Siapakah diantara kita yang tidak kenal dengan Imam al-Bukhari atau Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhâri rahimahullah (wafat thn. 256 H)? Tentunya kita mengenalinya. Karena nama beliau tidak asing ditelinga kita.
Beliau adalah penulis kitab Sahih al-Bukhari. Padahal beliau bukan orang arab (ajam) yang lahir pada pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at, 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Dengan buah karya inilah nama Imam Bukhari menjadi dikenal diseantero jagad. Sehingga para Ulama sepakat bahwa kitab tersebut adalah kitab tershahih kedua setelah Al-Qur’an. Tentunya banyak faktor yang membuat Imam Bukhari seperti apa yang kita kenal sekarang.
Diantaranya kelebihan yang dimiliki Imam al-Bukhari adalah keshalihan dan kecerdasan hafalannya. Contoh kisah yang menggambarkan kecerdasaa beliau adalah, suatu ketika beliau rahimahullah datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan Bukhari dan tingginya kedudukan beliau. (Lihat Hadyu Sari, hal. 652)
Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah menceritakan: Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal seratus ribu hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ (Shahih Bukhari, pent) ini dari enam ratus ribu hadits yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656)
Dan kita tahu bahwa tidak ada seorangpun yang dilahirkan langsung menjadi ulama, dokter, guru dan lain-lain. Akan tetapi semua dilahirkan dalam keadaan tidak tahu.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl : 78)
Ayat ini ditunjukan kepada Aisyah radhiallahu ‘anha, Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, Muhammad al-Fatih rahimahullah dan sekeliber ulama lainnya. Akan tetapi proseslah yang membedakan semuanya.
Mari kita tengok sejenak apa yang membuat kecerdasan dan keshalihan Imam Al-Bukhari yang begitu menakjubkan.
Diantara sebab Imam Al-Bukhari menjadi anak yang cerdas dan sholeh adalah karena kesholehan ayah beliau Abul Hasan Isma’il bin Ibarahim.
Ahmad bin Hafsh berkata
دَخَلْتُ عَلَى أَبِي الْحَسَنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنَ إِبْرَاهِيْمَ عِنْدَ مَوْتِهِ فَقَالَ: لاَ أَعْلَمُ فِي جَمِيْعِ مَالِي دِرْهَماً مِنْ شُبْهَةٍ
“Aku masuk menemui Abul Hasan Isma’il bin Ibrahim tatkala ia hendak meninggal. Maka beliau berkata, “Aku tidak mengetahui di seluruh hartaku ada satu dirham yang aku peroleh dengan syubhat”.” (Taariikh At-Thabari 19/239 dan Thabaqat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubra 2/213)
Perhatikan apa yang dikatakan oleh ayah Imam al-Bukhari diatas. Artinya bahwa tidak ada sesuap makananpun yang dimakan kelurganya kecuali dari hasil yang halal.
Maka Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Ketika Allah berfirman :
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51)
Hal ini mengisyaratkan bahwa sangat erat hubungan antara mengkonsumsi makanan halal dengan amal shalih. Maka jangan diharap jasad kita akan bergairah melakukan amal-amal shalih bila jasad tersebut tumbuh dan berkembang dari makanan yang haram.
Atas dasar inilah maka seorang ayah hendaknya mencari rizki yang halal yang terlepas dari haram dan syubhat. Sehingga apa yang keluarga makan menjadi sebab bergairahnya melakukan amal shalih. Perhatikan pesan istri-istri ulama salaf yang selalu mengingatkan suami mereka setiap akan keluar rumah untuk mencari nafkah dengan bisikan, “Kami mampu bertahan menahan kelaparan, akan tetapi kami tidak mampu bertahan menahan neraka Allah”. (Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyaa ulumuddin jilid II, hal 58 dan Ibnu Khalikan dalam Wafayatul A’yaan Jilid II hal. 285).
Setelah sang ayah meninggal dunia maka Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dibesarkan dan dirawat oleh sang ibu. Akan tetapi pada hakekatnya Allah-lah yang telah memelihara Al-Imam Al-Bukhari dan memberikan kesholehan kepadanya karena kesholehan ayahnya.
Allah berfirman :
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS Al-Kahfi : 82)
Al-Haafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وقد قيل إنه كان الاب السابع وقيل العاشر. وعلى كل تقدير فيه دلالة على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته
“Dikatakan bahwa ayah (yang tersebutkan dalam ayat di atas-pen) adalah ayah/kakek ketujuh, dan dikatakan kakek yang kesepuluh. Dan apapun pendapatnya (kakek ke 7 atau ke 10-pen) maka ayat ini merupakan dalil bahwasanya seseorang yang sholeh akan dijaga keturunannya.” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 1/348)
Lihatlah bagaimana Allah menjaga sampai keturunan yang ketujuh karena kesholehan seseorang.
Sa’iid bin Jubair rahimahullah dalam riwayat lain Said bin Musayyib berkata :
إِنِّي لَأَزِيْدُ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِ ابْنِي هَذَا
“Sungguh aku menambah sholatku karena putraku ini.”
Berkata Hiysaam,“Yaitu karena berharap agar Allah menjaga putranya.” (Tahdziibul Kamaal 10/366 dan Hilyatul Awliyaa’ 4/279)
Sekarang kita renungkan tentang diri kita sebagai ayah. Apakah kita termasuk orang-orang sholeh?? Banyak ibadah? Menjaga diri untuk tidak memakan dan membeli dari harta yang syubhat??
Maka janganlah seseorang heran jika mendapati anak-anaknya keras kepala dan bandel…, tidak mau diajak shalat ke masjid, sulit untuk menghafal Al-Qur’an, tidak mau disuruh ngaji!!!
Bisa jadi sebabnya adalah dirinya sendiri yang tidak sholeh dan memakan atau menggunakan harta haram, sehingga dampaknya kepada anak-anaknya.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :
إِنِّي لَأَجِدُ أَثَرَ الْمَعْصِيَةِ فِي أَهْلِي وَدَابَّتِي
“Sungguh aku mendapati dampak buruk maksiat pada keluargaku dan tungganganku.” (Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam Kitab Jawabul Kafi)
Akan tetapi memang bisa saja Allah menguji seorang yang sholeh dengan anak-anak yang bandel dan durhaka, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Nuuh ‘alaihis salaam, demikian juga kisah tentang anak Ibnul Jauzi rahimahullah. Akan tetapi pada asalnya bahwa jika seorang ayah sholeh maka Allah akan menjaga anak-anaknya. Wallahu a’lam bi As-Shawaab.
“Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim : 41)
Penulis : Abu Rufaydah Endang Hermawan Unib
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah.net
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet