Yang dimaksud isbal ialah memakai pakaian yang panjangnya melebihi mata kaki.
Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ mengisahkan ; pernah suatu ketika seorang laki-laki shalat dengan sarung (kain) [1] yang isbal. Melihat itu, Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun berseru : “Berwudhulah ! “ Maka dia pun beranjak dari tempatnya dan berwudhu. Setelah laki-laki itu kembali, Nabi صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berseru lagi kepadanya : “Berwudhulah !” Seorang laki-laki lain bertanya : “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menyuruhnya berwudhu ?” Beliau diam sejenak, lalu menjawab : “Tadi dia shalat dengan sarung yang isbal, sedangkan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menerima shalat orang yang berpakaian demikian.” [2]
Abdullah bin ‘Amr رَضِيَ اللهُ عَنْهُ menuturkan bahwasanya Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
لَا يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Allah tidak memandang, pada hari Kiamat, orang yang memanjangkan kainnya hingga melewati mata kaki karena sombong. [3]
Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْهُ menuturkan : Aku mendengar Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ
Barang siapa memanjangkan pakaiannya melebihi mata kaki dalam shalat karena sombong, maka Allah tidak mempedulikannya lagi dalam hal yang halal maupun yang haram [4]
Iklan
Maksudnya, perbuatan orang itu tidak bermanfaat di sisi-Nya; baik dia melakukan sesuatu yang halal maupun yang haram. Apa pun yang dikerjakannya, dia sudah tidak dipandang dan tidak dipedulikan lagi.
Menurut pendapat yang lain, maksud hadis ini ialah tidak ada lagi pengampunan dosa lagi baginya, sebab kedudukannya tidak bernilai di hadapan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, sehingga Dia سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menjaganya dari melakukan perbuatan buruk.
Ada juga yang mengatakan, maknanya, dia tidak beriman lagi terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Yang lain mengatakan, maknanya, dia sudah melepaskan hubungannya dengan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan sudah meninggalkan agama-Nya [5]
Hadis-hadis di atas menunjukkan haramnya memanjangkan pakaian hingga melewati mata kaki karena sombong. Inilah yang menjadi madzhab Syafi’i dan Hanbali. Apabila isbal dilakukan bukan karena sombong [6], hukumnya makruh menurut madzhab Syafi’i[7]
Syaikh Ahmad Syakir رَحِمَهُ اللهُdalam tahqiqnya terhadap al-Muhalla membantah pendapat Ibnu Hazm dalam masalh ini, dia mengatakan : “Penulis (Ibnu Hazm) meninggalkan hadis yang bisa menjadi dalil kuat atas batalnya shalat orang yang berpakaian isbal karena sombong.” Kemudian syaikh menyebutkan hadis Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ yang kami nukilkan di atas dan berkomentar : “Hadis ini shahih; an-Nawawi رَحِمَهُ اللهُ menyebutkan demikian dalam Riyadhush Shalihin, dan dia menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim [8]
Ibnul Qayyim رَحِمَهُ اللهُ menjelaskan hadis Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ tersebut sebagai berikut : “Maksud hadis ini –wallahu a’lam-ialah mengenakan pakaian isbal termasuk kemaksiatan, dan setiap pelaku maksiat diperintahkan untuk berwudhu dan shalat, karena wudhu dapat memadamkan kobaran masksiat.” [9]
Boleh jadi rahasia di balik perintah Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada laki-laki tersebut agar berwudhu kembali, padahal masih dalam keadaan suci dan tidak berhadats, adalah agar ia berpikir mengapa diperintahkan seperti itu dan mengingat-ingat kesalahan yang dilakukannya. Selain itu, melalui keberkahan perintah beliau صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk menyucikan lahiriyah ini, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menyucikan batinnya dari noda kesombongan. Sungguh, kesucian lahiriah akan berpengaruh terhadap kesucian batiniah [10]
Isbal pada kaum laki-laki umumnya terjadi pada celana, sarung, dan gamis [11] {Oleh karena itu , siapa saja yang hendak mengerjakan shalat harus memperhatikan pakaiannya. Apabila yang dikenakannya kepanjangan, maka segeralah digulung. Namun, tidak semua orang yang berbuat isbal dapat dinyatakan sombong. Karena terkadang hal ini dilakukan tanpa disengaja, hingga dia pun langsung menggulungnya ketika diingatkan ; dan kondisi demikian tentu dapat dimaklumi.
Adapun orang yang sengaja memanjangkan pakaiannya melewati mata kaki –berbuat isbal- baik saat mengenakan sarung, celana panjang, ataupun gamis maka dia terkena ancaman yang ditegaskan dalam hadis Nabi صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Apa pun alasan pelakunya tidak diterima ; sebab hadis yang menyatakan larangan isbal itu bersifat umum baik lafazh, makna, maupun maksudnya. Kaum muslimin harus berhati-hati dalam masalah ini, dan hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan tidak memakai pakaian melebihi mata kaki demi mengamalkan hadis shahih tersebut serta menunjukkan rasa takut akan murka Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. sungguh, hanya Dia سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mempu memberi taufik kepada manusia.”}[12]
***
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Qaulu al-Mubin fi Akhtha al-Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman, ei, hal.39-42
Iklan
Catatan :
[1] Di sini digunakan beberapa padanan untuk kata Arab izar, antara lain : (1) pakaian, (2) kain, dan (3) sarung. Sebenarnya, kata ini bermakna pakaian yang menutupi anggota tubuh bagian bawah dengan batasan pinggang hingga telapak kaki.-ed
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya : kitab ash-Shalah’, bab Isbal fish shalah” (I/172, no. 638) dan kitab al-Libas, bab Ma-jaa-a fi Isbalil Izar (IV/57, no. 4086); Ahmad dalam al-Musnad (IV/67) ; an-Nasai dalam as-Sunanul Kubra: kitab az-Zinah, sebagaimana terdapat pula dalam Tuhfatul Asyraf (XI/188). Imam an-Nawawi menyatakan dalam Riyadhush Shalihin (no.795) dan al-Majmu’ (III/178, IV/457) bahwa hadis ini shahih karena memenuhi syarat Muslim.
Adz-Dzahabi menyepakati pendapat tersebut dalam al-Kaba-ir (hal. 172) pada bab “al-Kabirah” ats-Tsaniyah wal Khamsin : isbaul izar Ta’azzuman wa Nahwuhu”. Akan tetapi, adz-Dzahabi pun meralat pernyataan itu : “Kemudian saya mendapat kejelasan bahwa pernyataan ini (tentang keshahihannya) salah, dan yang benar ialah dha’if. Lihat al-Kabair (hal. 392), cetakan kedua.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah dalam ash-Shahih (I/382), pada bab “taghlidz fi isbalil izar fi ash-Shalah, dan dia berkata : ada perbedaan pendapat tentang sanadnya. Sebagian perawi menukilkannya dari Abdullah bin Umar (bukan Abdullah bin Mas’ud). Saya memaparkannya hadis ini dalam kitab al-Libas.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya : Kitab ash-Shalah, bab “Isbal fish Shalah (I/172, no. 637. Hadis ini juga tercantum dalam shahih al-jami’suh Shaghir (no. 6012)
[5] Lihat Badzlul Majhud fi Hilli Abu Dawud (IV/297), Faidhul Qadir (VI/52), Tanbihat Hammah ‘Ala Malabisil Muslimin al-Yaum 9hal.23), dan al-majmu’ (III/177)
[6] Pengharaman isbal, baik karena sombong maupun tidak, telah disinggung sebelumnya. Perlu diketahui bahwa isbal yang dilakukan bukan karena sombong bisa membawa pelakunya kepada sifat tersebut. selengkapnya lihat dalam Majmu’ fatawa karya Ibnu Taimiyah (XXII/144), fathul bari (X/259) karya Ibnu Hajar, Aunul Ma’bud (XI/142) karya al-‘Azhim Abadi, tabshir Ulil Albab bima Ja-a fi Jarri ats-Tsiyab karya Sa’dil Muz’il, dan Risalatul Isbal karya Abdullah as-Sabt.
[7] Tanbihat Hammah (hal.23), al-Majmu’ (III/177), dan Nailul Authar (II/112)
[8]Tahqiq Ahmad Syakir terhadap al-Muhalla (IV/102)
[9] At-tahdzib ala Sunan Abu Dawud (VI/50)
[10] Penjelasan ini disampaikan oleh ath-Thibi, sebagaimana dinukil oleh al-Qari darinya. Lihat Badzlul Majhud (IV/296), Dalilul Falihin (III/282), ad-Dinul Khalish (VI/166), dan al-Manhalul Adzab al-Maurud (V/123). Ath-Thibi menambahkan : “Perintah Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk berwudhu pada kali kedua merupakan celaan atas perbuatannya memakai pakaian yang isbal. Sebab, dia tidak memahami perintah beliau untuk berwudhu pada kali pertama. Lahiriah hadis ini menunjukkan bahwa shalat orang yang mengenakan pakaian isbal tidak sah. Namun tidak seorang imam pun yang berpendapat demikian, karena hadis tersebut dhaif ! Kalau pun derajatnya shahih, status hadis ini menjadi mansukh karena terdapat ijma’ yang menyelisihinya.”
[11] Majmu’ al-Fatawa (XXII/144) karya Ibnu Taimiyah.
[12] Keterangan yang diapit tanda kurung kurawal adalah jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Baz رَحِمَهُ اللهُ terhadap pertanyaan tentang hukum berpakaian isbal dengan kesombongan maupun tanpa kesombongan ; serta perihal hukum bagi seseorang yang terpaksa melakukannya, baik dia dipaksa manuruti keluarganya karena masih kecil atau karena hukum adat yang memaksanya berbuat demikian. Kutipan fatwa ini dinukilkan dari majalah ad-Da’wah (no.920) dan al-fatawa (hal.219)