Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا [النساء : 34]
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (Qs. An-Nisa : 34)
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur tetapi sang istri menolaknya sehingga sang suami marah kepadanya sepanjang malam, maka para malaikat akan melaknatnya sampai Subuh” (Muttafaq Alaih) [1]
Ada teks lain di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ,
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila sang istri semalaman menjauhi tempat tidur suaminya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai Subuh.”
Di dalam teks lain tercantum,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِى فِى السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Ketika ada seorang suami yang mengajak istrinya ke tempat tidur tetapi sang istri mengabaikannya, maka Dzat yang ada di langit akan murka kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya (memaafkannya).”
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita (istri) untuk berpuasa (puasa sunnah) sementara sang suami sedang bersamanya kecuali dengan seizinnya, dan tidak halal (pula) baginya memberi izin (mempersilahkan seseorang masuk) ke rumah suaminya kecuali dengan seizinnya” (HR. al-Bukhari) [2]
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau saja aku dibolehkan untuk menyuruh seseorang agar bersujud kepda orang lain, niscaya akan aku perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.” [3] (Dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi)
Berkata Ammah bin Muhshan, “Aku pernah menceritakan suamiku kepada Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-lalu beliau bersabda,
اُنْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah di mana kedudukanmu di hadapannya, karena sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga dan nerakamu” (HR. an-Nasai)
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لاَ تَسْتَغْنِى عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya sedangkan ia masih membutuhkan suaminya” (HR. an-Nasai dan sanad-sanadnya shahih)
Diriwayatkan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau bersabda,
مَنْ خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ أَوْ تَتُوْبَ
“Barang siapa (seorang istri) keluar dari rumah suaminya (tanpa izin suaminya), maka para malaikat akan melaknatnya sehingga ia kembali atau bertaubat” [4]
Dalam bab ini banyak sekali hadis-hadis yang membicarakannya.
Penjelasan :
Syaikh Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ- berkata [5] sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya (berhubungan intim), kemudian ajakannya ditolak sehingga si suami tidur dalam keadaan marah kepada istrinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi atau sampai para malaikat kembali (ke langit).”
Karena kewajiban seorang istri apabila sang suami mengajaknya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka ia harus melayaninya, kecuali jika ada alasan syar’i, seperti dalam keadaan sakit sehingga tidak mampu melayani suaminya atau ada alasan lain yang menghalanginya sehingga tidak bisa melayaninya, maka semua itu dibolehkan. Jika tidak ada alasan, maka sang istri wajib untuk melayani ajakan suaminya. Inilah hak suami atas istrinya dan demikian pula seharusnya seorang suami jika melihat istrinya ingin berhubungan badan, maka ia pun harus melayani ajakan istrinya. Karena Allah ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.” (an-Nisa : 19)
Hadis kedua menerangkan bahwa seorang istri tidak oleh berpuasa (sunnah) pada saat suaminya berada di rumah, kecuali dengan seizin suaminya dan tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, kecuali dengan seizin suaminya pula.
Permasalahan yang pertama adalah puasa dan puasa terbagi kepada dua macam, pertama puasa wajib; seorang istri harus melaksanakan puasa wajib ini tanpa seizin suaminya.
Kedua puasa sunnah; seorang istri tidak boleh berpuasa pada saat suaminya berada di rumah, kecuali dengan seizin suaminya. Adapun jika sang suami sedang tidak ada di rumah, maka ia bebas melakukannya. Akan tetapi, jika ada di rumah, maka ia tidak boleh berpuasa; karena barang kali sang suami akan mengajaknya untuk berhubungan intim pada saat istrinya sedang berpuasa, akhirnya sang suami dan istri sama-sama merasa dilematis.
Adapun jika puasanya puasa wajib. Contohnya ketika seorang istri mempunyai utang puasa Ramadhan, kemudian Ramadhan berikutnya hanya tinggal beberapa hari lagi, maka ia wajib melunasi utang puasanya, baik diizinkan oleh suaminya maupun tidak. Contohnya jika sang istri mempunyai utang puasa Ramadhan sebanyak sepuluh hari dan waktu Ramadhan berikutnya telah dekat dan hanya tersisa sepuluh hari lagi. Maka ia wajib berpuasa baik diizinkan ataupun tidak. Bahkan jika suaminya menghalang-halanginya untuk berpuasa, si istri tetap wajib untuk berpuasa karena hukumnya wajib.
Adapun jika si istri mempunyai utang puasa sebanyak sepuluh hari dan waktu yang tersisa untuk sampai ke bulan Ramadhan berikutnya masih satu atau dua bulan lagi atau bahkan lebih, maka si suami boleh melarang istrinya berpuasa, dan si istri tidak boleh berpuasa tanpa seizin suaminya. Alasannya hal ini dikarenakan waktunya yang masih leluasa. Jika waktunya masih leluasa, maka tidak layak seorang istri mempersulit suaminya. Jika suami telah mengizinkan dan meperbolehkan istrinya untuk berpuasa, maka apabila puasa yang dijalaninya adalah puasa wajib, maka haram bagi suami untuk membatalkan puasa istrinya hanya karena ingin berhubungan intim. Hal ini dikarenakan si suami telah mengizinkan istrinya berpuasa dan puasa wajib harus ditunaikan sampai selesai. Akan tetapi, jika puasanya adalah puasa sunnah, maka boleh bagi seorang suami untuk menyetubuhinya meskipun puasa istrinya menjadi batal, karena puasa sunah tidak harus disempurnakan sampai berbuka.
Akan tetapi, jika istrinya berkata, ‘Suamiku, engkau telah mengizinkanku untuk berpuasa. Engkau pun telah berjanji tidak akan membatalkan puasaku.” Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi janjinya dan haram membatalkan puasa istrinya.
Allah ta’ala berfirman,
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا [الإسراء : 34]
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra : 34)
Adapun sabda beliau, ‘Dan tidak boleh seorang istri mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.” Maksudnya tidak boleh seorang pun masuk ke dalam rumah, kecuali dengan seizin suaminya. Jika sang suami melarang istrinya agar tidak mempersilahkan orang lain masuk ke rumahnya, seperti dengan berkata “Si fulan tidak boleh masuk ke rumahku!” Maka haram bagi sang istri untuk mengizinkan si fulan tersebut masuk ke rumahnya karena rumah tersebut adalah milik suaminya.
Adapun jika suaminya tersebut merupakan orang yang berlapang dada, ia tidak terlalu mempermasalahkan setiap orang yang masuk ke rumahnya, maka sang istri tidak harus meminta izin kepada suaminya.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
1-Al-Kabair, Muhammad bin Utsman adz-Dzahabiy
2-Syarh Riyadhish Shalihin, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Catatan :
[1] HR. al-Bukhari, hadis no. 5193 dan HR. Muslim, hadis no. 1436
[2] HR. al-Bukhari, hadis no. 5195
[3] HR. at-Tirmidzi, hadis no. 1159
[4] Majma’ Zawaa’id juz 4 hal.313
[5] Syarh Riyadhis Shaalihiin, hal. 335, Baabu Tahriimi Imtinaa’il Mar-ati min Firasyi Zaujihaa.