Pernikahan, selamanya, adalah takdir Allah. Ia sebagaimana dikatakan manusia adalah ‘bagian dan nasib’. Namun, dengan kehendak dan keinginan Allah. Hanya saja terdapat sebab-sebab yang mesti ditempuh seorang hamba untuk mewujudkan pernikahan, lalu menyerahkan hasilnya kepada Sang Pencipta.
Permasalahan yang ingin saya lontarkan dan diskusikan bersama para wanita adalah satu permasalahan yang perlu dihadapi secara terbuka dan cukup realistis. Lelaki muda di negeriku, lantaran pengaruh kondisi masyarakat dan ekonomi di sana, kami mendapatinya siap menikah dalam usia muda. Banyak pemuda melangsungkan pernikahan dalam usia 20 tahun, atau bahkan kurang. Belum lagi, kegemaran para pemuda menikah dengan gadis-gadis dari luar yang semakin mencekik kondisi gadis pribumi terkait dengan masalah pernikahan. Akibatnya, banyak wanita yang belum menikah meskipun usia terus merangkak naik. Sekalipun demikian, para pelamar -meski sedikit- terkadang masih mau mengetuk pintu rumahnya. Tetapi tentu saja dengan kriteria yang jauh dari impian si gadis.
Lantas apa yang bisa ia lakukan ketika kriteria-kriteria para pelamar tak sesuai harapan ? Apakah ia menolak mereka demi mengejar mimpi dan fantasinya? Ataukah ia perlu menyadari kenyataan dirinya dan merelakan sebagian mimpinya tergantikan sesuatu yang sesuai kondisi pribadinya ?
Aku berpendapat, ia perlu merelakan sebagian mimpinya hilang. Tetapi aku tidak menyarankannya merelakan hal-hal yang bisa menjamin kehidupan bahagia. Sebab, lelaki yang mengajukan lamaran kepada gadis dengan usia ini (maaf, perawan tua) adakalanya berstatus duda cerai yang memiliki beberapa anak, duda yang ditinggal mati istrinya dan ia juga memiliki beberapa anak, atau lelaki yang ingin poligami. Aku tidak mengingkari, bila Allah berkehendak ada saja lelaki muda dan masih bujangan yang mau menikah dengan perawan tua. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-sendiri menikahi Khadijah –رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – yang notabenenya seorang janda dan 15 tahun lebih tua dari beliau. Tetapi di sini saya berbicara tentang fakta masyarakat kita sekarang ini dan yang umum terjadi.
Wanita harus realistis dan memilih di antara para pelamar tersebut lelaki yang sepadan dengannya dalam masalah agama dan akhlak, serta sesuai dengan kondisi sosial, intelektual dan pendidikannya. Begitu pula ia memilihnya lantaran benar-benar puas dengan kriterianya, bukan untuk bersembunyi dari pandangan masyarakat, atau lari dari gunjingan. Sikap ini, menurut pendapatku, lebih baik bagi dirinya daripada ia memenjarakan diri dalam sangkar mimpi yang bak fatamorgana. Tetapi hati-hati, jangan sampai seorang wanita menerima pinangan lelaki yang tidak cocok dengannya, baik secara agama, sosial maupun intelektual hanya demi menuruti mata-mata masyarakat yang murka.
Kemudian, bila setelah mengerahkan segala upaya yang sesuai kemampuan dan kekuatannya, ternyata Allah tidak juga memilihkan suami, maka hendaknya ia ridha terhadap keputusan dan ketetapan Allah tersebut, bersabar dan waspada terhadap penyesatan setan maupun rayuannya untuk menempuh cara-cara kotor demi mendapatkan seorang suami. Ia harus menjaga agama dan nama baiknya agar menjadi salah satu dari wanita-wanita suci yang disebutkan dalam al-Qur’an. Ia sudah cukup mulia bila menjadi di antara para wanita yang disebutkan dalam al-Qur’an pada firman-Nya :
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَات [الأحزاب : 35]
” … Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya …” (al-Ahzab : 35)
Selanjutnya, ia dapat menyalurkan potensi dan waktunya kepada hal-hal yang mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat dan umatnya.
Wallahu A’lam
Sumber :
Ya Ma’syaran Nisa Rifqan bir Rijal, Dr. Najah binti Ahmad Zhihar, hal. 91-93
Amar Abdullah bin Syakir