Terkadang ada istri yang benci kepada suaminya akibat merasa dipaksa menikah dengan lelaki ini, padahal ia tidak menghendakinya. Atau, ia membenci suami setelah keduanya membina rumah tangga lantaran satu faktor perasaan atau sosial, walaupun sebenarnya ia menyukai lelaki tersebut sebelum pernikahan terjadi. Kebencian ini menyebabkan istri merusak ketenangan hidup suami, membuat-buat masalah tanpa suatu sebab atau alasan yang logis.
Sesungguhnya hak suami begitu besar. Rasa benci tidak dapat menjadi pembenar dan melegalkan tindakan mengesampingkan hak-haknya. Maka, seorang istri yang shalihah harus menyesuaikan diri dan menerima kondisi yang dijalaninya. Cinta bukanlah segalanya dalam hidup ini, pun ia tidak tahu di manakah kebaikan berada. Utamanya bila suami tersebut seorang laki-laki yang shalih dan menunaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Atau, ia memiliki anak dari suami ini. Maka, bersabar tetap hidup bersamanya lebih baik daripada menanggung beban berpisah darinya.
Istri harus mencoba memahami karakter pribadi suami, berusaha menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan karakter tersebut, serta hidup bersama kenyataan. Ia dan suami harus berbicara secara terbuka. Bukan hanya terkait masalah perasaan, tapi juga dalam segala permasalahan yang khusus berhubungan dengan kehidupan keduanya. Di sini ia perlu menyampaikan semua uneg-uneg yang terpendam dalam hatinya. Ini juga dianjurkan kepada suami, agar unsur-unsur tali persahabatan antara kedua belah pihak terjalin secara sempurna.
Ada rasa benci yang muncul disebabkan kehamilan istri. Tanpa diketahui sebabnya, ia jadi kurang suka kepada suami, bahkan boleh jadi ingin bercerai darinya. Suami pun tak habis pikir dengan perubahan sikap istrinya ini, sehingga boleh jadi ia menceraikannya. Kasus ini kerap terjadi bila suami dan istri masih terlalu muda akibat keduanya kurang memahami substansi pernikahan. Bahwa masalah ini layaknya lamunan sesaat yang akan berakhir bersamaan dengan selesainya masa kehamilan istri. Jadi, suami mesti bersikap logis dan bersabar sampai masa ini berakhir dengan damai. Insya Allah, istrinya akan kembali bersikap seperti sedia kala.
Hendaknya seorang istri yang muslimah mengingat-ingat sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berikut ini :
لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ لَا تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tiadalah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia kecuali (calon) istrinya dari kalangan bidadari di Surga mengatakan, ‘Jangan engkau sakiti ia !’ Semoga Allah melaknatmu. Sesungguhnya ia hanya singgah di sisimu dan hampir meninggalkanmu menuju kami.” (HR. at-Tirmidzi)
Wallahu A’lam
Sumber :
Al-Mafatih Adz-Dzahabiyah li Ihtiwa Al-Musykilat Az-Zaujiyah, Nabil bin Muhammad Mahmud
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor