Saya Ingin Menegur, Tapi

Banyak saudari-saudari kita yang merasa keberatan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah perkumpulan perempuan dengan alasan takut, malu dan sebagainya. Terkadang mereka mereka merasa berat untuk sekedar menasehati atau setidaknya memberi masukan kepada orang yang memerlukannya. Ketika ditanya mengapa demikian? Ia menjawab, “saya tidak berani mengajak mereka…” atau “Saya ingin menegur tetapi…” Atau sebagian lagi berkata, “Saya perempuan pemalu sehingga kurang percaya untuk menasehatinya”.

Demikianlah keluhan dan alasan sebagian saudari-saudari kita yang lebih memilih untuk berdiam diri dihadapan kemungkaran yang dilakukan oleh saudara, atau teman sepergaulannya. Bahkan sebagian berdalil dengan hadits Nabi yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ، رَجَوْتُكَ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.

Sesungguhnya Allah pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allah telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-MU, dan aku tinggalkan manusia.” (HR. Ahmad)

Padahal sebagian mereka yang melakukan kemungkaran tidak semuanya akan menolak jika ditegur atau diberi tahu, sebagian mereka melakukan kemungkaran karena memang tidak tahu, bahkan sebagian mereka ketika tahu bahwa mereka berada dalam prebuatan maksiat atau mungkar mereka akan bertanya, “Mengapa saya baru diberitahu sekarang?” Sebagian mereka akan senang jika dinasehati, sehingga tidak boleh berprasangkan negatif sebelum mencoba.

Rasa malu adalah fitrah yang Allah ciptakan pada diri manusia.

Malu akan berefek positif jika pada tempatnya, namun jika tidak pada tempatnya ia akan memberikan efek negatif. Bahkan ada pepatah mengatakan tentang malu yang negatif, “malu bertanya sesat dijalan.”

Jika kita mempelajari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau adalah orang yang paling pemalu, bahkan sahabat mensifatkan bahwa beliau lebih pemalu daripada gadis pingitan. Walapun begitu, beliau tidak pernah membiarkan suatu kemungkaran yang beliau ketahui tanpa mengingkarinya, karena beliau ma’shum (terjaga) dari membiarkan suatu kemungkaran lalu mendiamkannya. Seandainya beliau mengetahui suatu kemungkaran lalu beliau mendiamkannya niscaya kemungkaran tersebut akan menjadi mubah karena itu menunjukkan kalau beliau setuju, dan itu tidak mungkin bagi Nabi untuk membiarkan agama Allah dilanggar lalu berdiam diri.

Rasa malu juga tidak menjadi penghalang bagi para shahabiah Nabi untuk bertanya hukum kepada beliau, misalnya Ummu Sulaim ketika bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iya, apabila ia melihat air (mani)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itulah sayyidah Aisyah memuji perempuan Anshor, beliau berkata:

نعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

“Sebaik-baik wanita adalah wanita anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk belajar agama.” (HR. Bukhari & Ibnu Majah)

Jika rasa malu tidak sepantasnya menjadi penghalang bagi wanita muslimah untuk bertanya tentang hukum agama, maka begitu juga halnya dengan menegur saudara atau teman yang melakukan perbuatan mungkar tidak sepantasnya untuk menjadi penghalang.

Imam Nawawi berkata, “Sedangkan pernyataan ‘seluruh rasa malu itu terpuji dan rasa itu tidak akan membawa kecuali kebaikan’, terkadang disalah pahami oleh sebagian orang, ia menyebabkan seseorang malu untuk mengatakan yang haq dihadapan orang yang ia hormati, sehingga ia tidak menganjurkannya kepada yang ma’ruf dan tidak melarangnya dari yang mungkar, bahkan terkadang rasa malu tersebut menyebabkannya lalai terhadap sebagian hak orang lain, dan berbagai hal yang biasanya adalah perkara yang ma’ruf.

Jawaban terhadap fenomena ini adalah sebagaimana yang telah dijawab oleh sekolompok ulama diantaranya Syeikh Amr bin Shalah rahimahullah bahwasanya penghalang yang kami sebutkan ini bukanlah rasa malu yang sebenarnya, melainkan kelemahan dan kehinaan. Sedangkan sebagian orang yang menyebutnya dengan rasa malu adalah dengan maksud majaz, karena ia mirip dengan malu.” (Syarh Shahih Muslim, 2/5)

Dari sini kita ketahui bahwa rasa malu tidak menjadika amar ma’ruf nahi munkar boleh ditinggalkan. Dan jika malu menjadi alasan untuk meninggalkannya, maka ia termasuk malu yang dicela.

Para ulama telah menyebutkan beberapa bentuk malu yang tercela, diantaranya:

  • Malu bertanya walaupun ia sangat membutuhkan kepada jawaban, sehingga kesempatan untuk mendapatkan ilmu akan terlewatkan hanya karena rasa malu. Mujahid berkata, “Tidak akan dapat menuntut ilmu orang yang malu dan juga orang yang sombong.”
  • Malu menampakkan syiar agama islam dihadapan orang-orang ahli maksiat. Misalnya malu melakukan sunnah atau menampakkannya karena takut orang sekitar merasa heran melihatnya atau takut dicela.
  • Malu untuk menegur orang yang melakukan kemungkaran, yang pada hakikatnya malu semacamnya ini bukanlah malu, melainkan kelemahan iman dan kelemahan pribadi. Dan disini terlihat sesuatu yang menakjubkan, orang pelaku kemungkaran merasa percaya diri bahkan bangga dengan kemungkarannya sedangkan orang yang berada dijalan yang benar malu untuk menegurnya.

Rujukan : http://islamselect.net

Penyusun : Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah

Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *