Lalai dan Enjoy dengan Kemungkaran

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya semuanya, amma ba’du,

Allah ta’ala berfirman,

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مَّعْرِضُونَ * مَا يَأْتِيهِم مِّن ذِكْرٍ مَّن رَّبِّهِم مُّحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Quranpun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.” (QS. Al-Anbiya : 1-2)

Ini dia saatnya penghisaban telah mendekat seiring berlalunya waktu hari demi hari, setiap kali berlalu harimu maka sebagian jatahmupun pergi. Sungguh manusia berada pada kelalaian yang sangat menakjubkan, mereka lalai dari maksud di mana mereka diciptakan.

Hari-hari pun terus berlalu, umur semakin berkurang, lembaran-lembaran catatan amal terbentang, orang yang bahagia adalah siapa yang menutup kehidupan (di dunia) dengan sesuatu yang diridhai Allah dan ketaatan kepadaNya.

Kelalaian adalah penyakit membahayakan, mana kala ia menghinggapi hati maka ia akan membinasakannya, mana kala ia mampir di tubuh maka ia akan menodainya.

Banyak orang lalai akan suatu hari di mana mereka akan menuju ke tempat tersebut karena tertipu oleh kehidupan dunia, mereka lalai akan sesuatu yang akan mereka temui di dalam kubur, mereka lalai akan perkara yang akan mereka temui berupa kengerian di hari kiamat, hati mereka telah dinina bobokkan (oleh beragam senangan kehidupan dunia) sehingga mereka tidak merasa.

Saudaraku, gugahlah hatimu! Hendaknya Anda mengetahui bahwa di antara tanda kecintaan Allah kepada hambaNya adalah “sadarnya hatinya” oleh kerana itu, dahulu para salaf (generasi terdahulu yang baik) mengingatkan hal itu. Ibnu Sirin –rahimahullah– berkata, jika Allah menghendaki kebaikan untuk hambanya, dijadikan baginya pemberi nasehat dari hatinya, yang memerintahkannya dan melarangnya.

Dan, Ibnu Qayyim berkata, asal seluruh kemaksiatan itu ada tiga, (1) bergantungnya hati kepada selain Allah, (2) taat terhadap kekuatan amarah dan (3) (tunduk kepada) kekuatan dorongan hawa nafsu. Ketiga hal tersebut hakikatnya adalah sebuah kesyirikan, kezhaliman dan kekejian. Karena puncak kebergantungan kepada selain Allah adalah kesyirikan, dan disembahnya sesembahan selain Allah bersamaan dengan disembahnya Allah. Puncak pelampiasan sebuah kemarahan adalah pembunuhan, dan puncak kekuatan dorongan hawa nafsu adalah zina. Oleh karena itu, Allah menggabungkan antara dosa-dosa besar tersebut, seraya berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al-Furqan : 68)

Ketiga hal tersebut merupakan pokok kemaksiatan yang demikian jelas, hanya saja sangat boleh jadi terkadang hal tersebut tidak begitu jelas bagi kebanyakan orang. Bahkan, perasaan kebanyakan mereka telah mati, sehingga tidak merasakan sedikitpun akan hal tersebut sama sekali. Maka, hati yang demikian telah tertutupi oleh perbuatan dosa yang mereka lakukan sehingga tak sedikitpun mereka dapat merasakan. Adapun sebab terjadinya hal demikian adalah “merasa enjoi dengan kemunkaran”. Hal demikian karena sedemikian akrab mereka melakukan kemunkaran, inilah yang pernah ditakutkan oleh Abu Hasan Az-Ziyad, di mana beliau pernah berkata,

والله ما أبالي بكثرة المنكرات والبدع, وإنما أخاف من تأنّس القلب بها؛ لأن الأشياء إذا توالت وكثُرت مباشرتها، أنِست بها النفوس، وإذا أنست بها النفوس قلّ أن تتأثر بها

“Demi Allah, aku tak peduli dengan banyaknya kemunkaran dan kebid’ahan, namun aku menghawatirkan adanya rasa enjoinya hati dengan hal-hal tersebut, karena sesuatu bila telah menyebar dan menjadi banyak dilakukan, niscaya jiwa akan meresa enjoi, dan bila telah merasa enjoi, akan sedikit sekali seseorang merasa tidak nyaman dengan hal tersebut.”

Dan, yang lebih berbahaya dari hal tersebut adalah seseorang justru merasa enjoi dengan akibat perbuatan dosa yang dilakukannya, dan kita memohon perlindungan kepada Allah. Hingga terkadang hal tersebut sampai kepada tingkat tidak adanya rasa bahwa kondisi di mana ia tengah berada di dalamnya merupakan akibat dosa yang dilakukannya.

Di antara contohnya, Anda dapati sebagian mereka tidak mendapatkan taufiq untuk dapat melaksanakan amal sholeh berupa shalat berjama’ah dalam tempo waktu yang cukup lama, hingga ia merasa nyaman dengan hal itu. Oleh karenanya, ia tak merasa adanya penyesalan di dalam hati, tidak pula merasakan pedihnya dosa, dan barangsiapa yang sampai pada tingkatan ini maka sungguh ia tengah berada pada bahaya yang besar.

Ibnu Qayyim berkata, dosa-dosa adalah luka-luka, dan betapa banyak luka itu menimpa seseorang dalam peperangan.

Oleh karena itu, berhati-hatilah, waspadalah selalu jangan sampai Allah memberikan dinding pemisah antara Anda dan hati Anda sehingga Anda diharamkan dari mendapatkan taufiq Allah, diharamkan pula dari bertaubat dan terdorong untuk kembali kepadaNya. Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُواْ بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (QS. Al-An’am : 110)

Semoga Allah merahmati seorang penyair yang berkata dalam bait syairnya,

رأيت الذنوب تميت القلوب *** وقد يورث الذل إدمانها

وترك الذنوب حياة القلوب *** وخير لنفسك عصيانها

Aku melihat dosa-dosa itu (dapat) mematikan hati *** dan terkadang mewariskan kehinaan bila mana selalu saja dilakukan

dan, meninggalkan dosa-dosa adalah kehidupan bagi hati *** dan adalah pilahan terbaik bagimu menyelisihinya.

Saudaraku, yang semoga Allah berkahi, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam sunannya dari Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن المؤمن يرى ذنوبه كأنها في أصل جبل يخاف أن يقع عليه, وإن الفاجر يرى ذنوبه كذباب وقع على أنفه, فقال به هكذا فطار.

“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah ia berada di bawah gunung, ia pun sangat menghawatirkan gunung tersebut akan menimpanya. Sementara seorang yang fajir melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, maka ia pun menghalaunya dengan tangannya demikian, sehingga sang lalat pun terbang.”

Dan, hendaknya kita merenungkan perjalanan hidup orang-orang terdahulu kaitannya dengan sifat perasaan terhadap dosa, kekhawatiran mereka dari melakukan kemaksiatan dan kekhawatiran mereka akan tidak diterima amal shlaih yang telah mereka lakukan. Sungguh mereka adalah para pemilik hati yang sadar, tak sedikitpun mereka memberikan peluang kepada sesuatu yang berpotensi akan menutupi hati mereka, hati mereka sama sekali tak terusakkan oleh kehidupan dunia, sungguh amat peka perasaan mereka. Hingga salah seorang di antara mereaka sampai kepada ingat tentang dosa yang pernah dilakukannya 40 tahun yang silam, ia senantiasa merasa adanya dampak negativ dari perbuatan dosanya tersebut. Dan, tidaklah sanggup seorang pun mengingat sebuah dosa yang telah lewat sejauh tahun tersebut kecuali ia adalah seorang hamba yang dosa-dosanya sedikit sehingga ia mampu untuk menghitung-hitungnya. Demikianlah mereka merasakan dosa dan mereka mengaitkannya dengan musibah yang menimpanya.

Telah datang kabar tentang sebagian Salaf, bahwa ada seorang yang memukul wajahnya, maka ia pun meletakkan pipinya di atas tanah seraya berkata, ya Allah ampunilah dosaku yang telah membuat aku diperlakukan demikian oleh orang lain.

Bahkan di antara mereka perkaranya sampai kepada mereka mengaitkan musibah yang menimpanya akibat dosa yang pernah dilakukannya, mereka menduga bahwa dosa yang dilakukannya tersebut merupakan sebab mereka tidak mendaptkan taufiq untuk melalukan ketaatan. Hingga ada seorang salaf yang masuk menemui temannya di rumahnya, ia mendapati dirinya tengah menangis. (Melihat hal tersebut) maka ia pun berkata kepada tamannya yang tengah menangis tersebut, “Apa gerangan yang membuat engkau menangis?” Ia pun menjawab, “Sesungguhnya pintu rumahku tertutup sementara tabir penutupnya meninggi dan hal itu menghalangi aku untuk membaca sejumlah ayat tertentu yang biasa aku baca pada malam tadi, hal tersebut tidaklah terjadi melainkan disebabkan karena sesuatu dosa yang pernah aku lakukan”.

Allah akbar, demikian itulah kondisi mereka, maka sungguh sangat layak bagi mereka disematkan sifat sebagai manusia yang paling menghambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sa’id bin Jubair pernah ditanya, Siapakah manusia yang paling menghambakan dirinya kepada Allah? Ia pun menjawab, “Seorang yang merasa terluka karena melakukan suatu dosa, maka setiap kali ia teringat dengan dosanya tersebut ia memandang remeh amal sheleh yang pernah dilakukannya”.

Maka, waspadalah selalu akan adanya kelalaian dan rasa enjoi melakukan kemungkaran, Allah mengingatkan, seraya berfirman,

فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am : 44)

Akhirnya, kita memohon kepada Allah Dzat yang Maha Agung agar berkenan memberikan kepada kita hati yang khusyu’, lisan yang selalu berdzikir mengingatNya, mata yang mencucurkan air mata (kerena takut kepada ancaman dan siksaNya), dan doa yang dikabulkan.

Dan, semoga pula Allah menghidupkan hati kita dengan iman, melindungi kita dari tergelincir oleh hawa nafsu dan tipu daya syaithan.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.


Sumber: http://www.almohtasb.com

Judul Asli : Al-Ghaflatu Wa Ilfu al-Munkar. Penulis : Abdullah bin Fahd Az-Zahraniy

Penerjemah:  Amar Abdullah Abu Umair bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *