Apa hukuman bagi orang yang berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan mahrom, dan apakah ada taubat dari perbuatan tersebut?
Jawab :
Pertama, berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan mahrom adalah lebih besar dosanya daripada berzina dengan orang yang tidak memiliki hubungan mahrom. karena dalam perbuatan tersebut terdapat pemutusan hubungan, menyakiti dan pelanggaran terhadap rahim yang mana kita diperintahkan untuk menyambungnya.
Oleh karena itu, sebagian ahli ilmu perpendapat bahwa pelaku zina dengan orang yang masih ada hubungan mahrom hukumannya adalah dibunuh bagaimanapun kondisinya, apakah si pelaku tersebut telah menikah maupun belum.
Pendapat ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, rahimahullah. Adapun jumhur (mayoritas Ulama) berpendapat bahwa pelakunya dihukum sebagaimana hukuman yang diberlakukan terhadap pezina, yakni : bila pelakunya telah menikah, maka ia dihukum rajam, Sedangkan apabila pelakunya belum menikah, maka ia dihukum dera sebanyak 100 kali, meskipun -tentu- dosanya adalah lebih besar.
Di dalam kitab Mathaalib Ulii An-Nuhaa disebutkan, “Dan pelaku zina dengan seseorang yang masih memiliki hubungan rahim seperti seorang lelaki berzina dengan saudari kandungnya seperti seorang yang berzina dengan selain mahrom berdasarkan keumuman riwayat dari imam Ahmad; pelaku zina dengan orang yang masih memiliki hubungan rahim dalam kondisi apapun, baik si pelaku telah menikan ataupun belum. Dikatakan kepada beliau (imam Ahmad): bagaimana dengan si wanita? beliau menjawab: keduanya sama saja. Adapun pendapat madzhab beliau seperti telah disebutkan terdahulu, yakni bahwa berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan rahim seperti berzina dengan yang lainnya”. selesai. (Mathaalib Ulii An-Nuhaa, 6/181)
Ibnul Qoyyim mengatakan, terkait dengan berzina dengan ibu, anak, dan saudari, sesungguhnya tabiat seseorang lari dari hal tersebut, hukuman bagi orang yang melakukannya merupakan hukuman yang sangat keras menurut salah satu riwayat dari dua riwayat Imam Ahmad, yaitu bahwa pelakunya dibunuh bagaimanapun kondisinya, baik ia telah menikah ataupun belum menikah. Inilah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat ini ini juga merupakan pendapat Ishaq bin Rohawaih dan sekelompok ahli hadits.
Abu Dawud telah meriwayatkan dari hadis al-Barro bin ‘Azib, ia berkata, aku pernah berjumpa dengan pamanku sementara beliau membawa bendera, lalu aku bertanya kepada beliau, hendak kemana Anda? beliau menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku kepada seorang lelaki yang menikahi istri bapaknya sepeninggal bapaknya, (beliau shallallahu ‘alaihi wasallam) menyuruhku agar memenggal lehernya dan mengambil hartanya.” (Dishahihkan oleh al-Albani di dalam Irwa-ul Gholil, 2351)
Dan di dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan ibnu Majah dari hadis Ibnu ‘Abbas, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyetubuhi orang yang masih memiliki hubungan rahim, maka bunuhlah ia.” (hadis ini dilemahan oleh Syaikh al-Albani di dalam Dho-if al-Jami’, 5524)
Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa yang berzina dengan orang yang masih mamiliki hubungan rahim, maka ia terkena hukuman. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai sifat hukuman tersebut apakah hukumannya “dibunuh” dalam kondisi apappun ataukah hukumannya adalah hukuman yang diberlakukan terhadap orang yang melakukan zina?
Dalam masalah ini adala dua pendapat dikalangan para ulama, Imam Syafi’, imam Malik dan Imam Ahmad, dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa hukumannya adalah hukuman yang diberlakukan terhadap orang yang melakukan zina. sedangkan imam Ahmad- dalam riwayat lain-, Ishaq dan sekelompok ahli hadis berpendapat bahwa hukumannya adalah “si pelaku di bunuh” apapun kondisinya. Selesai (dinukil secara ringkas) dari al-Jawab al-Kafi, hal 270.
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin memilih pendapat bahwa pelakunya dibunuh apapun kondisinya. Beliau mengatakan, zhahir perkataan pengarang bahwa tidak ada bedanya antara berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan rahim maupun tidak. Akan tetapi zina yang dilakukan dengan orang yang masih memiliki hubungan rahim hukumannya adalah pelakunya dibunuh apapun kondisinya, berdasarkan hadis shahih yang ada terkait dengan masalah tersebut.
Ibnul Qoyyim di dalam kitab al-Jawab al-Kafi memilih pendapat tersebut, bahwa pelaku zina dengan orang yang masih memiliki hubungan rahim dibunuh apapun kondisinya. Contohnya, bila seseorang berzina dengan saudarinya- wal ‘iyadzubillah– atau ia berzina dengan bibinya, atau berzina dengan ibu istrinya, atau berzina dengan anak istrinya yang telah ia menggaulinya, dan lainnya, maka ia dihukum bunuh apapun kondisinya; karana kemaluan tersebut tidak halal bagaimanapun kondisinya, karena mereka itu termasuk mahrom orang tersebut, dan karena ini adalah kekejian yang besar.
Dan terdapat juga hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dalam hal tersebut, yakni : siapa yang berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan mahrom dia dibunuh- dan pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari imam Ahmad, dan inilah yang benar, yaitu bahwa siapa yang berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan mahrom dia dibunuh meskipun ia belum menikah. Selesai perkataan beliau dari kitab asy Syarh al-Mumti, 6/132.
Di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (20/24) disebutkan, dosa perbuatan zina itu bertingkat-tingkat, menjadi semakin besar dosanya tergantung kepada sebab-sebabnya. Berzina dengan orang yang masih memiliki hubungan rahim atau berzina dengan orang yang telah bersuami lebih beasar dosanya daripada berzina dengan wanita asing atau berzina dengan orang yang belum bersuami. Karena, di dalam perbuatan tersebut terdapat pelanggaran terhadap kehormatan suami, pengrusakan terhadap kasurnya dan bentuk lainnya yang menyakitkan.
Dengan demikian, maka perbuatan ini lebih besar dosa dan pelanggarannya daripada berzina dengan orang yang belum mempunyai suami dan berzina dengan wanita asing. Jika ternyata suaminya adalah tetangga, maka hal itu ditambah kepadanya dengan perlakukan buruk kepada tetangga.
Bila mana tetangga tersebut adalah saudaranya, atau salah seorang kerabatnya maka dosanya ditambah dengan dosa memutuskan hubungan rahim, maka semakin besarlah dosanya tersebut. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak akan masuk Surga seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”. Tak ada bentuk gangguan yang lebih besar daripada zina dengan istri tetangga. Jika suami tetangga tersebut tengah tidak ada di rumah dalam rangka melakukan amal ketaatan kepada Allah seperti beribadah, menuntut ilmu, jihad, maka semakin berlipat gandalah dosa si pezina tersebut hingga seorang yang berzina dengan wanita yang suaminya tengah berperang di jalan Allah ia akan diberhentikan pada hari kiamat nannti, lalu (pahala) amal sholeh oleh tersebut (jika ada) akan diambil.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kehormatan wanita orang yang tengah berperang di jalan Allah atas orang orang yang tidak ikut serta berperang di jalan Allah adalah seperti kehormatan ibu-ibu mereka, dan tidaklah seorang yang tidak ikut perang di jalan Allah yang diamati oleh orang yang ikut serta berperang di jalan Allah untuk menjaga keluarganya, lalu ia mengkhianatinya, melainkan ia akan diberhentikan pada hari kiamat nanti, lalu (pahala) amal sholehnya (jika ada) akan diambil sekehendaknya, maka apa perkiraan Anda?” (HR. Muslim, 1897), yakni: maka bagaimana perkiraan Anda apakah kebaikannya akan disisakan?.
Sangat boleh jadi, karena seseorang sangat membutuhkan kebaikan meski hanya satu kebaikan saja, niscaya kebaikan orang yang melakukan zina dengan tetangganya tersebut akan diambil semuanya. Bila ternyata si wanita adalah mahromnya maka akan ditambahkan dosa memutuskan hubungan rahim kepadanya. Jika si pelaku telah menikah maka dosanya semakin besar, jika si pelaku telah berusia lanjut maka semakin besar dosa dan hukumannya, jika perzinaan yang dilakukan tersebut bertepatan dengan bulam harom, atau dilakukan di negri haram (makkah dan madinah, ed) atau bertepatan dengan waktu yang diagungkan disisi Allah, seperti waktu-waktu sholat dan waktu-waktu doa berpeluang besar akan dikabulkan maka akan dilipatgandakan dosanya. Selesai.
Siapa saja yang melakukan hal tersebut, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya taubat itu dapat dilakukan kerena segala bentuk dosa meskipun dosa tersebut besar. Allah ta’ala berfirman,
﴿أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ﴾
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?” (QS. at Taubah : 104)
Dan Allah ta’ala berfirman,
﴿وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً﴾
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqon : 68-70)
Allah ta’ala juga berfirman,
﴿وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى﴾
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thoha : 82)
Di dalam ayat ini terdapat arahan bahwa orang yang bertaubat hendaklah ia memperbanyak amal sholeh, menempuh jalan petunjuk, menjauhkan diri dari sebab-sebab yang akan menjadikannya menyimpang. Wallahu a’lam.
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet