عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ»
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagiannya untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu, kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Al-Bukhari, no. 5889 dan Muslim, no. 6925)
Ibnu Baththal berkata, “Melihat dengan syahwat, berbicara secara vulgar, dan membayangkan sesuatu disebut ‘zina’ karena semua perbuatan di atas merupakan faktor pendorong terjadinya zina yang hakiki. Terkadang, penyebab suatu perbuatan itu diberi nama dengan perbuatan itu sendiri karena keduanya memiliki keterkaitan.” (Syarh Bukhari oleh Ibnu Batthal, 19:414)
Melihat dengan Syahwat
Mata sesungguhnya karunia Allah yang sangat agung. Betapa tidak!? Sementara dengannya seseorang dapat melihat beragam hal dihadapannya, dengannya seorang banyak mendapatkan kemaslahatan dalam hidupnya. Allah ‘azza wajalla mengingatkan nikmatNya yang agung ini dalam firmanNya,
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ
“Bukankah kami telah menjadikan untuknya kedua buah mata.” (QS. Al-Balad : 8)
Maka, menjadi keharusan bagi orang yang dikaruniai nikmat ini untuk bersyukur kepadaNya dengan segala bentuknya, dengan hatinya, yakni, dengan meyakini bahwa kenikmatan tersebut dari Allah datangnya.
Dengan lisannya, yakni, dengan banyak-banyak menyanjung dan memujiNya. Dengan anggota badannya, yakni, dengan menggunakan kedua matanya tersebut untuk perkara yang diridhaiNya, melihat kebesaran dan keagunganNya dan mengambil ibrah dan pelajaran darinya. Tidak menggunakannya untuk perkara yang justru mengundang kemurkaannya, seperti menjadikannya sebagai pengantar dan pendorong untuk jatuh ke dalam perbuatan zina, yaitu dengan memandang lawan jenis yang tidak halal baginya dengan pandangan yang penuh dengan syahwat.
Berbicara Secara Vulgar
Lisan juga merupakan karunia Allah yang tidak kalah agungnya dengan nikamt berupa mata, dengan lisan seorang berbicara, oleh karena itu sama halnya dengan nikmat mata, banyak kemaslahatan hidup yang didapatkan dengan adanya nikmat ini, Allah pun mengingatkan nikmatNya yang agung ini, dalam firmanNya,
وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
Bukankah juga Kami telah menjadikan untuknya) Lidah dan dua buah bibir.” (QS. Al-Balad : 9)
Oleh karenanya nikmat inipun harus disyukuri, dengan berbagai macam bentuknya, yakni dengan seseorang meyakini bahwa ini merupakan nikmat dariNya, dan mendayagunakannya di jalan yang diridhaiNya, banyak memuji dan menyajungNya, hanya mengucapkan kata-kata yang baik saja, meninggalkan pembicaraan yang tidak berguna, apalagi ucapan-ucapan vulgar yang dapat mengantarkannya terjatuh ke dalam perzinaan yang merupakan perbuatan keji dan merupakan jalan yang buruk.
Ucapan-ucapan vulgar merupakan bagian dari ucapan keji yang tidak selayaknya seorang muslim mengutarakannya. Karena, suri teladan mereka tidak pernah mengajari pengikutnya untuk melakukan hal tersebut, bahkan pribadi beliau adalah sosok pribadi yang sedemikian menjaga lisannya, beliau bukanlah orang yang keji yang suka berkata dan bertindak keji. Demikianlah yang dituturkan oleh sahabat mulia Abdullah bin Umar -semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata,
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلا مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاقًا
“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam orang yang suka berkata keji, bukan pula orang yang berakhlaq keji. (Bagaimana beliau suka berkata keji dan berakhlaq keji) sementara beliau seringkali bersabda, “Sesungguhnya di antara orang yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaqnya.” (HR. Al-Bukhari)
Mendengar Ungkapan Keji
Telinga juga merupakan bagian dari nikmat Allah yang agung, dengannya banyak kesmalahatan hidup didapatkan. Maka, sudah selayaknya pula seseorang mensyukurinya. Salah satu caranya adalah dengan menggunakannya untuk mendengarkan sesuatu yang memberikan kemanfaatan baginya, baik dunia maupun akhirat. Tidak mendayagunakannya untuk mendengarkan ucapan keji yang justru akan mengantarkannya untuk terjatuh ke dalam kekejian. Allah ‘azza wajalla mengingatkan bahwa nikmatnya ini akan dimintai pertanggung jawaban kelak di hadapanNya,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra : 36)
Semoga Allah ta’ala memberikan taufiq kepada kita untuk menjaga lisan, telinga dan mata kita, serta seluruh anggota badan kita dari terjatuh kedalam perkara keji. Aamiin. Wallahu a’lam
Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net
Gabung juga di Fans Page Hisbah