Ketahuilah bahwa hakikat sesuatu itulah yang menjadi penilaian meskipun banyak orang tertipu karena sesuatu ditampilkan dengan beragam polesan. Sihir misalnya, di kalangan masyarat kita Indonesia yang sedemikian kental dengan sintretisme kebudayaan, banyak orang terkecoh dengan sihir karena adanya penggunaan istilah yang berbeda sehingga terkesan bahwa hal tersebut bukanlah merupakan sihir. Namun, sebenarnya itu adalah sihir yang diharamkan. Misalnya, penyebutan “pengobatan spiriritual”, “transfer bioenergi”, “penggalian jatidiri”, “ruwat”, “ilmu khodam”, “daya laduni”, dan sejenisnya.
Ketika orang awam mendengar hal-hal tersebut sangat boleh jadi serta-merta mereka mengatakan bahwa hal itu tidak mengapa, apalagi kemudian berdalih misalnya untuk kebaikan mungkin seperti, menjaga diri, membentengi diri dan lain sebagainya. Demikianlah, hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengerti hakikat dari hal-hal tersebut yang tidak lebih adalah “sihir”, yang merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah ta’ala.
Barangkali salah satu faktor inilah -yakni, kebodohan seseorang akan hakekat sesuatu perkara-perkara di atas kian menjamur di negeri kita ini, Indonesia-, mereka tertipu dengan penggunaan istilah yang sedemikian indah terdengar.
Pembaca yang budiman,
Bahkan, tidak sebatas penggunaan istilah untuk hal-hal tersebut yang pada hakikatnya merupakan sihir, namun untuk orang yang melakukan praktek terebut pun digunakan istilah yang terkesan sedemikian ilmiah. Misalnya, seorang dukun disebutnya dengan, “orang pintar”, “supranaturalis”, “ahli metafisika dan geopati”, “paranormal”, “penghusada”, dan sebagainya. Maka, waspadalah jangan sampai anda terkelabui dengan hal-hal tersebut. Karena, -sekali lagi- yang menjadi patokan adalah sesuatu bukan penamaannya.
Pembaca yang budiman,
Sihir dan sejenisnya yang dibungkus dengan istilah-istilah yang membuat orang tertipu dan terperdaya dengannya kian merebak saja. Hal ini sangat boleh jadi karena sedemikian gencar dipromosikan di berbagai media baik cetak elektronik dan lain sebagainya. Sedemikian bombastis tawaran-tawaran yang dijanjikan. Bahkan, ada sebagian yang mengklaim dapat mengatasi masalah apa saja, dari mulai masalah yang sederhana sampai dengan masalah yang rumit.
Ironisnya, sebagian masyarakat muslim kian terbentuk akal dan pikirannya dengan semua itu. Lahirlah kemudian keyakinan yang berasal dari akal yang ‘jumud’ yang tergantung dan menggantungkan segala-galanya kepada orang-orang ‘sakti’ itu.
Bahagia atau sengsara, senang-susah, sehat-sakit, berhasil atau gagal, maju atau mundur, seolah-olah ditentukan oleh mereka. Umat pun mulai lupa akan kekuasaan dan ketentuan Allah. Maka, tak jarang keyakinan mereka tergadaikan dengan hal-hal semacam itu. Sehingga akhirnya orang-orang itu pun dipertuhankan tanpa mereka sadari, yaitu dengan mentaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, menghalalkan apa yang sebenarnya diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Sebagaimana yang disinyalir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya,
عَنْ عَدِىِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ، قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ (اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ) قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ قال أَجَلْ وَلَكِنْ يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَيُحَرِّمُونَهُ فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ لَهُمْ
Dari ‘Adiy bin Hatim -semoga Allah meridhoinya-, ia berkata, aku pernah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam sementara pada leherku tersemat (kalung) berbentuk salib yang terbuat dari emas. ia berkata, lalu aku mendengar beliau membaca firman Allah,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah (QS. At-Taubah : 31)
Perawi berkata, akupun berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka tidaklah menyembah mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka). Beliau pun menjawab; “Tentu saja, akan tetapi mereka (para orang alim dan rahib-rahib mereka) menghalalkan untuk mereka apa-apa yang Allah haramkan, lalu merekapun menghalalkannya. Para orang alim dan rahib-rahim mereka mengharamkan atas mereka apa-apa yang Allah halalkan, maka mereka pun mengharamkannya. Maka, yang demikian itu merupakan bentuk peribadatan mereka kepada orang alim dan rahib-rahib mereka tersebut.” (HR. an-Nasai, no. 20137).
Wallahu a’lam.
Penyusun : Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net