Di Bulan Ramadhan, Amal Sunnah Bernilai Amal Wajib ?

عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ بْنِ جَدْعَانِ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبْ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم فِي آخِرِ يَوْمِ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَ قِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَ مَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ…

وَ هُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَ أَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَ آخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ…

Dari Ali bin Zaid bin Jad’an, dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Salman, ia berkata : Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah berkhutbah di akhir hari dari bulan Sya’ban, seraya mengatakan,

“Wahai sekalian manusia ! kalian telah dinaungi oleh bulan yang agung. Bulan yang diberkahi. Satu bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, qiyamullailnya sebagai sunnah. Barangsiapa mendekatkan diri (kepada Allah) pada bulan tersebut dengan suatu kebaikan, maka dia seperti orang yang melaksanakan kewajiban di luar bulan itu. Dan barang siapa yang melakukan kewajiban pada bulan tersebut, maka dia seperti orang yang melaksanakan 70 kewajiban di luar bulan itu…

Dan ia merupakan bulan yang permulaannya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan bagian akhirnya berupa penyelamatan (pembebasan) dari Neraka…” dan seterusnya.

**

Ini pun termasuh hadis panjang, yang kami sampaikan secara ringkas pada bagian yang sering disampaikan.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah juga (no. 1887), al-Muhamili di dalam kitab Amaalii (no.293), al-Ashbahani di dalam kitab at-Targhib (ق / 187 / ب /manuskrip) melalui jalur Ali bin Zaid bin Jad’an, dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Salman.

Sanad hadis ini dha’if (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid.

Ibnu Sa’ad berkata : ” Di dalam sanad ini terdapat kelemahan dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil).”

Ahmad bin Hanbal mengemukakan : “Sanad ini sama sekali tidak kuat.”

Ibnu Ma’in berkata : “Dha’if” (lemah)

Adapun Ibnu Abi Khaitsamah mengemukakan : “Ali bin Zaid ini lemah dalam segala sesuatunya.”

Ibnu Khuzaemah sendiri berkata : “Saya tidak menjadikannya sebagai dalil karena buruknya hafalan beliau.”

Demikian yang disampaikan di kitab Tahdziibut Tahdziib (VII/ 322-323).

Setelah meriwayatkan hadis tersebut, Ibnu Khuzaemah berkata : ” Andaikan [1] khabar itu benar…”,

Sedangkan Ibnu Hajar di dalam kitab al-Athraf, berkata : “Kunci kelemahannya ada pada ‘Ali bin Zaid bin Jad’an. Dia seorang yang dha’if (lemah).” Sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi, darinya, dalam kitab Jam’ul Jawaami’ (No. 23714)

Dinukil pula oleh Ibnu Abi Hatim dari ayahnya di dalam kitab ‘ilalul Hadits (I/249) : “Hadis Munkar.”

 

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Shifaatush Shaumin Nabiyyi Fii Ramadhan, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali (ei, hal. 159-160)

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

 

Catatan :

[1] Di dalam beberapa referensi tidak disebutkan kata ini (Andaikan), seperti misalnya pada kitab at-Targhib wat Tarhib (II/95) dan lain-lain. Sehingga ketiadaan kata ini menyebabkan rusaknya makna. Karenanya pula banyak sebagian para pelajar yang tertipu.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *