Sebagian suami menghadapi kegemaran istri membocorkan rahasia-rahasianya, baik berupa ucapan yang ia sampaikan padanya atau perbuatan yang telah ia lakukan. Hampir setiap istri mendengar suatu perkara darinya, dalam waktu yang tidak lama orang jauh maupun dekat sudah mengetahuinya, dan perkara itu menjadi buah bibir seluruh masyarakat.
Sebenarnya, bila seorang istri itu gampang mengobral omongan dengan menceritakan ucapan suami serta menyebarkan rahasia-rahasia, ia telah berbuat buruk kepada dirinya sendiri dan sekaligus suaminya. Boleh jadi rahasia suami tersebut berhubungan dengan orang lain, sehingga suami merasa malu kepada mereka. Selain itu, hakikatnya istri telah mencoreng kredibilitas dirinya di hadapan suami, sebab suami menjadi tahu bahwa istrinya ini tidak layak diberi informasi rahasia-rahasia pribadinya. Akibatnya suami mengambil sikap menyimpan rahasia-rahasia dari istri.
Ketahuilah wahai istri, setiap rumah tangga itu memiliki rahasia dan setiap suami juga mempunyai rahasia. Kepada siapa suami mempercayakan rahasia-rahasianya jika bukan kepada istri ?
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ [النساء : 34]
“… sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) …” (an-Nisa : 34)
Seorang muslimah itu menjaga sesuatu yang ghaib. Artinya, ia menjaga rahasia. Beginilah seharusnya. Adapun kebiasaan buruk yang diperbuat sebagian wanita –semoga Allah memberi mereka petunjuk- berupa kegemaran membeberkan apa yang terjadi di antara mereka dan suami mereka, hendaknya mereka berhati-hati. waspada jangan sampai mengungkapkan satu rahasia suami, akibatnya ia bisa menjadi sebab suami tersakiti, pun ia telah membocorkan rahasianya. Ini satu bentuk pengkhianatan, utamanya bila berkaitan dengan rahasia-rahasia kehidupan ranjang.
Sebaliknya, ada istri-istri yang mengeluhkan kegemaran suami menyebarkan rahasianya dan urusan pribadi rumah tangganya, atau kesalahpahaman yang terjadi di antara keduanya. Suami menceritakan masalah-masalah ini kepada semua orang, padahal seharusnya ia menjadi orang pertama yang berusaha menjaga masalah-masalah pribadi dan rumah tangganya agar tidak diketahui seorang pun.
Yang paling utama bagi suami dan istri adalah tidak menyebarkan rahasia pendamping hidupnya dan tidak membocorkan aib tersembunyi yang ia ketahui ada pada suami atau istrinya tersebut.
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ [النساء : 34]
“…Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” (an-Nisa : 34)
Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah mengajari para sahabat sehubungan dengan masalah ini. Yakni manakala beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berada di tempat duduk beliau, sementara ada beberapa lelaki dan beberapa wanita di hadapan beliau. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
لَعَلَّ رَجُلًا يَقُولُ مَا يَفْعَلُ بِأَهْلِهِ وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ بِمَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا
“Barangkali ada lelaki yang mengungkapkan apa yang ia lakukan dengan istrinya dan barangkali ada seorang wanita yang menceritakan apa yang ia perbuat bersama suaminya.”
Mereka semua hanya diam. Lantas berdirilah seorang wanita yang kedua pipinya berwarna merah kehitam-hitaman, ia berkata, “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah. Mereka (para wanita) telah melakukannya dan mereka (para lelaki) juga telah melakukannya. “
Maka, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Janganlah kalian perbuat lagi. Sebab, itu seperti setan laki-laki yang bertemu setan perempuan di tengah jalan lalu ia mengumpulinya dengan disaksikan banyak orang.” (HR. Ahmad)
Wallahu A’lam
Sumber :
Al-Mafatih Adz-Dzahabiyah li Ihtiwa’ Al-Musykilat Az-Zaujiyah, Nabil bin Muhammad Mahmud, ei, hal.89-91
Amar Abdullah bin Syakir