Hal-hal Terkait Qodho Puasa Ramadhan

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ

 

Dari Aisyah -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, pernah aku mempunyai kewajiban mengqadha puasa Ramadhan, namun aku tidak dapat melakukannya melainkan pada bulan Sya’ban. (HR. Al-Bukhari 4/189 dan Muslim 1146)

       *      *          *

Hadis ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa barangsiapa tidak berpuasa pada bulan Ramadhan karena suatu udzur baik berupa sakit, safar, mengalami menstruasi atau mengalami nifas dan lain sebagainya, hendaknya ia mengqodha puasa yang ditinggalkannya tersebut pada hari yang lainnya. Hadis ini juga menunjukkan bahwa mengqadhanya tidak wajib untuk segera dilakukan. Maka, boleh bagi orang yang mempunyai tanggungan puasa untuk mengakhirkan qadhanya hingga bulan Sya’ban berdasarkan perbuatan ‘Aisyah -semoga Allah meridhainya-. Kalaulah saja mengakhirkan qadha tidak diperbolehkan niscaya ‘Aisyah tak akan melakukan hal tersebut. Karena, yang Nampak bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui tindakannya tersebut.

Bersegera mengqadha adalah lebih utama daripada mengakhirkannya, karena zhahir tindakan aisyah -semoga Allah meridhainya- lebih memilih bersegera melakukannya, di mana ‘Aisyah mengemukaan alasan penundaaan yang dilakukannya tersebut dengan ungkapannya bahwa “ia tidak bisa melakukannya” kalaulah saja ia dapat segera melakukannya niscaya ia tak akan mengakhirkannya hingga bulan sya’ban.

Bersegara melakuakan qadha berarti bersegera untuk membebaskan diri dari tanggungan, tindakan kehati-hatian dalam beragama, karena terkadang seseorang itu lupa apalagi bila yang ditinggalkan itu bebeapa hari saja. Dan, bersegera melakukan qadha masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan agar bergegas kapada melakukan amal shaleh. Allah ta’ala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari rabb kalian dan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133)

Dan Dia juga berfirman,

أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

Mereka itu bersegera dalam kebaikan dan merekapun berlomba dalam mengerjakannya.” (QS. Al-Mukminun : 61)

Dalam mengqodho tidak diwajibankan untuk dilakkukan secara berturut-turut. Boleh dilakukan secara berturut-turut dan boleh juga secara terpisah. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka, barangsiapa di antara kalian yang sakit, atau safar, (lalu tidak berpuasa) maka hendaklah mengganti puasa yang ditinggalkannya tersebut pada hari yang lainnya.” (QS. Surat Al-Baqarah : 184). Ibnu Abbas mengatakan, “tidak mengapa dilakukan secara terpisah”[1]

Hal demikian karena pelaksanaan secara berturut-turut hanya wajib dilakukan pada bulan tersebut karena keharusan untuk dilakukan pada bulan tersebut. Adapun setelah usainya bulan Ramadhan maka maksudnya adalah berpuasa beberapa hari yang ditinggalkan; oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (hendaklah ia menggantinya pada hari-hari yang lainnya) (QS. Al-Baqarah : 184) dan Allah tidak mempersyaratkan agar dilakukan secara berturut-turut. Sesungguhnya penggantian ini benar bila mana dilakukan secara berturut-turut dan secara terpisah. Karena kedua cara tersebut maksud dari penggantian tercapai. Oleh kerana ini, Allah berfirman setelahnya,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 185)[2]. Melakukan qadha secara berturut-turut lebih utama bagi seorang mukallaf karena berarti ia bersegera untuk menggugurkan kewajiban, sebagai bentuk pula keluar dari perbedaaan pendapat orang yang mewajibkan melakukannya secara berturut-turut. Selain itu, karena cara demikian lebih semangat dilakukan oleh orang berpuasa, daripada bila dilakukan secara terpisah apalagi jika hari-hari yang ditinggalkannya banyak.

Waktu setahun seluruhnya merupakan saat melakukan qadha berdasarkan keumuman ayat, kecuali hari raya; idul fithri dan idul adha dan hari-hari tasyriq. Jika dikakuan pada hari-hari ini maka tidak sah, karena adanya larang berpuasa pada hari-hari tersebut, berdasarkan perkataan Umar -semoga Allah meridhainya-,

هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صِيَامِهِمَا : يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

“Dua hari ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berpuasa pada keduanya; (kedua hari tersebut yaitu) hari berbukannya kalian dari puasa kalian, dan hari yang lainnya yaitu hari di mana kalian mengonsumsi hewan sebelihan kalian.” (HR. al-Bukhari 4/238 dan Muslim, no. 1137)

Dan, juga berdasarkan perkataan ‘Aisyah dan Ibnu Umar -semoga Allah meridhainya-

لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ

“Tidak diberi keringanan pada hari-hari tasyriq untuk berpuasa kecuali bagi yang tidak mendapatkan hadyu.” (HR. al-Bukhari 4/242)

Dan, qadha yang dilakukan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah hukumnya boleh menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Pendapat yang lebih kuat ini adalah pendapatnya mayoritas ulama karena masuknya kedua hal tersebut dalam keumuman ayat (فعدة من أيام أخر) “maka hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lainnya”, di mana Allah tidak memberikan penentuan waktu tertentu, dengan demikian berlaku umum kapan saja waktunya, dan keumuman ini tidak keluar melainkan ada dalil yang menunjukkannya. Dan dalil ini telah di-takhshish dengan dua hari raya dan hari-hari tasyriq. Dan hari-hari bulan Ramadhan yang akan datang. Selain hari-hari tersebut, maka tetap berlaku umum.

Adapun masalah berpuasa sunnah 6 hari bulan syawal bagi orang yang masih mempunyai tanggungan mengqadha puasa ramadhan yang ditinggalkannya, maka hal ini telah lewat penjelasannya terdahulu.

Tidak boleh mengakhirkan qadha hingga datang ramdhan berikutnya. Karena ‘Aisyah -semoga Allah meridhainya- menjadikan bulan Sya’ban sebagai akhir pelaksanaan qadhanya. Namun, bila mengakhirkannya karena adanya udzur semisal kelemahannya karena sakit berlanjut, atau juga safar yang dilakukannya dan selainnya dan belum mampu untuk mengqadha hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani jiwa melainkan menurut kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 285). Maka dalam kondisi seperti ini, ia mengqadha puasa yang ditinggalkannya setelah usai Ramadhan berikutnya tersebut.

Namun, bila ia ceroboh dan menunda pelaksanaan qadhanya tanpa adanya udzur hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia berpuasa setelah Ramadhan yang datang tersebut, ia tidak dikenakan kewajiban memberikan makan, berdasarkan firman Allah ta’ala, فعدة من أيام أخر (hendaknya ia menggantinya pada hari-hari yang lainnya). Ia berkewajiban untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah dari kelalaiannya ini.

Sebagian kalangan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Abu Hurairah telah memfatwakan -dalam kasus seperti ini, ed- bahwa pelakunya hendaknya memberikan makan kepada seorang miskin setiap harinya di samping ia harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya tersebut. Barangkali ini termasuk dalam bab Ijtihad dan pemberian pelajaran kepada orang yang melakukan kelalaian ini. Kekurangannya ini ditambal dengan mewajibkannya untuk memberikan makan untuk setiap puasa yang ditinggalkannya.

Ad-Daruquthni meriwayatkan di dalam Sunannya dari Abu Hurairah semoga Allah meridhainya- tentang orang yang ceroboh dalam hal mengqadha puasa ramadhan yang ditinggalkannya hingga ia menjumpai ramadhan berikutnya. Ia (yakni, Abu Hurairah) berkata,

يَصُومُ هَذَا مَعَ النَّاسِ، وَيَصُومُ الَّذِى فَرَّطَ فِيهِ، وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Orang tersebut berpuasa bersama orang-orang, ia berpuasa pula yang ia bertindak ceroboh padanya dan hendaknya ia juga memberikan makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.”[3]

Dan diriwayatkan pula seperti ini dari Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- mengambil fatwa ini wajiih meskipun sekedar disukai[4]; karena bentuk initermasuk menambal kekurangan dengan sedekah. Sementara sedekah itu dianjurkan secara umum. Wallahu a’lam.

Ya Allah, perbaikilah amal kami, wujudkanlah harapan kami, jadikanlah tetap berada dalam ketaatan kepadamu baik pagi maupun sore hari. Ya Allah ampunilah keburukan-keburukan kami. Angkatlah derajat kami. Kasih sayangilah bapak dan ibu kami. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad.

Footnote :

[1] Al-Bukhari menyebutkannya secara mu’allaq (4/188), Abdurrazzaq menyebutkannya secara bersambung (4/243), Daruquthni 2/192, Ibnu Abi Syaibah 3/33, 34, dan sanda hadis ini Shahih dan dalam masalah ini terdapat beberapa atsar Sahabat yang memberikan faedah demikian.

[2] Lihat : Masa-il al-Imam Ahmad, karya : Al-Baghawi, hal. 85.

[3] Sunan Ad-Daruquthni, 2/197 dan ia berkata, isnadnya shahih. Dan demikian juga yang diriwayatkan Ibnu Abbas isnadnya shahih pula 2/197.

[4] Siapa yang mengatakan, sesungguhnya madzhab Seorang sahabat bukan merupakan hujjah, memungkinkan baginya untuk mengambil pendapat ini meskipun sekedar disukai. Adapun mewajibkannya, maka tidak ada dalil yang valid dari Rasulullah dalam hal ini. Wallahu a’lam.

 

Sumber : Ahaadiitsu Ash-Shiyam; Ahkaamun wa Aadaabun, (Pasal 12: Maa Ba’da Ramadhan, Hadis Ketiga : في قضاء رمضان karya : Abdullah bin Sholeh al-Fauzan, Dosen di Al-Imam Muhammad bin Sa’ud  Islamic University, Cabang Qosim, KSA.


(Amar Abdullah/hisbah.net)

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah

Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *