Pembaca yang budiman…
Di antara ayat al-Qur’an yang berbicara seputar masalah hijab adalah firrmanNya,
يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ . إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Artinya, ” Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab : 32-33)
Pembaca yang budiman…
Perintah Allah ini memang disampaikan kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun pada dasarnya berlaku bagi semua wanita yang beriman. Adapun di sini Allah Ta’ala mengkhususkannya bagi istri-istri Rasulullah saja, itu tidak lain karena posisi, kedudukan dan kedekatan mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di samping bahwa mereka merupakan suri teladan bagi para wanita yang beriman. Karena, maksud dari perintah ini pada dasarnya berlaku umum, mengingat syariat Islam memang diperuntukkan dan diberlakukan secara umum bagi semua manusia. Sebagaimana terdapat kaidah yang mengatakan, bahwa “al-‘ibratu bi ‘umûmi al-lafdzi, lâ bi khushûshi as-sabab” (Dasar pengambilan hukum dari nash-nash al-Qur’an maupun hadis, adalah keumuman lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya). Kaidah ini akan tetap berlaku bagi semua nash-nash yang ada, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususan nash-nash tersebut. Sedangkan di sini, tidak ada satu pun dalil yang menyatakan kekhususan ayat di atas. Sebagaimana itu terjadi pada firman Allah yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. az- Zumar:65)
Oleh karena itu, maka hukum-hukum yang terkandung dalam kedua ayat ini dan yang semisalnya, tentu saja berlaku umum bagi semua wanita yang beriman. Contohnya, seperti larangan melontarkan kata-kata “ah” terhadap kedua orang tua yang ada dalam firman Allah Ta’ala yang berbunyi:
فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘”ah” “ (QS. al-Isrâ’:23). Maka, di sini tentunya memukul lebih dilarang dan diharamkan lagi.
Bahkan, di dalam kedua ayat al-Ahzâb tersebut terdapat suatu keterkaitan yang menjelaskan, bahwa hukum hijab berlaku umum bagi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun yang lainnya, yaitu: firman Allah Ta’ala yang artinya:”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”.(QS. al-Ahzâb: 33). Ini merupakan kewajiban-kewajiban umum yang bisa diketahui dalam agama secara pasti.
Jika hal itu telah diketahui, maka selanjutnya di dalam kedua ayat ini terdapat beberapa poin yang menyatakan kewajiban berhijab bagi seluruh wanita yang beriman, di mana itu bisa dilihat dari tiga aspek berikut ini:
Aspek pertama,larangan merendahkan suara. Allah Ta’ala melarang istri-istri Rasulullah beserta para wanita kaum mukminin, untuk merendahkan suara dan menghaluskannya di hadapan kaum laki-laki. Larangan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya keinginan berzina bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, dan bahkan cenderung menggerakkan hatinya itu kepada hal-hal yang mengarah kepada perbuatan zina. Semestinya para wanita berbicara seperlunya saja, tanpa bertele-tele, banyak basa-basi dan diperhalus-haluskan suaranya.
Aspek pertama yang berupa larangan merendahkan suara ini, merupakan target poin paling urgen dalam rangka menyatakan kewajiban berhijab bagi para wanita yang beriman. Dan, sesungguhnya menjauhi dari perbuatan ini bagi seorang wanita, termasuk bagian dari upaya menjaga kemaluannya. Namun, itu tidak akan terwujud tanpa ditopang oleh rasa malu, sifat ‘iffah dan kewajaran. Dan kesemuanya ini pada dasarnya terkandung dan bisa direalisasikan melalui hijab. Oleh karena itu, maka pada aspek berikutnya dibahas tentang perintah yang secara gamblang menyuruh untuk berhijab di dalam rumah.
Aspek kedua, adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”. (QS. al-Ahzâb: 33). Ini berhubungan dengan perintah untuk menutup seluruh tubuh wanita, dengan berada di dalam rumah, dari pandangan laki-laki lain yang bukan muhrimnya.
Ayat ini adalah perintah Allah Ta’ala yang ditujukan baik kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para wanita kaum mukminin lainnya, agar berdiam diri, menetap dan tenang di dalam rumah. Karena, rumah merupakan tempat tugas dan aktivitas hariannya. Juga, agar mereka menahan diri untuk keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa, atau dikarenakan suatu keperluan yang mendesak.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اْلمَرْأَةُ عَوْرَةٌ, فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ, وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا
“Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar (rumah), maka setan bergegas mendekatinya. Sedang wanita dalam keadaan paling dekat dari rahmat Tuhannya, ketika ia berada di dalam rumahnya”. (HR. Tirmizi dan Ibnu Hibban).
Syeikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya al-Fatâwâ berkata, “Oleh karena wanita wajib dilindungi dan dijaga, tidak seperti laki-laki, maka dikhususkan baginya untuk mengenakan hijab, tidak memamerkan perhiasan dan tidak tabarruj (menampilkan dandanan). Maka, wajib bagi seorang wanita menutup tubuhnya, dengan pakaian atau dengan berdiam diri di dalam rumahnya, di mana yang demikian ini tidak wajib bagi kaum laki-laki. Karena, penampilan wanita terhadap laki-laki lain, merupakan penyebab munculnya fitnah. Padahal, laki-laki adalah penguasa atas mereka.” (Lihat: al-Fatâwâ 15/297)
Begitu pula dalam kitab yang sama, beliau berkata, “Sebagaimana hal itu meliputi ghaddu al-bashar (menundukkan pandangan) terhadap aurat orang lain dan melihat hal-hal yang diharamkan lainnya, begitu juga mencakup ghaddu al-bashar terhadap rumah orang lain. Maka, rumah seseorang seperti halnya pakaiannya, adalah sebagai penutup tubuhnya.
Allah Ta’ala menyebut ayat tentang ghaddu al-bashar dan menjaga kemaluan ini, setelah ayat isti’dzân, yaitu: ayat berisi anjuran untuk meminta izin bila ingin masuk rumah orang lain. Hal itu, mengingat rumah bisa dikatakan sebagai penutup seperti pakaian yang menutupi badan. Sebagaimana pada sisi lain, Allah Ta’ala menggabungkan antara dua pakaian ini di dalam firman-Nya:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُم مِّمَّا خَلَقَ ظِلاَلاً وَجَعَلَ لَكُم مِّنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُم بَأْسَكُمْ
“Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan ”.(QS. an-Nahl:81).
Maka, hal-hal tersebut merupakan pelindung terhadap apa yang dapat membahayakan, seperti: rasa panas, terik matahari dan dingin. Juga, terhadap keusilan orang lain, semisal: keisengan pandangan mata, kejahilan tangan dan lain sebagainya.” (Lihat: al-Fatâwâ 15 /379)
Aspek ketiga, adalah firman Allah Ta’ala yang berbunyi:
وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”.( QS. al-Ahzâb: 33)
Ketika Allah Ta’ala menyuruh kaum wanita untuk berdiam diri di dalam rumah, maka pada waktu yang bersamaan, Allah Ta’ala juga melarang mereka untuk mengikuti kebiasaan orang-orang Jahiliyah dulu, yaitu: dengan sering keluar rumah, atau keluar dalam keadaan berdandan, memakai wangi-wangian, dalam keadaan muka terbuka, dan menampilkan segala keindahan dan perhiasan yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk ditutupi.
Tabarruj berasal dari lafazh “burj”. Lalu berkembang artinya menjadi, “menampakkan perhiasan dan keindahan-keindahan tubuh wanita”, semisal: kepala, muka, leher, dada, lengan, betis dan bentuk tubuh yang serupa lainnya. Atau, bisa berupa keindahan yang berasal dari perhiasan yang diciptakan. Hal itu, karena sering keluar rumah atau keluar dalam keadaan terbuka aurat, itu merupakan kerusakan dan fitnah yang sangat besar.
Adapun pemberian sifat terhadap orang-orang Jahiliyah dengan sebutan “pertama” di sini, merupakan bentuk penyifatan yang menjelaskan. Seperti lafazh “kâmilah” dalam firman Allah Ta’ala:
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”. (QS. al-Baqarah: 196).
Juga, seperti lafazh “al-ûlâ” dalam firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّهُ أَهْلَكَ عَادًا اْلأُولَى
“Dan bahwasanya Dia telah membinasakan kaum ‘Aad yang pertama”. (QS. an-Najm:50).
Wallohu a’lam
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para pengikutnya.
Sumber : حراسة الفضيلة , syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed , semoga Alloh merahmatinya.
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet