Keutamaan Hijab (2)

Keempat, علامة على العفيفات (sebagai tanda kesucian diri)

Hijab merupakan tanda atau simbol syar’i, yang menunjukkan sosok wanita mulia dan suci di dalam kesucian dan kehormatan mereka, serta jauh dari noda keraguan maupun syakwa sangka.

ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ

“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu” (QS. al-Ahzâb: 59)

Kesalehan yang tampak itu menunjukkan kesalehan batin, dan sesungguhnya kesucian diri merupakan mahkota bagi seorang wanita. Bila kesucian diri berkibar pada satu rumah, maka rumah itu dilimpahi kebahagiaan.

Cukup menarik untuk disebutkan di sini, bahwa an-Numairi, seorang penyair ketika melantunkan syair di hadapan al-Hajjaj:

يُخَمِّرْنَ أَطْرَافَ الْبَنَانِ مِنَ التُّقَى وَيَخْرُجْنَ جُنْحَ الَّليْلِ مُعْتَجِرَاتٍ

Para wanita itu

menutupi ujung jemarinya,

karena takwa.

Saat hari menjelang malam,

mereka pun keluar

dengan memakai kerudung.

Maka pada saat itu, al-Hajjaj berkata, “Dan begitulah seorang wanita muslimah yang merdeka”.

Kelima, قطع الأطماع والخواطر الشيطانية  (mencegah keinginan-keinginan dan bisikan-bisikan setan)

Hijab merupakan langkah preventif sosial terhadap petaka dan penyakit hati yang terdapat pada diri laki-laki dan perempuan. Dari situlah, maka hijab akan memangkas ambisi-ambisi buruk, membendung penglihatan-penglihatan khianat dan mencegah tindak jahat seorang laki-laki atau perempuan terhadap kehormatannya. Di samping itu, hijab juga merupakan langkah preventif terhadap munculnya tuduhan keji kepada wanita-wanita yang telah bersuami (muhson), menjalarnya berbagai ucapan kotor, keragu-raguan, syakwasangka dan berbagai bisikan-bisikan setan yang lainnya.

 

Seorang penyair bertutur:

حور *حرائر ما هممن بريبة                    كظباء مكة صيدهن حرام

Para bidadari yang suci lagi mulia

tidak menginginkan sesuatu yang meragukan,

bagaikan kijang Mekah

yang haram diburu

*Keteragan : Kata ” hûr” yang ada dalam bait syair ini adalah bentuk jamak dari kata ” haurâ’ ” bukan jamak dari kata ” hûriyah “; karena kata ini adalah hasil dari adopsi /istilah baru (muwallad))

Sumber :

Dinukil dari kitab, “ Hirosatul Fadhilah”, karya : Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed, edisi bahasa Indonesia : Menjaga Kehormatan, Pent. Yayasan al-Sofwa, Jakarta, Cet.I (R.Awal 1424H/Mei 2003 M) (Abu Umair)

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *