Menggendong Anak Kecil Ketika Shalat

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ اَلْأَنصَارِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَلِّي ‌وَهُوَ ‌حَامِلٌ ‌أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيْعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَها، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Dari Abu Qatadah al-Anshariy-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Rasulullah- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – dan Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abi Syams. Ketika sujud, beliau meletakkannya; dan ketika berdiri, beliau menggendongnya kembali [1]
**
Masalah Fiqhi :
Masalah pertama :
Apakah menggendong bayi yang bernajis di saat shalat, dapat membatalkan shalat atau wudhu ?
Di antara syarat sahnya shalat adalah terpenuhi sifat suci (tidak bernajis), di badan, pakaian dan tempat shalat. Siapa yang shalat sementara di baju atau badannya ada najis atau membawa bayi yang ada najisnya atau membawa gelas yang di dalamnya ada najisnya, maka shalatnya batal menurut jumhur (mayoritas ulama), namun wudhunya tidak batal.

Batalnya shalat terbatas kalau orang shalat menggendong bayi sementara dia mengetahui ada najis. Jika dia tidak mengetahui atau dia mengetahui kemudian dia lupa, maka shalatnya sah.
An-Nawawi mengatakan : Madzhab para ulama bagi orang shalat dengan adanya najis yang ia lupakan atau tidak diketahuinya: Kami telah sebutkan bahwa yang paling kuat dalam madzhab kami (Madzhab Syafi’i) adalah diwajibkan mengulangi, dan ini pendapat Qulabah dan Ahmad. Sementara jumhur ulama mengatakan, tidak perlu mengulanginya. Itu dinukil Ibnu Munzir dari Ibnu Umar, Ibnu Musayyab, Thawus, Atha’, Salim bin Abdillah, Mujahid, as-Sa’biy, an-Nakha’i, az-Zuhri, Yahya al-Anshari, al-Auza’i, Ishaq , Abu Tsaur. Ibnu Munzir berkata : dan ini pendapat saya juga, dan inilah madzhab Rabi’ah, dan Malik, dan pandangan ini kuat dari sisi dalil, dan inilah pilihan [2]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Kalau seseorang shalat sementara di badannya ada najis maksudnya terkena najis dan belum dicuci atau bajunya bernajis, atau tempatnya bernajis, maka shalatnya tidak sah menurut jumhur ulama. Akan tetapi kalau dia tidak mengetahui najisnya ini atau ia mengetahuinya kemudian lupa mencucinya sampai selesai shalat, maka shalatnya sah, tidak diharuskan mengulangi. Dalil hal itu bahwa Nabi- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ketika shalat dengan para sahabatnya suatu hari, kemudian beliau- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – melepas dua sandalnya, maka orang-orang pun ikut melepas sandal mereka. Ketika Rasulullah- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bertanya mengapa mereka melepaskan sandal ? Mereka menjawab, “Kami melihat anda melepas sandal anda, maka kami juga melepaskannya. Maka beliau- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

أَنَّ جِبْرِيْلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيْهِمَا خَبَثًا

“Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa di kedua sandalku ada kotoran.”

Andai shalat beliau batal dengan adanya najis karena tidak tahu, (niscaya) beliau mengulanginya.
Jadi meniadakan najis di badan, baju dan tempat shalat merupakan syarat sahnya shalat. Akan tetapi kalau seseorang tidak dapat menjauhi najis karena ketidaktahuan atau lupa, maka shalatnya sah. Baik dia mengetahui sebelum shalat kemudian lupa membersihkannya atau tidak mengetahuinya kecuali setelah shalat.
Kalau anda katakan : Apa perbedaan antara masalah ini dan kalau seseorang shalat tanpa wudhu karena lupa atau tidak mengetahui, di mana kita menyuruh orang yang shalat tanpa wudhu karena lupa atau tidak mengetahui agar mengulangi shalat, sementara dalam masalah ini kita tidak menyuruhnya mengulangi bagi orang yang shalat dengan najis karena lupa atau tidak tahu ?
Kita katakan : Perbedaan antara keduanya adalah bahwa wudhu atau mandi termasuk melakukan apa yang diperintahkan sementara menjauhi najis adalah meninggalkan yang dilarang. Meninggalkan perintah tidak ada udzur dengan ketidak tahuan atau lupa, berbeda dengan melakukan yang dilarang. Wallahu A’lam[3]

Masalah kedua :
Ada yang bertanya : Di saat kita menggendong bayi dalam shalat, apakah membatalkan shalat jika sesekali kita tersenyum padanya ?
Pertanyaan lain yang serupa : Di saat saya sedang sujud dan bergembira dapat beribadah dan bertaqarrub kepada Allah, saya merasakan kebahagiaan dan kesenangan yang meluap dalam batin, maka sambil bertasbih dalam sujud saya tersenyum, dan itu sering saya lakukan, apakah hal itu membatalkan shalat saya ?
Seorang muslim harus khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalatnya, dan dia harus menjauhi segala sesuatu yang dapat menghalanginya untuk khusyu’ dan merendah diri kepada Allah, kerena khusyu’ dan thuma’ninah adalah inti dari ibadah shalat. Allah memuji orang-orang beriman dengan sifat khusyu’ mereka dalam shalat :

قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ )١( ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ )٢( [المؤمنون: 1-2]

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya (al-Mukminun : 1-2)

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ )٤٥( ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُواْ رَبِّهِمۡ وَأَنَّهُمۡ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ )٤٦( [البقرة: 45-46]

Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya (shalat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali. (al-Baqarah : 45-46)

Di antara yang bisa membuat seseorang kurang khusyu’ saat menunaikan shalat adalah tersenyum.
Dan terkait hukum tersenyum saat menunaikan shalat, sejumlah ulama berpandangan bahwa tersenyum tidak membatalkan shalat [4]

Ibnu Qudamah berkata : Ibnu Mundzir berkata : Mereka (ulama) dengan suara bulat setuju bahwa tertawa membatalkan shalat, dan kebanyakan ulama berakata bahwa tersenyum tidak membatalkan shalat [5]
Ibnu Taimiyah berkata : Adapun tersenyum, itu tidak membatalkan shalat, adapun jika seseorang terbahak-bahak dalam shalat maka itu membatalkannya [6]

An-Nawawi berkata : Madzhab kami adalah : bahwa tersenyum dalam shalat tidak mempengaruhinya [7]
Al-Buhuti berkata : Tidak membatalkan shalat jika seseorang tersenyum saat shalat. Ini adalah pandangan mayoritas ulama, dinukil oleh Ibn al-Mundzir [8]

Namun, walaupun tersenyum tidak membatalkan shalat, maka setiap muslim dan muslimah harus menunaikan dan berusaha semampunya untuk memaksimalkan pelaksanaan ibadah shalat dan menghindari hal-hal yang mungkin membuatnya tersenyum.
Wallahu A’lam

Sumber :
Beberap Hal Yang Dibolehkan dalam Shalat, Dr. Muhammad Dahri, Lc., MA. Penerbit : Griya Ilmu, hal. 15-22
Amar Abdullah bin Syakir

Catatan :
[1]Al-Bukhari (no.516), Muslim (no.543) dan selain keduanya, dan lafazh ini adalah lafazh al-Bukhari
[2] al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab 3/ 163
[3] Majmu’ Fatawa Syaikh al-Utsaimin 12/390
[4] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 27, hal. 124
[5] Al-Mughni 1/394
[6] al-Fataawaa al-Kubra 2/227
[7] Al-Majmu’ 4/22
[8] Kasysyaf al-Qinaa’ 1/402

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *