Keutamaan Sepertiga Akhir Bulan Ramadhan

Saudara-saudaraku sekalian, telah tiba sepertiga akhir bulan Ramadhan, di dalamnya terdapat berbagai kebaikan, keutamaan, kekhususan, dan pahala yang melimpah.

Di antara kekhususannya, Nabi ﷺ dahulu bersungguh-sungguh menghidupkannya dengan berbagai amalan, melebihi waktu-waktu lainnya. Disebutkan dalam Shahih Muslim, dari ‘Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا, ia berkata

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah ﷺ sungguh-sungguh pada sepertiga akhir bulan Ramadhan, melebihi kesungguhannya di waktu yang lain.

Disebutkan pula dalam Ash Shahihain, juga dari ‘Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا, ia berkata

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Jika Nabi ﷺ memasuki sepertiga akhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.”

Disebutkan dalam Al Musnad, masih dari ‘Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا, ia berkata

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْلِطُ الْعِشْرِينَ بِصَلَاةٍ وَنَوْمٍ فَإِذَا كَانَ الْعَشْرُ شَمَّرَ وَشَدَّ الْمِئْزَر

Rasulullah ﷺ mencampur antara shalat dan tidur selama dua puluh hari (pertama bulan Ramadhan). Ketika memasuki sepertiga akhir (bulan Ramadhan), beliau menyingsingkan lengan bajunya dan mengencangkan sarungnya.

Hadis-hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan sepertiga akhir bulan Ramadhan. Nabi ﷺ dahulu beramal dengan sungguh-sungguh di dalamnya, lebih dari waktu yang lain. Ini mencakup kesungguhan beliau dalam segala jenis ibadah, baik shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, sedekah, ataupun lainnya.

Maksud dari mengencangkan sarungnya adalah belau menjauhi istri-istrinya (dari berjima’) untuk berkonsentrasi dalam shalat dan dzikir. Beliau menghidupkan malam dengan shalat malam, membaca Al Qur’an, serta dzikir, baik dengan hati, lisan, dan anggota tubuh beliau. Ini disebabkan oleh kemuliaan malam-malam tersebut, serta untuk mencari malam Lailatul Qadar, di mana orang yang melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Zhahir (lahiriyah) hadis tadi menunjukkan bahwa beliau ﷺ menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah kepada Rabbnya, baik dengan dzikir, membaca Al Qur’an, shalat, mempersiapkan sahur, dan sebagainya. Dengan pernyataan ini, terjadi kompromi antara hadis di atas dan hadis yang disebutkan dalam shahih muslim, dari ‘Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا, ia berkata :

وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَامَ لَيْلَةً حَتَّى الصَّبَاحِ

Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukan shalat semalam suntuk hingga datangnya pagi.

Sebab, maksud dari menghidupkan malam pada sepertiga akhir Ramadhan adalah bukan hanya dengan melakukan shalat, akan tetapi juga disertai dengan ibadah-ibadah yang lain. Dan yang dinafikan oleh ‘Aisyah hanyalah pelaksanaan shalat semalam suntuk. Wallahu A’lam.

Perkara lain yang menunjukkan keutamaan sepertiga akhir Ramadhan adalah Nabi ﷺ membangunkan keluarganya untuk melaksanakan dzikir dan shalat di waktu-waktu ini, disebabkan semangat beliau untuk memanfaatkan malam-malam yang penuh berkah dengan ibadah-ibadah yang pantas. Ini adalah kesempatan emas sekaligus harta yang berharga bagi orang-orang yang diberi taufiq oleh Allah ﷻ. Tidak selayaknya seorang mukmin yang berakal membiarkan diri dan keluarganya terlewatkan saat yang berharga ini. Ia tidak lain hanyalah merupakan malam-malam yang berbilang, di mana seseorang mengharap anugerah Allah yang mengantarkannya meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sungguh banyak dari kaum Muslimin yang tertimpa kerugian yang sangat besar tatkala mereka melewatkan waktu-waktu berharga ini dalam berbagai perkara yang tidak bermanfaat bagi mereka. Mereka menghabiskan sebagian besar malamnya dengan permainan yang batil, namun ketika datang waktu shalat, mereka tertidur. Mereka membiarkan diri mereka melewatkan kebaikan yang banyak yang bisa jadi tidak akan mereka jumpai lagi setelah tahun ini untuk selamanya. Mereka terjerat tipu daya dan permainan setan yang bermaksud untuk mencegah serta menyimpangkan mereka dari jalan Allah.

Allah ﷻ berfirman

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat.” (Qs. Al Hijr : 42)

Hanya orang yang berakal yang tidak mau mengangkat setan menjadi walinya, sebagai pengganti Allah, karena dia mengetahui bahwa setan itu memusuhinya. Tentu saja ini bertentangan dengan akal dan iman.

Allah ﷻ berfirman

أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada Ku, sedang mereka adalah musuhmu ? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim (Qs. Al Kahfi : 50)

Allah ﷻ berfirman

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala (Qs. Fathir : 6)

Di antara kekhususan sepertiga akhir Ramadhan adalah Nabi ﷺ dahulu melaksanakan I’tikaf pada saat tersebut. I’tikaf adalah berdiam di masjid untuk mengonsentrasikan diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah ﷻ. Ini merupakan perkara yang sunnah, tercantum dalam Kitabullah dan hadis Nabi ﷺ.

Allah ﷻ berfirman

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber’itikaf dalam masjid … (Qs. Al Baqarah : 187)

Nabi ﷺ telah melaksanakan I’tikaf (sebagai realisasi dari ayat tersebut). Demikian pula para sahabat, baik ketika Nabi ﷺ masih hidup maupun setelah beliau wafat. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudriy رَضِيَ اللهُ عَنْهُ bahwa Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepertiga awal Ramadhan, lalu beliau beri’tikaf pada sepertiga kedua dari Ramadhan, kemudian beliau bersabda

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ

Sesungguhnya aku beri’tikaf pada sepertiga awal (Ramadhan) untuk mencari malam ini (Lailatul Qadar), kemudian aku beri’tikaf pada sepertiga kedua. Setelah itu ada yang mendatangiku dan berkata : Sesungguhnya Lailatul Qadar itu berada pada sepertiga akhir, barang siapa di antara kalian yang ingin melakukan I’tikaf, maka hendaklah ia lakukan. (HR. Muslim)

Disebutkan dalam Ash Shahihain, dari ‘Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwa Nabi ﷺ melakukan I’tikaf pada sepertiga akhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Dan para istri beliau melakukan I’tikaf sepeninggal beliau.

Disebutkan pula dalam shahih Al Bukhari, juga dari ‘Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, ia berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Nabi ﷺ beri’tikaf selama sepuluh hari untuk tiap Ramadhan. Namun beliau ber’itikaf selama dua puluh hari pada tahun wafatnya beliau.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَعْتَكِفْ عَامًا فَلَمَّا كَانَ فِي الْعَامِ المْقُبْلِ اِعْتَكَفَ عِشْرِيْنَ

Nabi beri’tikaf pada sepertiga akhir Ramadhan. Beliau pernah tidak beri’tikaf selama setahun, dan pada tahun berikutnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi, dan beliau menshahihkannya)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa jika Nabi ingin beri’tikaf, beliau melakukan shalat Subuh, kemudian beliau memasuki tempat I’tikafnya. Setelah itu ‘Aisyah meminta izin kepada beliau untuk beri’tikaf, dan beliau mengizinkan. ‘Aisyah kemudian mendirikan kemah. Demikian juga dengan Hafshah. Ketika Zaenab melihat hal itu, dia juga meminta untuk dibuatkan kemah. Sewaktu Nabi melihat beberapa kemah, beliau bersabda, “Apa ini ?” Para sahabat menjawab, “Kemah ‘Aisyah, Hafshah, dan Zaenab.” Beliau melanjutkan “Apakah mereka menginginkan kebaikan dengannya ? Bongkarlah kemah-kemah tersebut agar aku tidak melihatnya.” Akhirnya kemah-kemah tersebut dibongkar dan Nabi tidak jadi melakukan I’tikaf pada bulan Ramadhan tersebut. Beliau menundanya hingga sepertiga awal dari bulan Syawal. (Kisah ini diambil dari Al Bukhari dan Muslim dari beberapa riwayat)

Imam Ahmad berkata : “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama tentang sunnahnya I’tikaf.”

Maksud dari I’tikaf adalah putusnya hubungan seseorang dari manusia lainnya untuk berkosentrasi melakukan ketaatan kepada Allah dalam salah satu masjidnya dengan tujuan mencari pahalanya, karunianya, serta Lailatul Qadar. Oleh sebab itu, seharusnya orang yang melakukan I’tikaf tersibukan dengan dzikir, membaca Al Qur’an, shalat, serta berbagai ibadah lainnya. dia seharusnya menjauhi perkara-perkara yang tidak bermanfaat untuknya, seperti membicarakan dunia. Namun ia boleh melakukan sedikit pembicaraan yang dibolehkan, baik dengan keluarga, ataupun selainnya untuk suatu kemaslahatan.

Disebutkan dalam hadis Ummul Mukminin, Shafiyyah, ia berkata, “Nabi dulu melakukan I’tikaf, kemudian aku mendatangi beliau di malam hari untuk membicarakan sesuatu dengan beliau. Lalu aku berdiri untuk pulang ke rumahku, dan Nabi berdiri bersamaku (Muttafaq ‘Alaih)

Diharamkan bagi orang yang beri’tikaf untuk melakukan jima’ atau hal hal yang mengantarkan kepadanya seperti ciuman, dan rabaan dengan syahwat.

Allah ﷻ berfirman

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid … (Qs. Al Baqarah : 187)

Adapun tentang keluarnya dia dari masjid, jika yang keluar hanyalah sebagian badannya, maka hal ini tidak mengapa. Diriwayatkan dari hadis ‘Aisyah, ia berkata

Nabi pernah mengeluarkan kepalanya dari masjid padahal beliau dalam keadaan beri’tikaf, lalu aku mencuci kepala beliau, meskipun aku sedang haid. (HR. Al Bukhari)

Di dalam riwayat lain disebutkan

“Aisyah menyisir rambut Nabi, padahal ia dalam keadaan haid dan Nabi dalam keadaan beri’tikaf di masjid. Nabi menyodorkan kepalanya kepada ‘Aisyah yang tetap berada di kamarnya.”

Dan jika dia keluar dengan seluruh badannya dari masjid, maka terdapat tiga bentuk dalam perkara ini :

Pertama, Dia keluar untuk suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, baik secara tabiat atau pun syariat, seperti buang air besar dan buang air kecil, wudhu, mandi wajib, makan, minum dan lain sebagainya. Jika hal hal itu memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid, maka dia diperbolehkan keluar masjid. Adapun jika bisa dilakukan di dalam masjid, maka dia tidak boleh keluar. Misalnya, dia beri’tikaf di suatu masjid yang di dalamnya terdapat kamar mandi sehingga ia bisa buang hajat dan mandi di sana, atau ada yang selalu mengantarkan makanan.

Kedua, Dia keluar untuk suatu ketaatan yang tidak wajib dilakukan, seperti menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, dan semisalnya. Dalam kondisi ini, hendaklah dia tetap tidak keluar dari masjid (karena itu akan merusak I’tikafnya). Kecuali jika keluarnya tersebut telah disyaratkan sejak awal I’tikafnya. Misalnya, ada orang sakit yang ia khawatirkan wafatnya atau harus senantiasa ia kunjungi. Jika ia mensyaratkan hal itu sejak awal I’tikafnya, maka tidak mengapa.

Ketiga, Dia keluar untuk suatu perkara yang membatalkan I’tikaf, seperti jual beli, jima’ dengan istri, dan semisalnya. Semua itu tidak boleh dilakukan, baik dengan syarat atau tidak, karena hal itu menafikan dan membatalkan maksud dari i’tikaf.

Di antara kekhususan lain sepertiga akhir dari Ramadhan adalah di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka sadarilah keutamaan sepertiga akhir bulan ini, dan janganlah kalian menyia-nyiakannya, semoga Allah merahmati kalian. Waktunya demikian berharga dan kebaikan-kebaikannya tampak dengan nyata.

Ya, Allah, berilah taufiq kepada kami untuk mengerjakan perkara-perkara yang baik bagi agama dan dunia kami, baguskanlah hasil akhir dari perbuatan kami, muliakanlah tempat kembali kami, ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum Muslimin dengan rahmat Mu, wahai Dzat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya.

 

Sumber :
Majalis Syahri Ramadhan, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (hal. 154-158)

Amar Abdullah bin Syakir

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

 

Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama
Ramadhan 1442 H / 2021 M

TARGET 5000 PORSI
ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000

Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui

Bank Mandiri Syariah
Kode Bank 451
No Rek 711-330-720-4
A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136

Info Lebih Lanjut Klik Disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *