Syaikh Ibnu Utsaimin telah menyebutkan bahwa gerakan dalam shalat pada asalnya makruh kecuali jika ada keperluan. Meskipun begitu, bergerak dalam shalat terbagi lima bagian :
Bagian pertama : Gerakan wajib
Begian kedua : Gerakan haram
Bagian ketiga : Gerakan makruh
Bagian keempat : Gerakan sunnah
Bagian kelima : Gerakan mubah
- Gerakan wajib
Adalah gerakan yang menentukan sahnya shalat, seperti apabila melihat ada najis di surban, maka ia wajib bergerak untuk menghilangkan dan melepas serbannya.
Hal itu karena Nabi-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-ketika Jibril mendatanginya saat beliau shalat menjadi imam, Jibril mengabarkan bahwa di kedua sandalnya ada najis, maka nabi -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melepasnya, saat beliau dalam kondisi shalat dan terus melanjutkannya [1]
Atau misalnya seorang diberi tahu bahwa dia menghadap ke selain kiblat, maka dia wajib bergerak ke arah kiblat.
- Gerakan haram
Adapun gerakan haram adalah gerakan banyak terus menerus tanpa keperluan mendesak. Karena gerakan semacam ini dapat membatalkan shalat. Apa yang dapat membatalkan shalat, maka tidak dibolehkan melakukannya. Karena hal itu termasuk menjadikan ayat-ayat Allah sebagai gurauan.
- Gerakan sunnah
Sementara gerakan sunnah adalah gerakan untuk melakukan yang hukumnya sunnah dalam shalat. Seperti bergerak dalam rangka meluruskan shaf, atau melihat sela di depan shafnya sehingga dia maju ke arahnya dalam shalat. Atau shafnya berkurang, lalu dia bergerak untuk menutup sela-sela (shaf), atau yang semisal itu dari gerakan yang menghasilkan perilaku sunnah dalam shalat, karena hal itu untuk kesempurnaan shalat.
Oleh karena itu ketika ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma shalat bersama Nabi-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ketika berdiri di sisi kirinya, Rasulullah -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memegang kepala dari belakang dan menjadikan di sebelah kanannya.” [2]
- Gerakan mubah
Adapun gerakan mubah adalah gerakan ringan karena adanya kebutuhan, atau banyak karena terpaksa.
Kalau ringan untuk kebutuhan contohnya perilaku Nabi -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika shalat sambil membawa Umamah binti Zainab binti Rasulullah-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau termasuk kakek dari ibunya. Ketika berdiri beliau bawa dan ketika sujud beliau meletakkannya [3]
Kalau gerakan banyak karena terpaksa, contohnya menunaikan shalat di waktu perang. Allah-سبحانه وتعالى-berfirman,
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ ٢٣٨ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ فَرِجَالًا أَوۡ رُكۡبَانٗاۖ فَإِذَآ أَمِنتُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ ٢٣٩ [البقرة: 238-239]
Peliharalah semua salat (fardhu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam shalat) dengan khusyuk
Jika kamu berada dalam keadaan takut, shalatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Lalu, apabila kamu telah aman, ingatlah Allah (shalatlah) sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. Al-Baqarah : 238-239)
- Gerakan makruh
Kalau gerakan makruh adalah selain dari empat gerakan yang telah disebutkan.
Ini hukum asal bergerak-gerak dalam shalat (yang tidak terkait dengan shalat). Ini yang kami katakan kepada orang yang bergerak-gerak dalam shalat bahwa perilaku tersebut adalah makruh, mengurangi nilai shalat. Ini yang sering kita saksikan, ada yang sibuk dengan jamnya, pena, sorban, hidung, jenggot atau semisal itu. Semuanya termasuk bagian yang makruh, kecuali jika gerakan tersebut banyak dan terus menerus, maka hal itu haram dan dapat membatalkan shalat.
Syaikh Ibnu Utsaimin telah menyebutkan juga bahwa gerakan yang membatalkan shalat tidak ada bilangan tertentu. Akan tetapi apabila gerakan tersebut dapat menafikan shalat sekiranya jika ada yang melihatnya dia menganggapnya seakan-akan orang itu tidak shalat. Inilah gerakan-gerakan yang membatalkan. Oleh karena itu, para ulama menentukannya berdasarkan pandangan umum (‘uruf) seraya mengatakan bahwa gerakan kalau banyak dan terus menerus itu membatalkan shalat, tanpa menyebutkan bilangan tertentu. Sebagian ulama yang menentukan dengan tiga gerakan membutuhkan dalil. Karena kalau menentukan sesuatu dengan bilangan tertentu atau cara tertentu, ia membutuhkan dalil. Kalau tidak, maka termasuk membuat hukum dalam syariat Allah. [4]
Wallahu A’lam
Sumber :
Beberapa Hal Yang Dibolehkan dalam Shalat, Dr. Muhammad Dahri, Lc., MA. Penerbit : Griya Ilmu, hal. 5-10
Amar Abdullah bin Syakir
Catatan :
[1] Abu Daud, no. 650 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 284
[2] Muttafaq ‘Alaih
[3] Al-Bukhari no.5996 dan Muslim no. 543
[4] Majmu Fatawa Syaikh, 13/309-311