Fatwa: Memperhatikan Hilâl (Anak Bulan) Tanda Masuknya Bulan Muharram

Pertanyaan :

Banyak dari kaum muslimin yang berpuasa pada hari ‘asyura dan benar-benar mementingkannya kerana mereka mendengar dari para da’i  (pendakwah) tentang dalil-dalil yang memberikan motivasi dan dorongan untuk mengamalkannya. Maka kenapa umat tidak diarahkan untuk benar-benar memperhatikan hilal Muharram, sehingga kaum muslimin mengetahui (masuknya bulan Muharram) setelah disiarkan atau disebarkan melalui berbagai media massa?

Jawab :

Puasa para hari ‘Asyura merupakan ibadah sunnah yang disukai berpuasa padanya. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berpuasa pada hari tersebut demikian juga para sahabat juga berpuasa pada hari tersebut, dan sebelumnya Nabi Musa ‘alaihissalam juga berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah, kerana hari tersebut (10 Muharram) merupakan hari yang Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya, serta Allah binasakan Fir’aun dan kaumnya. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berpuasa juga pada hari itu dalam rangka bersyukur kepada Allah dan mencontoh Nabiyullah Musa. Dulu, kaum jahiliyyah juga biasa berpuasa pada hari itu.

Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menekankan puasa tersebut kepada umat ini. Kemudian ketika Allah menurunkan kewajiban puasa Ramadhan, maka beliau bersabda: “Barangsiapa yang mau silakan berpuasa pada hari itu, barangsiapa yang tidak mau boleh meninggalkannya.” [HR. Al-Bukhari 5402 dan Muslim 1125]

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahawa puasa tersebut menghapuskan dosa-dosa setahun sebelumnya. Yang utama adalah dengan diiringi berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, dalam rangka menyelisihi kaum Yahudi, kerana Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad] dalam riwayat lain dengan lafaz: “Berpuasalah kamu sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

Jadi kalau diiringi dengan berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau berpuasa pada hari sebelumnya dan sehari setelahnya, yakni berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10, 11 Muharram) maka itu semua adalah bagus (baik), dan padanya terdapat penyelisihan terhadap musuh-musuh Allah.

Adapun berupaya mencari kepastian malam ‘Asyura, maka itu merupakan perkara yang tidak harus. Kerana puasa tersebut adalah nafilah (sunat) bukan kewajiban. Maka tidak perlu mengajak untuk memperhatikan hilal (anak bulan Muharram). Kerana seorang mukmin kalau dia keliru, sehingga ternyata dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya maka itu tidak memudaratkannya. Dia tetap mendapat pahala yang besar. Oleh kerana itu tidak wajib untuk memperhatikan masuknya bulan (Muharram) dalam rangka itu (puasa), kerana puasa tersebut hanya nafilah (sunah) saja.

Sumber : Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, XV/401 – 402, fatwa no. 156.

(Amar Abdullah/hisbah.net)

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *