Lupa adalah hal yang wajar dan biasa terjadi pada manusia, inilah realitas yang ada pada diri kita sebagai manusia.
Lupa bisa saja terjadi pada hal yang sepele, Bisa pula terjadi pada hal yang sangat penting, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat.
Dalam transaksi hutang piutang mislanya, bisa saja orang yang berhutang lupa dengan hutangnya, demikian pula halnya dengan orang yang memberikan hutang.
Hal tersebut terjadi bisa saja ada sebabnya, bisa saja tidak dilakukan pencatatan terhadap transaksi itulah salah satu penyebabnya.
Dengan demikian, terasalah begitu penting sebuah pencatatan sebuah transaksi, hal demikian untuk menghindarkan dari terjadinya lupa dikemudian hari terkait dengan kewajibannya.
Begitu pun dalam urusan akhirat, misalnya seseorang pada saat bulan Ramadhan, beberapa hari ia tidak dapat puasa karena adanya udzur sakit misalnya atau yang lainnya, sehingga ia memilki tanggungan hutang puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya tersebut.
Mungkin saja ia lupa berapa hari yang ditinggalkannya tersebut karena ia tidak mencatatnya. Baiklah, bila kondisinya demikian ini, bagaimana jalan keluarnya. Berikut beberapa poin semoga dapat mengatasi masalah ini,
Pertama, penulis menghimbau kepada seluruh kaum muslimin yang memiliki kewajiban membayar hutang puasa agar berusaha menjaganya, mengingat-ingat, memberikan perhatian, dan bila perlu mencatatnya -dan penulis memandang, mencatatnya sangat baik dan perlu, Agar kita tidak dianggap telah melakukan tindakan menyia-nyiakan kewajiban agama, kurang peduli dengan aturan syariat, atau berpaling dari perintah Allah, Sang Maha Pencipta.
Allah mencela orang sibuk dengan urusan dunia, namun dalam masalah akhirat dia lalai,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka mengetahui yang dzahir dari kehidupan dunia, namun dalam urusan akhirat, mereka lalai.” (QS. Ar-Rum: 7)
Banyak orang, barang kali termasuk kita yang tahu jumlah utang-piutang dalam bisnis yang kita lakukan, apalagi kita sebagai pihak yang menghutangi, karena hati dan pikiran kita sedemikian luar biasa terpaut oleh harta dunia, kita sangat mencintainya, sehingga tak jarang diantara kita yang sedemikian takut dan khawatir kehilangannya, bentuk kekhawatiran itu terkadang atau sering muncul di benak kita melalui banyak mengingatnya.
Begitupun halnya dengan kita sebagai orang yang berhutang, sedemikian luar biasa pikiran kita tersibukkan olehnya bahkan boleh jadi saat istirahatpun pikiran kita tetap saja tersibukkan olehnya.
Ya, sedikian luar biasa perhatian kita dengan urusan dunia, dan seringkali hal ini menjadikan kita lupa dengan urusan akhirat, seperti kewajiban membanyar hutang puasa.
Kedua, orang yang lupa dalam ibadah, dia diperintahkan untuk mengambil yang lebih meyakinkan.
Kaidah dasar mengenai hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait orang yang lupa bilangan rakaat ketika shalat,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُلْقِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِينِ
“Apabila kalian ragu dalam shalat, hendaknya dia buang keraguannya dan dia ambil yang lebih meyakinkan….” (HR. Abu Daud 1024 dan dishahihkan Al-Albani)
Nah, bagaimana halnya dengan puasa? Apalagi bila ternyata hutang puasa yang belum dibayar itu cukup banyak? sebagian ahli ilmu mengatakan,
إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء… فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ
“Apabila tanggungan puasa sangat banyak, dia harus terus-menerus melakukan qadha….jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajiban puasanya, maka dia harus mengulang-ulang qadha puasa, sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.”
Bagaimana bila kita lupa sama sekali berapa jumlahnya?
Dalam kondisi ini maka kita bisa memperkirakan berapa jumlah hutang kita, segera membayar puasa sebanyak yang kita prediksikan, sampai kita yakin atau kita menduga dengan dugaan yang kuat bahwa kita telah melunasi hutang puasa kita tersebut. Allahu a’lam.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet