Beliau adalah Syuraih bin Al-Harits Al-Kindy. Beliau adalah salah satu hakim yang paling terkenal di awal-awal masa peradaban islam. Beliau adalah keturunan Persia yang bertempat tinggal di Yaman. Beliau hidup di zaman Nabi namun tidak bertemu dengannya, namun beliau adalah salah satu ulama tabiin. Beliau menjadi hakim di Kufah pada zaman Umar, Utsman, Ali, dan Mu’awiyah. Wafat pada tahun 78 Hijriyah.
Ketika Ali bin Abi Thalib menuju ke Shiffiin, beliau kehilangan baju besinya, setelah perang selesai dan beliau kembali ke Kufah, baju besi tersebut dilihat bersama salah seorang yahudi, sehingga beliau berkata padanya, “Baju besi ini milikku, saya belum pernah menjual atau memberikannya kepada siapapun.” Orang yahudi tersebut menjawab, “Ini adalah baju besiku dan ada di tanganku.” Kemudian Ali berkata, “Kalau begitu kita pergi ke hakim.”
Setelah mereka sampai, Ali radhiyallahu ‘anhu maju kesamping Syuraih yang waktu itu ia adalah sebagai hakim dan berkata, “Kalau bukan karena orang yang berselisih denganku itu adalah orang yahudi, niscaya aku akan duduk sejajar dengannya. Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kucilkanlah mereka sebagaimana Allah mengucilkan mereka.”
Kemudian Syuraih berkata, “Katakanlah aduanmu wahai amirul mukminin.” Ali berbicara, “Baju besi yang ada di tangan orang yahudi ini adalah milikku, aku belum pernah menjualnya atau memberinya kepada siapapun.” Kemudian Syuraih berkata, “Sekarang apa yang engkau katakan wahai orang yahudi?” ia menjawab, “Ini adalah baju besiku dan ada di tanganku.” Kemudian Syuraih bertanya, “Apakah engkau memiliki bukti wahai Amirul mukminin?” Ali menjawab, “Ia, Qunbur dan Al-Hasan adalah saksi bahwa beju besi ini milikku.” Syuraih berkata, “Kesaksian dari anak tidak sah bagi ayahnya.” Ali berkata, “Orang yang dijamin mauk surga kesaksiannya tidak diterima? Saya pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda surga.” Disaat itu juga orang yahudi tersebut berkata, “Amirul mukminin mengajakku ke hakimnya, dan ternyata hakimnya memutuskan keputusan yang tidak memihak kepada amirul mukminin, saya bersaksi bahwa (agama) ini adalah yang benar, dan saya bersaksi bahwasanya tiada tuhan (yang berhak disembah dengan benar) selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, besi ini adalah milikmu.”
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah diatas:
Pertama, pentingnya keadilan bagi seorang muhtasib, dan keadilan adalah lawan kata kezholiman. Allah ta’ala berfirman:
﴿…قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾
“…Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am: 152)
Kedua, istiqomah di jalan yang haq dan tidak tawar-menawar.
Tawar-menawar di dalam hukum Allah adalah sesuatu yang tidak dibolehkan sama sekali. Diantara ujian yang berat bagi seorang muhtasib adalah ketika ia dihadapkan dengan keadaan dimana ia harus memilih salah satu antara ridho Allah atau ridho manusia. Lebih berat lagi jika yang bersalah adalah atasannya atau orang-orang yang terdekat dengannya seperti kerabat dan sebagainya. Maka hendaklah seorang muhtasib mengharap ridho Allah semata, dan tidak terperdaya dengan mencari ridho manusia dengan mendatangkan murka Allah ta’ala.
Ketiga, perilaku orang Islam sangat mempengaruhi pandangan nonmuslim terhadap Islam. Dalam kisah diatas, masuk islamnya orang yahudi adalah karena takjubnya kepada keadilan yang dipraktekkan oleh Syuraih. Sehingga ia meyakini bahwa agama yang menganjarkan demikian adalah agama yang benar.
Diringkas dari: http://www.almohtasb.com/main/4796-1.html
Penyusun: Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet