Permasalahan Niat Puasa

عن حفصة أم المؤمنين رضي الله عنها أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Dari Hafshoh Ummul Mukminin -semoga Allah meridhoinya- bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan yang lainnya, dan ini adalah hadis shahih.

  1. Abu Dawud (7/122), Ibnu Khuzaimah (1933), Al-Baihaqiy (4/202), An-Nasai (4/194) At-Tirmidzi (3/426) dari jalan lain, hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim, dan tidak ada catat yang menyebabkan hadits ini pincang (علة قادحة) kecuali dalam masalah yang dikatakan dalam masalah perbedaan pendapat mengenai apakah hadits ini marfu’ ataukah mauquf, Imam an Nawawi berkata, hadits ini diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf, ia menlanjutkan : dan isnadnya shohih pada banyak jalan oleh karenanya dijadikan pegangan , karena seorang tsiqqah(terpercaya) yang menyambung baginya secara marfu’ bersamanya.

Hadits tersebut merupakan dalil yang menunjukkan bahwa puasa harus ada niat seperti halnya seluruh bentuk ibadah. Ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah berkata, para ulama sepakat bahwa ibadah yang dimaksudkan dengan ibadah itu sendiri seperti shalat, puasa dan haji tidak sah kecuali ada niat (Syarah Hadits “Sesungguhnya amala-amal itu tergantung niat”, hal. 19) karena puasa adalah meninggalkan (perkara tertentu) khusus pada waktu yang ditentukan, disamping juga karena manahan diri terkadang (dilakukan untuk) kemanfaatan jasmani, oleh karena itu puasa memerlukan niat. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيَّاتِ وإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya amal itu hanya tergantung pada niat-niatnya, dan seseorang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari (1/9), dan Muslim 1907)

Niat tempatnya adalah hati, maka barangsiapa yang terlintas dalam benaknya bahwa besok ia akan berpuasa maka ia sungguh telah berniat. Dan niat sah dilakukan kapan saja dari bagian malam, berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, قبل الفجر

(sebelum fajar terbit), kata “sebelum” menunjukkan absahnya dilakukan kapan saja waktunya dari malam hari. Dan, termasuk hal yang menunjukkan niat adalah bangunnya seorang yang hendak berpuasa untuk makan sahur dan persiapanya untuk melakukan hal tersebut meskipun ia tidak bangun. Maka, niat itu telah hadir dan terlaksana pada setiap muslim yang terbiasa melakukan puasa. Maka barangsiapa makan dan minum dengan niat untuk berpuasa, maka sungguh ia telah berniat.

Berniat di malam hari sebelum terbit fajar berlaku khusus untuk puasa fardhu (wajib) menurut salah satu dari dua pendapat ulama, berdasarkan perkataan ‘Aisyah- radhiyallahu ‘anha– pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku, lalu beliau bersabda, adakah sesuatu (yang bisa dikonsumsi)? maka, kami pun menjawab, “tidak ada”, lalu beliau megatakan, “ فإني إذن صائم

“ (kalau begitu, aku berpuasa… Al-Hadits (HR. Muslim, 1154)). Permintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesuatu yang dapat dikonsumsi menunjukkan bahwa beliau berniat sebelum itu. dan, ungkapan beliau, “ فإني إذن صائم

“ (kalau begitu, aku berpuasa…) menunjukkan permulaan niat pada siang hari.

Kasus yang serupa juga terjadi pada tindakan para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- seperti, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin Al-Yaman, Abu Thalhah, dan Abu Darda. (Lihat Fathul Baari(4/104), dan Taghliiq at Ta’liiq (3/144)

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan, adapun puasa sunnah maka sah manakala niat dilakukan pada siang hari sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau, “ فإني إذن صائم

” (kalau begitu, aku berpuasa…) dan ibadah sunnah itu lebih longgar daripada ibadah fardhu, seperti halnya sholat fardhu wajib dilakukan dengan melakukan sesuatu  yang menjadi rukun-rukunnya seperti, dilakukan dengan berdiri, dilakukan di permukaan bumi (bukan di atas kendaraan) yang hal ini tidak wajib sifatnya dalam pelaksanaan ibadah yang sunnah sebagai bentuk kelonggaran yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya terkait cara-cara dalam pelaksanaan ibadah yang sifatnya sunnah. Sesungguhnya bentuk-bentuk atau macam ragam ibadah yang sifatnya sunnah itu selalu saja lebih longgar daripada ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah, dan ini adalah pendapat yang paling pertengahan. (Majmu’ Al-Fatawa, 25/120)

Dengan demikian, bila seseorang berniat puasa sunnah pada siang hari maka puasanya sah. Akan tetapi, ia hanya mendapatkan pahala puasa dari sejak ia berniat untuk melakukan puasa. Karena, sebelum ia berniat, tak ada maksud untuk mendekatkan diri (kepada Allah ta’ala) dengan demikian tidaklah terhitung sebagai ibadah. Dan, dipersyaratkan orang tersebut belum melakukan perkara yang membatatalkan puasa sejak setelah terbit fajar hingga sebelum berniat untuk berpuasa. Oleh karenanya, bila ternyata ia sebelumnya telah melakukan perkara yang dapat membatalkan puasa maka puasa yang dilakukannya pada hari tersebut tidaklah sah, di mana hal ini tak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Dan, termasuk orang yang memerlukan niat untuk berpuasa adalah orang-orang yang memiliki uzur syar’i yang membolehkan ia tidak berpuasa seperti orang yang sakit, orang yang tengah bepergian jauh, ia terkadang berpuasa terkadang tidak. Maka, bila hendak berpuasa orang tersebut membutuhkan pembaharuan niat, hal ini untuk membedakan hari berpuasanya dengan hari tidak berpuasanya. Demikian pula diperluakan niat bagi orang yang hendak melakukan puasa qodho Ramadhan, atau berpuasa nazar, atau puasa sebagai bentuk kafarat. Wallahu a’lam.

Ya Allah jadikanlah amal sholeh yang kami lakukan hanya untuk wajahMu, dan karuniakanlah taufiq kepada kami untuk dapat melakukan sesuatu yang Engkau cintai dan ridhoi, kumpulkanlah kami bersama kelompok orang-orang yang bertaqwa, pertemukanlah kami dengan hamba-hambaMu yang sholeh, ampunilah kami dan kedua orang tua kami serta seluruh kaum muslim. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sumber : Ahaadiitsu Ash Shiyam ; Ahkaamun wa Aadaabun, (Pasal Kedua : Fii Wujuubi Shiyaam Romadhan wa Maquumaatihi, Hadis Ketiga : An-Niyatu Fii ash-Shiyam, karya : Abdullah bin Sholeh al-Fauzan, Dosen di al-Imam Muhammad bin Sa’ud  Islamic University, Cabang Qosim, KSA.

(Amar Abdullah/hisbah.net)
Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *