Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, beserta keluarga dan para sahabatnya dan siapa saja yang mencintainya. Amma ba’du,
Ketika seorang muslim sangat membutuhkan ilmu untuk beribadah kepada Allah agar ia melakukannya berdasarkan hujjah yang nyata, maka kebutuhan dirinya terhadap ilmu semakin bertambah mana kala ia tampin di hadapan khalayak untuk memberikan kemanfaatan kepada orang lain melalui seruan kebaiakn kepada mareka, pengajaran terhadap mereka, pemberian nasehat terhadap mereka dan pimbingan serta arahan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman,
﴿قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِين﴾
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)
Oleh karena itu, sudah semestinya orang yang hendak beramar ma’ruf dan nahi munkar bertafaqquh (mengkaji secara mendalam) tentang agama Allah agar perintahnya (kepada orang lain) kepada perkara yang ma’ruf dan pencegahannya terhadap perkara yang mungkar sesuai dengan apa yang dihendaki oleh Allah, tidak dilakukan semaunya dan mengikuti hawa nafsunya. Imam An-Nawawi berkata, “Orang yang pantas untuk memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegar dari yang mungkar hanyalah orang yang mengetahui sesuatu yang ia perintahkan dan sesuatu yang ia larang. Dan, tentunya hal tersebut berbeda antara satu masalah dengan masalah yang lainnya. Maka, jika hal tersebut merupakan perkara yang bersifat wajib yang sangat kentara dan merupakan perkara yang haram yang telah masyhur seperti masalah shalat, puasa, zina dan khomer serta yang lainnya, maka setiap individu muslim mengetahui perkara-perkara tersebut. Dan bila perkara-perkara tersebut termasuk perkara yang cukup rumit baik berupa tindakan maupun perkataan serta masalah-masalah yang berkaitan dengan ijtihad maka tidak layak orang awam menceburkan diri dalam masalah-masalah tersebut dan mereka tidak berhak untuk melakukan pengingkarannya, hal tersebut adalah kewenangan para ulama”[1].
Bila perkaranya demikian halnya, maka seorang yang beramar ama’ruf nahi munkar harus memiliki perhatian yang tinggi terhadap ilmu, adapun seseorang tampil untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar terkait dengan suatu masalah tertentu sementara ia tidak memiliki ilmu tentang hal itu, maka hal ini justru tercela. Dan sangat dikhawatirkan pelakunya termasuk ke dalam firmanNya ‘azza wajalla,
﴿وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ﴾
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl : 116)
Bukanlah maksud dari apa yang telah disebutkan di atas bahwa seseorang harus menguasai atau memiliki ilmu yang luasa dalam setiap cabang ilmu, akan tetapi yang menjadi maksud adalah diperolehnya apa yang akan membantu seorang yang akan beramara ma’ruf dan nahi munkar untuk melakukan hal tersebut dan mengetahui hukum maslah yang akan dihadapi sebelum ia mulia untuk melakukan pengingkaran, disertai pula dengan pengetahuan yang benar mengenai kenyataan yang benar-benar terjadi. Karena, kesemangatan dan kecemburuan kepada agama saja tidaklah cukup. Ibnu Taimiyyah berkata tentang orang yang hendak beramar ma’ruf nahi munkar, “Amal yang dilakukannya tidaklah sholeh jika dilakukan tanpa ilmu dan pemahaman yang benar, seperti kata Umar bin Abdul Aziz,
من عَبَدَ الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح…
“Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa dilandasi ilmu niscaya sesuatu yang akan meruksanya lebih banyak daripada Sesutu yang akan memperbaiki…”
Karena sesungguhnya niat dan amal jika tidak dilandasi dengan ilmu hal tersebut adalah kebodohan, kesesatan dan merupakan bentuk mengikuti hawa nafsu. Inilah yang membedakan antara orang-orang jahiliyah dan kaum muslimin. Oleh karenanya, orang yang hendak beramar ma’ruf nahi munkar harus tahu tenteng amar ma’ruf dan nahi munkar serta dapat membedakan antara keduanya. Di samping itu, ia pun dituntut untuk mengetahui keadaan seseorang yang menjadi objek amar ma’ruf nahi munkar. Dan termasuk kemaslahatan adalah melakukan perintah dan melarang dengan menggunakan jalan yang lurus, dan ini adalah jalan terdekat menuju tercapainya maksud.”[2]
Para salaf (pendahulu yang baik) telah memahami hal makna ini secara sempurna. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak layak memerintahkan yang ma’ruf tidak pula layak menjegah dari yang munkar melainkan dilakukan oleh orang yang memiliki 3 hal pada dirinya; (1) belas kasihan terhadap sesuatu yang diperintahkan, kasih sayang pula terhadap perkara yang dilarang, (2) adil terhadap sesuatu yang diperintahkan adil pula terhadap sesuatu yang dilarang, (3) mengetahui perkara yang diperintah mengetahui pula perkara yang dilarang[3]. Lihatlah bagaimana beliau melarang orang yang tidak memiliki ilmu untuk beramar maruf nahi munkar, padahal sangat boleh jadi orang tersebut adalah orang yang paling baik di antara manusia dan paling semangat untuk menolong kebenaran, hal ini karena orang yang bodoh lebih banyak merusak daripada mendatangkan maslahat, dan sangat boleh jadi pengingkarannya yang dilakukan tanpa ilmu berdampak buruk yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Oleh karenanya, kita memohon taufiq kepada Allah untuk kita dan saudara-saudara kita. Akhir seruan kami adalah segala pula hanya bagi Rabb semesta alam.
Footnote :
[1] Syarh An-Nawaawi ‘Ala Muslim, 2/23.
[2] Al-Amru bil Ma’ruufi wan Nahyu ‘Anil Munkar, Ibnu Taimiyah, hal. 19.
[3] Al-Amru bil Ma’ruufi wan Nahyu ‘Anil Munkar, Al-Khalaal, hal. 24.
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Umair dari www.almohtasb.com.
#Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet