Mereka Yang Merugi Di Bulan Suci – Bagian 1

Sebenarnya ada satu prinsip yang semua orang sepakat dengannya. Yaitu bahwa tak ada seorang pun yang mau bila usaha dan lelahnya berakhir rugi. Semua ingin beruntung dan meraih kemenangan. Dan bulan Ramadhan sebenarnya tak ubahnya layaknya perniagaan yang begitu urgen ; dengan harga penawaran yang sangat menggiurkan. Ada hamba yang meraih keuntungan, ada pula yang menanggung kerugian dan kegagalan.

Siapakah orang-orang yang merugi di bulan suci, bulan Ramadhan ?

Di antara mereka adalah :

  1. Mereka yang tidak melakukan puasa atas dasar iman dan mencari pahala dari Allah. Namun justru mereka berpuasa karena ingin pamer atau sekedar rutinitas dan kebiasaan belaka. Sedangkan Nabi ﷺ telah bersabda

    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

    Barang siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mencari pahalanya, maka dosa-dosanya yang telah lalu pun akan diampuni (Muttafaq ‘Alaih)

    Pemahaman kebalikan dari hadis ini adalah: bahwa orang yang berpuasa Ramadhan namun tidak atas dasar iman dan tidak hendak mencari pahala Allah, maka dosanya yang telah lalu tidak akan diampuni. Dan apabila seseorang tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan, lalu kapankah ia akan diampuni ?!
    Di sini kita perlu merenungi kembali apa maksud dari ungkapan Nabi “إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا”.

    Imam An Nawawi berkata :
    Makna إِيمَانًا adalah membenarkan bahwa hal itu adalah hak; dengan meyakini keutamaannya. Sedangkan وَاحْتِسَابًا maknanya adalah bahwa ia berkehendak mencari keridhaan Allah semata. Bukan dengan maksud agar dilihat orang, ataupun maksud-maksud duniawi lainnya yang berlawanan dengan keikhlasannya (Syarah Nawawi Ala Muslim, 6/39).

    Al Hafizh Ibnu Hajar berkata :
    Maksud dari إِيمَانًا adalah meyakini bahwa puasa (Ramadhan) merupakan hal yang diwajibkan ; sedangkan وَاحْتِسَابًا maksudnya karena mencari pahala dari Allah (Fathul Baariy, 4/115)

    Seorang Mukmin menunaikan puasanya atas dasar keimanannya kepada Allah ; sehingga ia hanya mencari keridhaannya; sehingga ia menjalankan puasanya dengan hati yang lapang, tidak merasa sedang memikul beban yang berat ;karena ia tengah menunaikan titah Allah Al Khaliq Yang telah menciptanya.

    Maka Allah tidak akan menerima suatu ibadah hamba, melainkan bila ia telah benar-benar beriman kepada Allah ; ia seorang yang hanya kepadanya saja menyembah; sehingga ketika mendapati perintah puasa, ia pun meyakini kewajibannya. Tak mungkin Allah memberi pahala kepada seseorang yang melakukan suatu amalan, sedang ia tidak beriman kepadanya. Sejatinya ketika itu, amal yang ia lakukan bukanlah bentuk ketaatan atau ibadah kepada Allah ; meski bisa saja bentuk perbuatannya serupa dengan amalan yang Allah perintahkan. Ada tendensi lain dari perbuatannya tersebut; mungkin bisa saja untuk kemaslahatan materi, atau non materi. Yang jelas bukan karena iman kepada Allah; bukan karena hendak mencari pahala dari Allah. Bagaimana ia hendak mencari pahala dari Allah, sedangkan ia tidak beriman kepadanya ?!

    Seperti diungkapkan para ulama, puasa yang sebenarnya itu tidak bisa dimasuki unsur riya; berbeda dengan ibadah lain. Orang bisa menampakkan shalatnya, zakatnya, hajinya, dan lainnya. Namun tidak dengan puasa. Seseorang yang berpuasa karena Allah, bisa saja orang yang di sampingnya tidak tahu secara pasti apakah ia berpuasa ataukah tidak ? Namun, bisa saja seseorang bersembunyi dan berbuka tanpa diketahui orang lain.
    Jadi, dalam ibadah lain mungkin bisa saja kemasukan unsur riya, karena memang ibadah-ibadah tersebut tampak dan terlihat orang lain, namun puasa berbeda. Tak ada yang bisa mengetahui sejatinya kecuali Allah, karena itulah Allah berfirman dalam hadis qudsi :

    اَلصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي

    Puasa itu adalah milik-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Ia meninggalkan syahwatnya, makannya dan minumnya karena Aku (Muttafaq ‘Alaih)

    Abu Ubaid dalam kitab Gharibnya berkata : telah kita ketahui bahwa segala amal kebajikan adalah untuk Allah. Dialah yang membalasnya. Menurut hemat kami Wallahu a’lam bahwa Allah mengkhususkan puasa untuknya, tidak lain karena ketika anak Adam melakukannya, itu (bahwa ia benar-benar berpuasa) tidaklah nampak. Karena puasa itu tidak lain adalah sesuatu yang ada di hati.

    Al Qurthubi berkata seperti dinukilkan Al Hafizh Ibnu Hajar : karena amalan amalan itu dijangkiti oleh riya, sedangkan sekedar melakukan puasa tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka dari itu Allah menisbatkannya kepada Dirinya. Sebab itulah Allah berfirman dalam hadis tersebut: ia meninggalkan syahwatnya karena Aku.

    Sedangkan Ibnul Jauziy berkata : Semua ibadah bisa diketahui ketika dilakukan. Dan apa yang tampak dari ibadah-ibadah tersebut sedikit yang selamat dari noda, namun tidak demikian dengan puasa (Fathul Bariy, 4/107)

    Sehingga bisa dikatakan ; bahwa karena amalan manusia bisa dijangkiti riya, maka amalan tersebut di nisbatkan kepada mereka. Namun berbeda dengan puasa (yaitu bahwa puasa secara hakiki tidak dimasuki riya). Karena secara lahiriyah ; keadaan orang yang menahan diri tidak makan tidak minum dan semacamnya karena sudah kenyang, bisa jadi keadaannya juga serupa dengan keadaan orang yang menahan diri dalam rangka taqaruub kepada Allah. Yaitu sama dilihat dari lahiriyahnya saja.

    Maka siapa saja yang melakukan amalan dengan tendensi manfaat duniawi; seperti untuk mendapatkan pujian, untuk meraih reputasi baik di mata orang lain; atau hanya sebatas bentuk rutinitas atau kesehatan belaka; maka di akhirat ia tak mendapat bagian pahalanya. Nabi ﷺ bersabda

    بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلَادِ وَالنَّصْرِ وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ وَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ بِعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا فَلَيْسَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ

    Beri kabar gembira umat ini dengan kegemilangan dan kekuatan kedudukan di bumi serta kemenangan dan kemantapan dalam agama. Barang siapa di antara mereka yang beramal amalan akhirat karena tujuan dunia, maka tak ada bagian untuknya di akhirat (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan lainnya)

Wallahu A’lam

Sumber :
Majalah As Sunnah, Edisi 12/Tahun XXII/1440 H/2019 M

Amar Abdullah bin Syakir

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

 

Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama
Ramadhan 1442 H / 2021 M

TARGET 5000 PORSI
ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000

Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui

Bank Mandiri Syariah
Kode Bank 451
No Rek 711-330-720-4
A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136

Info Lebih Lanjut Klik Disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *