Syubhat Shalat 3: Shalat Layaknya Politik

Syubhat 3 :

Apakah Shalat merupakan prinsip politik bagi penguasa diktator zhalim, yang membebani rakyatnya dengan pemikiran-pemikirannya, secara sukarela maupun paksa?

Bantahan :

Shalat juga bukanlah prinsip politik bagi penguasa diktator zhalim, yang membebani rakyatnya dengan pemikiran-pemikirannya, secara sukarela maupun paksa. Tetapi shalat adalah praktik bagi agama yang diyakini seseorang dengan qana’ah (sepenuh hati), rela tanpa paksaan dan pemaksaan karena -tidak ada paksaan dalam agama-. Ia juga bukan prinsip politik yang berubah seiring dengan perubahan kondisi atau mengikuti pandangan-pandangan para penguasa. Ia juga bukan undang-undang buatan manusia yang pada hari ini ditulis klausul pertamanya, lalu esok harinya didiskusikan secara final, kemudian tiba-tiba lusanya terjadi perubahan, lantas sama sekali dihapus karena kondisi darurat atau ditunda pelaksanaannya sambil menunggu proporsi para pejabat dalam menyepakatinya. Atau kesepakatannya malah ditunda hingga menanti disahkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi di dalam negeri.

Sesungguhnya ia adalah salah satu rukun Islam, bahkan rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadah.

Wahai Saudaraku Muslim,

Selama kamu telah rela terhadap agama ini dengan sepenuh hati dan tidak dibebankan ke pundakmu secara paksa, maka hendaknya kamu melaksanakan semua hukum-hukumnya secara keseluruhan. Bukankah kamu sependapat denganku bahwa seorang penduduk di negeri manapun diharuskan menerapkan peraturan-peraturan negerinya. Jika jiwanya memberontak, maka dia akan dihadapkan pada dua pilihan; (merasa) terhinakan dan (terpaksa) mengikutinya, atau melepaskan loyalitas nasionalismenya, lalu pergi meninggalkan negeri itu.

Saya tidak tahu, kenapa ada orang yang takut kepada polisi dan tidak takut kepada Sang Pencipta bumi dan langit? Kemudian lihatlah dari sisi lain, tidakkah kamu melihat bahwa rambu jalan bila memancarkan cahaya berwarna merah, maka ia akan menghentikan puluhan bahkan ratusan mobil di tempatnya. Tidak ada yang dapat melewatinya sekalipun di tengah para sopir itu ada orang yang paling tinggi kedudukannya. Kenapa manusia tidak berani melanggar rambu merah tetapi berani melanggar perintah-perintah Allah Subhaanahu Wata’ala, menantang-Nya dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar serta melanggar batasan-batasan yang telah Dia gariskan untuk mereka? Apakah ini sebagai bukti kesempurnaan akal mereka atau kekurangannya? Coba putuskan sendiri jika kamu memang termasuk orang-orang yang obyektif.


Artikel: www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *