Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) [المؤمنون : 1 ، 2]
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, (Al-Mukminun : 1-2)
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِين [البقرة : 238]
…berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ (Qs. al-Baqarah : 238) [1]
Dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-melakukan shalat, setelah selesai beliau berkata kepada seseorang, “Wahai fulan mengapa kamu tidak melakukan shalat dengan baik ? Tidaklah seseorang yang melakukan shalat melihat bagaimana dia melakukannya ? Karena sesungguhnya dia melakukan shalat hanya untuk dirinya sendiri [2]
Kekhusyu’an ini bisa diperoleh dengan berbagai hal. Sebagian ada di dalam shalat itu sendiri dan sebagian yang lain di luar shalat :
1-Mengingat Kematian
Dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, ‘Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
اُذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ, فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ, لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ, وَصَلِّ صَلَاةَ رَجُلٍ لَا يَظُنُّ أَنَّهُ يَصَلِّي صَلَاةً غَيْرَهَا, وَإِيَّاكَ وَكُلَّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ
Ingatlah kematian ketika Anda sedang melakukan shalat, karena jika seseorang mengingat kematian ketika melakukan shalat, niscaya dia akan selalu melakukan shalat dengan baik, lakukanlah shalat seperti orang yang tidak menyangka bahwa dia akan melakukan shalat yang lain (karena meninggal), dan jauhilah segala alasan yang menghalanginya [3]
Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –memerintahkan seorang muslim untuk melakukan shalat dengan selalu mengingat kematian di dalam shalatnya. Hal itu karena mengingat kematian menyebabkan dia melakukan shalat dengan baik, kematian menimbulkan rasa takut dalam jiwa, dan dengan (kematian) pula semua amal akan ditutup. Dan sesungguhnya apa yang terjadi setelah itu lebih menakutkan. Siapa orangnya yang dapat lari dari siksa kubur ? Dan apakah yang akan kita jawab ketika ditanya di dalamnya ? Kita juga tidak tahu ke mana kita akan kembali, apakah ke Surga yang luasnya seluas langit dan bumi ? Atau ke Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ?
Demikianlah seorang muslim menghadirkan renungan demi renungan akan kematian di dalam dirinya sehingga ia akan melakukan shalat seakan-akan dia tidak akan melakukannya lagi. Dia melakukan shalat dengan baik, melakukan taubat, mempersiapkan dirinya menuju kematian, menyiapkan kain kafan, menulis wasiat, dan mengembalikan hak orang lain. Ketika waktu pagi tiba dia tidak akan menunggu datangnya waktu sore, dan ketika sore tiba dia tidak akan menunggu datangnya pagi.
Demikianlah dia melakukan shalat dengan khusyu’ dan tangis; berada di antara takut dan berharap dengan menghadap akhirat dan menyatakan perpisahan kepada dunia; yang dia lakukan adalah shalat terakhir dan perpisahan dengan shalat; dia menyatakan kata perpisahan kepada istri, kedua orang tua, saudara, orang yang dicintai, karib kerabat, bahkan dunia dan seisinya.
Ketika dia mengucapkan ‘Allahu Akbar’ dia merasakan bahwa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-lebih agung dari segalanya, dia menganggap bahwa urusan dunia itu sangatlah kecil, kemudian dia memohon kepada-Nya dengan membaca doa Istiftah, seraya berkata,
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Ya, Allah ! Jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat.”
Dia merasakan jarak yang sangat jauh antara barat dan timur. Ketika itu pula dia berusaha-semampu mungkin- untuk merasakan beratnya kesalahan dan dosa yang telah ia lakukan. Dia takut menghadap Allah dengan membawa dosa sebanyak itu, yang memberati punggungnya. Dia juga takut jika kematian datang dalam kondisi seperti itu sedangkan dia tidak bertaubat, sehingga dia memohon kepada Allah dengan doa tersebut dengan penuh harap bahwa permohonannya itu akan dikabulkan. Demikianlah dia memikirkan makna-makna yang terkandung di dalam shalat; dia berusaha untuk merasakan keagungan Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di dalam hati yang dipenuhi dengan air mata dan tangis karena Surga dan Neraka telah tampak baginya lebih dekat dari tali sendalnya. Dia selalu mewujudkan sabda Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,
صَلِّ صَلاةَ مُوَدِّعٍ ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك
“Lakukanlah shalat seperti shalat perpisahan seakan-akan Anda melihat Allah, jika Anda tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu[4]
Sudah seharusnya kita merasa diawasi oleh Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- agar urusan shalat itu menjadi lurus. Kita harus meletakkan dunia di belakang kita. Apa yang dirasakan oleh seseorang jika kata-katanya didengar dan pasti akan sampai kepada Sultan, apa yang akan dia katakan dan bagaimana dia berbicara ? Bukankah dia selalu mempertimbangkan kata-kata bahkan huruf-hurufnya ? Apalagi keadaan orang yang akan menghadap Dzat Yang Maha Mendengar, Mahatahu, Mahamelihat, yang segala sesuatu akan nampak bagi-Nya dan tidak sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya ?
Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melakukan shalat dan di dadanya terdengar suara tangis bagaikan air mendidih, hal itu terjadi karena pengagungan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin asy-Syikhir-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-ia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sedang shalat dengan menjadi imam bagi kami, di dalam dadanya terdengar suara bagaikan air mendidih karena menangis.[5]
Adalah tangisan Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-terdengar oleh orang yang berada di akhir shaf shalat, hal ini sebagaimana yang diungkapkan di dalam ‘Shahihul Bukhari‘ dan diriwayatkan oleh ‘Abdullah Ibnu Syaddad, ia berkata, “Aku mendengar tangisan Umar dalam tenggorokannya padahal aku berada di shaf terakhir, beliau membaca firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى الله [يوسف : 86]
Ya’qub menjawa, sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku…’ (Qs. Yusuf : 86)
Adapun Abu Bakar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, suara (bacaan)nya tidak pernah terdengar oleh orang lain karena tangisan, hal itu sebagaimana yang dikhabarkan ‘Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, ia berkata, ‘Ketika Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-jatuh sakit, beliau berkata, ‘Perintahkan Abu Bakar agar menjadi imam !’ ‘Aisyah berkata, ‘Jika Abu Bakar menggantikan kedudukanmu di dalam shalat, maka suara beliau tidak akan terdengar oleh orang lain karena tangisan, maka perintahkanlah Umar untuk menjadi imam !’ Dan Hafshah pun melakukannya. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, ‘Cukup, kalian semua seperti keluarga Yusuf [6] Hafshah berkata kepada ‘Aisyah : ‘Tidak sekali pun aku mendapatkan kebaikan darimu [7]
Di dalam riwayat lain diungkapkan : “Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika dia menggantikanmu, maka dia tidak akan bisa menjadi imam [8]
Wallahu A’lam
Sumber :
Ash-Shalatu Wa Atsaruha Fi Ziyadati al-Iman Wa Tahdzibi an-Nafsi, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, ei, hal. 8-12.
Amar Abdullah bin Syakir
[1] Ibnu Katsir-رَحِمَهُ اللهُ-berkata di dalam Tafsir-nya : “Maknanya adalah dengan penuh ketundukan dan kekhusyu’an, ” di dalam shahih Muslim (539) dari Zaid bin Arqam-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata : ‘Adalah kami berbicara di dalam shalat, seseorang berbicara dengan orang yang ada di sampingnya, sehingga turun firman Allah (al-Baqarah : 238), setelah itu kami diperintah untuk tidak berbicara di dalam shalat.”
[2] (Diriiwayatkan oleh Muslim (423))
[3] Diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam kitab Musnad al-Firdaus, guru kami berkata di dalam kitab Shahihul Jami’ : “Hadis ini dihasankan oleh al-Hafizh ibnu Hajar, dan jarang sekali di dalam Mafarid Musnad al-Firdaus, dihasankan di dalam kitab ash-Shahihah (1421).”
[4] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath, al-Baihaqi dan yang lainnya. Guru kami memperkuat hadis ini dengan hadis penguat, lihat di dalam kitab ash-Shahihah (1814))
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasai, dan yang lainnya, dishahihkan oleh guru kami di dalam kitabnya Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyyah (no.276))
[6] Al-Hafizh berkata di dalam al-fath : “Titik kesamaan di antara keduanya adalah bahwasanya Zulaikha mengundang para wanita dan menunjukkan sikapnya yang menjamu dan menghormati mereka, sedangkan ‘Aisyah menampakkan bahwa penyebab dia melakukan hal itu agar bapaknya tidak menjadi imam karena bacaan bapaknya yang tidak bisa didengar orang lain karena tangis, padahal ada hal lain, yaitu agar orang lain tidak pesimis. Al-hafizh di dalam al-Fath, di dalam kitab al-Maghazi menuturkan bahwa ‘Aisyah berkata, ‘Aku berusaha mengulang-ulang kata-kata itu kepada Rasulullah. Sama sekali tidak ada yang mendorongku untuk melakukannya kecuali rasa berat di dalam hati agar tidak ada orang yang menggantikan kedudukannya, dan aku menyangka bahwa sama sekali tidak akan ada yang menggantikan kedudukannya untuk menjadi imam, kecuali akan menyebabkan banyak orang yang pesimis. Karena itulah aku ingin agar Abu Bakar tidak menggantikannya.”
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (716) dan Muslim (418))
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (664) dan Muslim (418))
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor