-orang Yahudi dan para tawanan perang. Dia menasehati mereka secara baik, dan membimbing mereka untuk tunduk kepada kebenaran.
Selanjutnya, berbicara kepada kaum muslimin seputar masalah rampasan perang, dan menetapkan prinsip-prinsip masalah tersebut kepada mereka.
Setelah itu, Allah menjelaskan dan menetapkan undang-undang peperangan dan perdamaian yang sangat mereka butuhkan setelah dakwah islam memasuki fase tersebut, sehingga peperangan kaum muslimin berbeda dengan peperangan orang-orang jahiliyah; kaum Muslimin memiliki kelebihan dalam hal akhlak dan nilai; dan menegaskan kepada dunia bahwa Islam bukan sekedar teori, namun juga mendidik pengikutnya secara praktis di atas asas dan prinsip yang diserukan.
Kemudian, menetapkan beberapa ketentuan dari undang-undang Negara Islam yang menjelaskan perbedaan antara kaum muslimin yang tinggal di dalam batas Negara Islam dan kaum muslimin yang tinggal di luar batas Negara Islam.
Pada tahun kedua hijrah, diwajibkan puasa ramadhan, diwajibkan zakatul fithri, dan dijelaskan nishab-nishab zakat yang lain. Diwajibkan zakat fithri serta meringankan beban yang dipikul oleh sejumlah besar kaum muhajirin, karena mereka adalah kaum fuqoro (orang-orang fakir) yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di antara peristiwa yang terindah adalah hari raya pertama bagi kaum muslimin jatuh pada bulan syawal tahun ke-2 hijrah, setelah meraih kemenangan dalam perang badr. Alangkah indahnya hari raya yang bahagia itu yang Allah berikan kepada mereka setelah mereka meraih kemenangan dan kemuliaan. Alangkah indahnya pemandangan sholat ied yang mereka lakukan setelah mereka keluar dari rumah-rumah mereka sambil mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Hati mereka penuh dengan harapan kepada Allah, rindu kepada rahmat dan keridhaan-Nya, setelah Allah berikan berbagai nikmat kepada mereka dan Dia dukung dengan pertolonganNya. Hal itu Dia ingatkan kepada mereka dengan firmanNya,
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS. Al-Anfal: 26).
Allohu a’lam ( Abu Umair)
Sumber: Ar-Rahiiq Al-Makhtuum, bahtsu fii as-siiroh an-Nabawiyah ‘ala Shohibiha afdholu ash sholatu was salam, Syaikh Shofiyurrohman al Mubaar Kafuuri, cet: daarul hadis Kairo.