Menghidupkan Rasa Diawasi Allah Pada Anak

Salah satu sisi pendidikan anak yang sangat penting dan merupakan keharusan dalam pendidikan mereka adalah sisi “merasa dalam pengawasan Allah azza wajalla”.

Metodelogi dalam pendidikan dalam Islam sangat menitik bertakan persoalan semacam ini. Banyak ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan hal semacam ini. Misalnya, apa yang Allah firmankan menghikayatkan Luqman yang membimbing anaknya agar tumbuh di dalam jiwanya rasa merasa diawasi Allah azza wajalla.

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Qs. Lukman : 16)

Allah azza wajalla juga berfirman,

 

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْأِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Qs. Qaaf : 16)

Meskipun hal tersebut merupakan bisikan yang terlintas dalam hatinya, Allah pun mengetahui hal tersebut.

Dan di dalam hadis, ketika Abdullah bin Abbas dibonceng oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– di atas hewan tunggangannya, di mana beliau ingin menanamkan persoalan ini di dalam diri anak pamannya yang masih kecil ini, beliau pun mengatakan kepadanya, “ wahai anak kecil, maukah engkau aku ajari beberapa kata yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadamu? Abdullah bin Abbas menjawab : tentu mau. Lalu beliau bersabda, jagalah Allah niscaya Allah menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya dihadapanmu, ingatlah Dia saat kelapanganmu niscaya Dia mengingatmu saat kesusahanmu. Bila engkau memohon, maka mohonlah kepada Allah. Bila engkau minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Sungguh pena telah kering (tintanya) dari menulis segala sesuatu yang ada, kalaulah saja semua makhluk yang ada ingin memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatau yang tidak dicatat oleh Allah untukmu niscaya mereka tak akan kuasa melakukannya, begitu pula jika mereka ingin memerikan madharat kepadamu dengan sesuatu yang tidak Allah tulis untukmu niscaya mereka pun tak akan sanggup untuk melakukannya.

Dengan gaya ungkapakan qur’aniy – nabawi ini seorang anak akan termotivasi untuk senantiasa terkonek dengan Allah azza wajalla, memutuskan segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah, maka ia akan berharap hanya kepada Allah, ia tidak akan takut melainkan kepada Allah, tidak akan meminta melainkan kepada Allah, ia menjaga Allah di saat kesendiriannya, beristiqamah dalam berpegang teguh terhadap aturan hidup yang ditentukanNya, dengan demikian ia senantiasa akan merasa selalu dalam pengawasan Allah azza wajalla baik dalam kondisi lapang maupun sulit.

Dengan metodologi inilah anak-anak kecil di zaman Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– terdidik dengan sedemikian mantap, metode ini menjadikan mereka memiliki kepribadian yang kokoh, menjadi contoh nyata dalam kemuliaan kepribadian, hampir-hampir saja tidak terbedakan antara orang-orang dewasa dan anak-anak, mereka semunya terkesan sebagai orang-orang besar dengan perbuatan mereka, perbuatan mereka adalah purbuatan yang mulia dan terpuji.

‘Ali bin Abi Thalib misalnya, ia beriman kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– sebelum ia berusia baligh yaitu ketika ia berusia 10 tahun, ia ikut merasakan penderitaaan dan kepenatan yang dialami oleh orang-orang yang beriman pada saat itu di kota Makkah. Hal demikian itu tidaklah menghalanginya-sekalipun usianya yang masih anak-anak- dari mengikuti kebenaran. Ia pun mampu untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan, mengambil sikap untuk terus meniti jalan kebenaran yang diketahuinya tersebut.

Contoh yang lainnya adalah seperti Usamah bin Zaed, Usaid bin Zhahir, al-Bara bin ‘Azib, Zaed bin Arqam, dan masih banyak yang lainnya. Mereka sedemikian berani untuk menawarkan diri mereka kepada Rasulullah untuk ikut serta dalam pertempuran melawan orang-orang kafir ketika perang Uhud. Namun, beliau belum memperkenankan mereka untuk ikut serta karena usia mereka yang masih anak-anak.

Anak kecil yang lainnya yang baru berusia sekitar 7 tahun pernah datang kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- ikut serta berbaiat kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam bersama orang-orang yang telah dewasa. Maka, Nabi pun mengulurkan tangannya dan membaiat mereka semuanya.

Mareka, anak-anak yang masih kecil yang belum mencapai usai dewasa, belum saja banyak tahu tentang ilmu telah mengetahui makna kehidupan dan hakikatnya, bahwa kehidupan di dunia itu tidaklah kekal. Sungguh peran keluarga pada waktu itu memilliki peran yang sedemikian luar biasa untuk memunculkan rasa yang sedemikan menakjubkan di dalam hati anak-anak kecil terhadap Allah azza wajalla, merasakan kebersamaanNya dan merasa diawasi olehNya yang hal tersebut memompa semangat mereka untuk berkorban di jalan Allah azza wajjalla.

Perasaan-perasaan seperti inilah yang para orang tua hendaknya sedini mungkin menanamkannya di lubuh hati anak-anaknya yang masih kecil, mendidik mereka di atas pendidikan tersebut sehingga hati dan ruh mereka senantiasa memilik koneksi dengan Allah azza wajalla, sehingga seluruh gerak geriknya dan diamnya selaras dengan manhaj Allah azza wajalla. Bila mana upaya ini berhasil ditanamkan pada diri mereka semenjak kecil, maka sangat besar peluang keberlangsungan rasa ini dan selamatnya mereka dari penyimpangan-penyimpangan di masa kehiduapan mereka selanjutnya, insya Allah.

Wallahu a’lam

Sumber :

Buhuutsun Tarbiyatu ath-Thifli al-Muslimi (1/14), Dr. Adnan Hasan Baaharits. Diterjemahkan oleh Amar Abdullah bin Syakir dengan sedikit gubahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *