1-Tetap Makan Sahur Sampai Mendengar Lafazh Adzan : Hayya ‘Alash Shalah
Sebagian orang bila mendengar muadzin mengumandangkan adzan shalat Subuh, mereka baru bangun tidur untuk makan dan minum. Bila Anda menasehati dan menjelaskan bahwa itu salah, mereka akan menjawab bahwa hal itu dibolehkan sampai muadzin mengucapkan : Hayya ‘Alash Shalah. Bila muadzin mengucapkan kalimat ini, maka makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Pendapat ini tentu membutuhkan dalil yang shahih.
Setelah kami teliti dan tanyakan, bahwa hal itu tidak ada dalilnya. Bahkan, itu hanyalah perbuatan yang dianggap baik oleh sebagian orang dan tertolak berdasarkan sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka itu terolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafazh riwayat yang lain :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas dasar perintah kami, maka itu tertolak.” (HR.Muslim)
Nash al-Qur’an dan As-Sunnah telah menetapkan batasan imsak, yaitu ketika telah terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Bila fajar telah diketahui, maka orang yang sahur hendaklah meninggalkan makan dan minum. Inilah yang benar. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [البقرة : 187]
…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah : 187)
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. al-Bukhari)
Ibnu Ummi Maktum adalah sahabat yang buta. Ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum ada orang yang mengatakan kepadanya, “Waktu Subuh telah tiba. Waktu Subuh telah tiba.”
Dari ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa batasan imsak itu adalah terbitnya fajar, sedangkan adzan hanya sebagai pemberitahuan hal itu. Maka, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, berarti waktu imsak telah masuk. Jadi, waktu imsak itu bukan dibatasi pada ucapan muadzin : Hayya ‘Alash Shalah.
2-Makan Sahur Lebih Awal
Kesalahan lain yang dilakukan oleh orang yang puasa adalah bersegera makan sahur pada awal waktu. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan pahala yang banyak. Sebab, menurut as-Sunnah, seseorang hendaknya mengakhirkan makan sahur agar mendapatkan pahala karena mencontoh Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.
عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- , ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Setelah itu, beliau bangkit menuju shalat.’ Aku (Anas) bertanya, ‘Berapa lama waktu antara adzan dan makan sahur ?’ Zaid bin Tsabit menjawab, ‘Kira-kira selama bacaan 50 ayat’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) .
3-Sengaja Minum Saat Adzan Subuh
Kesalahan lain terkait dengan puasa adalah, sengaja minum saat adzan Subuh kedua yang dilakukan sebagian orang. Menjelang adzan dikumandangkan, Anda melihatnya hanya duduk santai. Namun, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, ia justru bergegas untuk mengambil air dan meminumnya. Bila diingatkan, ia menjawab, “Aku boleh makan dan minum sampai adzan selesai.”
Dengan perbuatannya itu, ia telah merusak puasanya, terutama bila muadzin teliti dalam melihat jadwal adzan. Allah ta’ala telah mensyariatkan waktu imsak ketika masuk waktu Subuh dengan firman-Nya,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [البقرة : 187]
…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah : 187)
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. al-Bukhari)
Kata حَتَّى (hatta) dalam ayat dan hadis di atas berarti ‘masuk’, maksudnya, kalian boleh makan dan minum sampai waktu Subuh. Hanya saja, ada permasalahan yang harus dijelaskan berkaitan dengan hal ini. Yaitu, seorang muslim boleh minum air di gelas yang telah berada di tangannya saat muadzin mengumandangkan adzan. Ini berdasarkan sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- :
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ فِي يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Bila salah seorang di antara kalian mendengar seruan adzan, sedangkan gelas minuman masih di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sebelum melaksanakan keinginannya untuk minum.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarir, Hakim, Baihaqi, dan lainnya. Hadis ini memiliki banyak penguat).
Perlu ditambahkan juga terkait hal ini, bahwa seorang muslim masih dibolehkan makan dan minum setelah adzan bila mana muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya. Adzan tersebut tidak berlaku, sehingga orang yang berpuasa tidak diharamkan dari apa pun yang dibolehkan oleh Allah baginya di waktu ifthar. Shalat Subuh juga tidak dianjurkan untuk segera dilaksanakan karena waktunya belum masuk.
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah-رَحِمَهُ اللهُ-) mengatakan, “Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum fajar terbit, sebagaimana Bilal mengumandangkan adzan sebelum fajar pada masa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dan adzannya para muadzin di Damaskus dan kota lainnya, maka makan dan minum setelah itu tidak ada masalah dengan waktu secukupnya.” [1]
Syaikh Ibnu Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan : “Adzan shalat Subuh, baik setelah terbit fajar atau belumnya, jika dikumandangkan setelah terbit fajar, maka orang yang sahur wajib berhenti makan dan minum dengan sekedar mendengar adzan saja. Sebab, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersada,
“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum. Dia tidak mengumandangkan adzan kecuali fajar telah terbit (HR. al-Bukhari-Muslim).
Jika kalian mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan setelah terbit fajar Subuh, maka berhentilah makan dan minum ketika mendengar adzan itu.” [2]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan saat menjawab masalah ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya, “Seorang mukmin yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta lainnya bila terbitnya fajar sudah ia ketahui. Itu dalam puasa wajib, seperti : puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan puasa kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [البقرة : 187]
...Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah : 187)
Selain itu, bila ia mendengar adzan dan mengetahui bahwa itu adzan Subuh, maka ia wajib berhenti dari makan dan minum. Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit atau setelahnya, maka yang utama dan selamat adalah berhenti makan dan minum bila telah mendengarnya. Tidak ada masalah, seandainya seseorang minum atau makan sekedarnya ketika terdengar adzan, karena ia tidak mengetahui terbitnya fajar.
Telah diketahui bersama bahwa masyarakat yang tinggal di tengah-tengah kota yang terdapat banyak cahaya listrik, mereka tidak bisa mengetahui terbitnya fajar dengan mata kepalanya sendiri pada waktu tersebut. Namun, ia hendaknya berhati-hati dalam menggunakan jadwal adzan dan kalender waktu yang membatasi terbitnya fajar dengan jam dan menit, sebagai bentuk pengamalan sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -,
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. al-Bukhari)
Juga sabda beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –,
فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Barangsiapa menjauhi sesuatu yang samar (syubhat), berarti ia telah menjaga agama dan kohormatannya.” (HR. al-Bukhari)
Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq [3]
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, ei, hal. 41-46
Catatan :
[1] Majmu’ul Fatawa, 27/216.
[2] Durus wa Fatawa fil Haramil Makki, hal. 144.
[3] Kitab Dakwah, hal. 1014.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor