Puasa merupakan syariat Allah yang telah ditentukan tata caranya. Ada puasa yang sifatnya wajib seperti puasa ramadhan, yang dilaksanakan selama sebulan penuh di siang hari bulan Ramadan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Ada puasa yang sifatnya sunnah seperti puasa senin-kamis yang dilakukan setiap hari senin dan hari kamis. Namun, tak jarang kita jumpai di masyarakat kita yang membuat-buat perkara baru dalam masalah ini, seperti mereka melakukan apa yang mereka sebut dengan istilah “puasa mutih“. Ini adalah istilah yang baru yang tak pernah dikenal sebelumnya oleh generasi terbaik ummat ini. Mengenai tata caranya pun tak pernah diajarkan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang yang berkeyakinan dengan amalan yang satu ini, mereka tidak mengkonsumsi kecuali nasi putih dan air putih. Yang lebih mengenaskan adalah apa yang menjadi harapan atau tujuan mereka melakukan model puasa seperti ini, di antaranya adalah untuk mendapatkan kesaktian dan kekebalan dan hal-hal lain yang serupa yang sangat bertolak belakang dengan keyakinan seorang muslim yang benar. Ya, kesalahan yang bertingkat-tingkat. Salah karena telah menetapkan atau melakukan suatu yang dianggap sebagai suatu ibadah yang disyariatkan padahal tidak disyariatkan. Salah karena tata cara yang dilakukan tidaklah pernah dikenal dalam tata cara puasa yang disyariatkan. Yang terakhir, salah karena apa yang menjadi tujuan yang bertentangan dengan tujuan dari puasa yang disyariatkan.
Namun, sayang seribu sayang model keyakinan dan praktek ini telah menyebar luas dan bahkan menjamur di masyarakat kita Indonesia. Kebodohan, saya kira itulah salah satu faktor utamanya. Kalaulah saja sang pelaku mengetahui bahwa apa yang dia lakukan tersebut tidak ada tuntunannya dalam agama Islam yang mulia ini, dan dia seorang muslim yang berkewajiban mencukupkan diri dengan petunjuk Allah Ta’ala dan RasulNya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka seharusnya ia tidak melestarikan apa yang ia lakukan tersebut yakni: puasa mutih. Faktor utama lainnya adalah “membeo dan mengekor terhadap apa yang telah dikatakan dan dilakukan oleh nenek moyang mereka”, meskipun ucapan atau tindakan nenek moyang mereka tersebut muncul berdasarkan perasaan, logika semata bukan bersumber dari ilmu yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, model seperti ini sebetulnya telah lama ada sejak zaman dahulu kala. Allah mengabarkan dalam Al-Qur’an yang mulia seraya berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS.Al Baqoroh: 170)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (Surat 2: 170) sehubungan dengan ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum Yahudi untuk masuk Islam, serta memberikan kabar gembira, memperingatkan mereka akan siksaan Allah serta adzab-Nya. Rafi’ bin Huraimallah dan Malik bin ‘auf dari kaum Yahudi menjawab ajakan ini dengan berkata: “Hai Muhammad! Kami akan mengikuti jejak nenek moyang kami, karena mereka lebih pintar dan lebih baik daripada kami.” Ayat ini turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hanya mengikuti jejak nenek moyangnya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas) Allahu a’lam. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan mengaruniakan kepada mereka tauifiq sehingga mereka bertaubat kepada Allah dari perbuatannya tersebut, memohon ampun kepadaNya, meninggalkan perbuatan mereka tersebut dan tidak mengulanginya kembali, kemudian mereka mengiringi keburukannya dengan kebaikan. Amin.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabat beliau (Abu Umair).