Cara Menasihati Istri Dalam Perkara Ilmu

Bagaimana dgn istri yg sudah banyak belajar ilmu agama dgn ikut kajian2 tapi tidak banyak yg di praktekkan, misalnya di ingat kan agar tidak menunda sholat dan serieng merendahkan suami dgn ilmu nya, hanya taat pada apa yang di bilang ustadz serta sangat kagum pada pribadi Ustadza

Bagaimana cara menegurnya lagi ?

Jawaban :

Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, hendaknya Anda memuji Allah atas nikmat yang Allah berikan kepada Anda salah satunya berupa seorang istri yang gemar belajar ilmu agama dan menghadiri majlis-majlis ilmu. Dan, seharusnya, Anda juga meneladani istri Anda dalam hal ini, bahkan melebihinya, karena itulah memang salah satu di antara sekian banyak kewajiban yang ada dalam ajaran agama kita, Islam yang mulia yang harus kita lakukan. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah)

Kedua, hendaklah Anda mendoakan istri Anda agar beliau medapatkan taufiq dalam menuntut ilmu, terus terjaga bahkan meningkat kegemarannya untuk belajar ilmu agama dan semoga pula beliau diberi taufik oleh Allah untuk dapat mengamalkan sertiap ilmu yang benar yang telah diketahuinya.

 Ketiga, Ungkapan Anda “tapi tidak banyak yg di praktekkan” tidak dipungkiri bahwa ini merupakan hal yang sangat buruk, karena, orang yang seperti ini memiliki serupaan dengan orang-orang Yahudi, kaum yang dimurkai oleh Allah. Tidak mengamalkan ilmu adalah salah satu sifat mereka yang mana kita diperintahkan oleh Rabb kita Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – agar kita berlindung kepada-Nya dari sifat tersebut dan dari orang-orang yang menempuh jalan tersebut siang-malam, paling sedikit 17 kali setiap harinya. Hal itu ketika kita membaca firman Allah di dalam surat al-Fatihah,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 6 ، 7]

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Qs. al-Fatihah : 6,7)

Karenanya, semoga Allah melindungi saya, Anda dan istri Anda dari sifat ini.

Keempat, Unkapan Anda, “tapi tidak banyak yg di praktekkan” dipahami bahwa Anda tahu ada di antara ilmu yang dimiliki istri Anda yang diamalkannya, -sejauh yang Anda tahu-. Bahkan, nampaknya Anda tahu pula kadar banyaknya ilmu yang dimiliki istrinya Anda.

Terlepas dari benar tidaknya klaim anda ini, yang jelas pernyataan Anda, ‘tidak banyak’, ini berarti ‘sedikit’. Meski ‘sedikit’ sejatinya, Allah tidak akan menyia-nyiakannya, Allah bakal membalasnya dengan balasan yang baik dari sisinya sepanjang amal yang dilakukannya tersebut ikhlas, semata-mengharapkan ridha Allah azza wa jalla. Karena, Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِي [التوبة : 120]

Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (Qs. at-Taubah : 120)

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا  [الكهف : 30]

Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. (Qs. al-Kahfi : 30)

Semakin besar atau semakin banyak amal baik yang dilakukan, termasuk di antaranya adalah ‘mengamalkan ilmu yang benar yang telah diketahui seseorang’ dengan penuh keikhlasan dan mengikuti petunjuk Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-niscaya akan semakin banyak dan semakin besar pula pahala yang akan didapatkan, bahkan berlipat-lipat ganda jumlahnya. Karenanya, menjadi PR bagi Anda untuk terus mendorong istri Anda agar beliau mengalkan ilmu yang benar yang telah didapatkannya. Dan, pada saat yang sama Anda pun turus bersungguh-sungguh pula untuk mencari dan mendapatkan ilmu agama yang benar, kemudian Anda pun bersunguh-sungguh pula berupaya secara maksimal mengamalkannya.

Kelima, pernyataan Anda atau klaim anda “tapi tidak banyak yg di praktekkan”. Boleh jadi, faktanya adalah sebaliknya, yaitu bahwa sejatinya istri Anda telah mengamalkan banyak dari ilmu yang banyak yang dimilikinya, hanya saja Anda tidak mengetahuinya, bisa saja Anda tidak melihatnya kala ia mempraktekkan ilmunya. Atau, bisa saja, beberapa contoh yang Anda sebutakan tentang perbuatan istri Anda yaitu “menunda sholat dan serieng merendahkan suami, dll”, itu sejatinya merupakan bagian yang kecil dari ilmu yang tidak diamalkannya, sementara ia memiliki bagian ilmu yang jauh lebih banyak yang telah diamalkannya yang tidak anda ketahui. Jika ini adalah faktanya. Maka, tidak sepatutnya bagi seseorang menilai sesuatu dengan cara yang tidak proporsional atau tidak adil. Dan, sungguh sangat mengherankan ketika seseorang melihat titik sampah yang sedikit di tengah-tengah lautan yang sedemikian luas, sementara ia melupakan banyaknya air yang terdapat di laut tersebut. Kejelekan yang sedikit begitu jelas terlihat sementara kebaikan yang begitu banyak terlupakan begitu saja.

Maka dari itu, saya nasehatkan kepada diri saya dan Anda untuk bertakwa kepada Allah dan berlaku adil, baik kepada diri kita sendiri maupun terhadap orang lain, seperti pasangan hidup kita, kerabat kita dan yang lainnya.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ  [المائدة : 8]

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Qs. al-Maidah : 8)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ [النساء : 135]

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu…(Qs. an-Nisa : 135)

Keenam, tidak diragukan bahwa tindakan seseorang ‘menunda sholat’ dengan sengaja tanpa ada udzur atau alasan yang membolehkannya secara syar’i merupakan keburukan, dan boleh jadi dapat menjadi sebab terjatuhnya seseorang ke dalam keburukan pula, dan inilah yang dikhawatirkan, yaitu, habisnya waktu shalat sehingga seseorang mengerjakannya di luar waktunya. Tentu, ini menyelisihi ketentuan Allah yang telah menetapkan agar shalat itu dikerjakan pada waktu-waktunya yang telah ditentukan, sebagaimana firmana-Nya,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا [النساء : 103]

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Qs. an-Nisa : 103)

Untuk itu, syariat sedemikian memotivasi kita agar kita menjaga shalat kita salah satunya dengan mengerjakannya pada waktunya, dan sedapat mungkin kita kerjakan di awal waktunya. Hal ini mendorong kita agar tidak menunda-nundanya. Rasulullah-صلى الله عليه وسلم – pernah ditanya, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah ? (dalam riwayat lain, ‘Amal apakah yang paling utama ?) beliau menjawab :

الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا

Shalat pada waktunya … (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Baththal mengatakan, ‘di dalam hadis ini (terdapat petunjuk) bahwa bersegera mengerjakan shalat di awal waktunya lebih utama dari pada menundanya…(Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 2/294)

Adapun jika ‘Menunda sholat’ dilakukan karena ada udzur syar’i yang membolehkannya, maka ini bukan keburukan, bukan pula merupakan kesalahan. Karenanya, patut kiranya kita membedakannya dan melihat adakah alasan syar’i yang membolehkan istri kita menunda shalatnya. Jika ada, maka tidak mengapa atau tidak ada masalah. Jika tidak ada, maka baik sekali bila mana Anda –sebagai pasangan hidupnya- terus mengingatkannya atau menegurnya secara langsung dengan lisan anda setiap kali ia menunda-nunda shalat agar bersegera mengerjakan shalat tersebut pada waktunya atau di awal waktunya. Dengan ini, Anda melaksanakan sebagian dari kewajiban Anda, yang dibebankan oleh Allah kepada Anda. Allah berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا [طه : 132]

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya… (Qs. Thaha : 132)

Cara lainya, yang barang kali bisa Anda lakukan untuk mengingatkannya adalah dengan Anda menulliskan pada secarik kertas hadis nabi yang menyebutkan tentang keutamaan bersegara mengerjakan shalat pada waktunya atau di awal waktunya, lalu kertas tersebut Anda tempel di kamar atau ruangan yang mudah terbaca. Mudah-mudahal hal ini akan membantu istri Anda untuk bersegera mengerjakan shalat kala telah tiba waktunya.

Ketujuh, Tidak sepatutnya memang bagi seseorang yang dikaruniai oleh Allah nikmat yang agung berupa ilmu agama lantas ia menghina atau merendahkan siapa pun orangnya termasuk pasangan hidupnya yang boleh jadi belum tahu ilmunya. Karena, merendah orang lain merupakan bentuk kesombongan yang terlarang dalam syariat agama Islam yang mulia. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain (HR. Muslim)

Karenanya, yang benar adalah bahwa seseorang menyampaikan ilmunya kepada orang lain secara baik, tidak disertai dengan merendahkan atau menghinakan orang lain yang boleh jadi belum mengetahuinya. Karenanya, Allah berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل : 125]

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. an-Nahl : 125)

Semoga Allah mengaruniakan kepada istri Anda hikmah dan pengajaran yang baik dalam menyampaikan ilmunya kepada Anda. Demikian pula semoga Anda dikarunia Allah hikmah dan pengajaran yang baik dalam menyampaikan ilmu yang telah Anda ketahui kepada pasangan hidup Anda.

Kedelapan, terkait dengan ‘taat pada apa yang di bilang ustadz’ maka sepanjang apa yang dikatakan si ustadz itu benar, sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya, maka memang demikianlah seharusnya, Allah berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  [النور : 51]

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Qs. an-Nuur : 51)

Allah juga berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب : 36]

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs. al-Ahzab : 36)

Adapun jika apa yang dikatakan si ustadz itu ‘salah’, tidak sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh mentaatinya. Karena, Rasulullah-صلى الله عليه وسلم – bersabda,

اَلسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ عَلَيْهِ وَلَا طَاعَةَ

Mendengar dan taat wajib atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan dalam hal yang tidak ia sukai, sepanjang tidak diperintah untuk melakukan kemaksiatan. Jika ia diperintah untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban atasnya mendengar dan tidak pula taat (HR.at-Tirmidzi)

Rasulullah-صلى الله عليه وسلم – juga bersabda,

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah azza wa jalla (HR. Ahmad)

Rasulullah-صلى الله عليه وسلم – juga bersabda,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan itu hanya berlaku dalam hal yang ma’ruf (baik) (HR. al-Bukhari)

Dengan demikian, jika apa yang dikatakan si ustadz tersebut benar, sesuai dengan syariat maka mentaatinya adalah benar. Jika yang dikatakan si ustdz salah, menyelisihi syariat Allah dan rasulnya, maka mentaatinya merupakan sebuah kesalahan.

Karenanya, jika istri Anda menyampaikan apa yang dikatakan ustadznya yang benar kepada Anda, maka tidak ada jalan bagi Anda selain hati Anda menerimanya sebagai kebenaran dan Anda tidak layak menolak kebenaran itu sekalipun boleh jadi tidak mengenakkan hati Anda.

Kesembilan, tentang kekaguman seseorang terhadap orang lain, termasuk kekaguman istri Anda terhadap si Ustadz yang Anda maksudkan, maka sepanjang wajar dan tidak berlebihan, maka tidak mengapa. Namun, jika tidak demikian, bahkan sampai misalnya, mengkultuskan, membenarkan perkataannya padahal sejatinya salah, mengaguminya berdasarkan hawa nafsunya, maka hal ini tidak layak, dikhawatirkan hal tersebut termasuk dalam kategori ‘ghuluw (sikap yang berlebih-lebihan) yang terlarang dalam agama Islam. Sebagaimana yang terisyaratkan dalam firman Allah,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ [المائدة : 77]

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Qs. al-Maidah : 77)

Demikian.

Wallahu A’lam

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *