Puasa adalah ibadah yang agung, dan merupakan salah satu dari rukun Islam. Maka dalam pelaksanaannya, seorang muslim wajib mengikuti ketentuan yang ada, salah satunya adalah definisi dari puasa itu sendiri yang menyebutkan batas waktu dari mulai hingga akhirnya, yaitu menahan lapar, haus dan seluruh hal-hal yang membatalkan seperti senggama, dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Dan terbitnya fajar ditandai dengan Azan Subuh, dan tenggelamnya dengan Azan Maghrib.
Namun patut disayangkan, ada kesalahpahaman yang terus tersebar di tengah kaum muslimin tiap kali Ramadhan tiba, yaitu anggapan bahwa masih dibolehkannya meneruskan sahur atau memakan makanan/minuman yang ada di tangan atau di mulut meski azan sudah berkumandang, yaitu mereka mendasarkan pada dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ)) رواه أحمد وصححه الألباني.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah mendengar adzan sementara piring masih ada di tangannya, maka janganlah meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya”. (HR. Ahmad, dan disahihkan Al Albani)
Dalil ini memang derajat haditsnya sahih, namun pendalilannya yang keliru.
lafaz azan/nida’ dalam hadits di atas bukan dimaksudkan sebagai azan subuh pada bulan Ramadhan. namun azan secara umum di luar bulan puasa, yaitu misalnya seseorang sedang makan, misalnya makan makan malam, kemudian dia mendengar azan Isya, maka tidak mengapa dia tidak bergegas untuk menuju masjid sampai dia menyelesaikan makannya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh Nabi ﷺ, berdasarkan haditsnya:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim)
Atau jika pun ingin tetap memaknai bahwa azan yang dimaksud adalah azan subuh, maka itu adalah azan pertama yang dikumandangkan oleh Bilal, sebagai tanda bahwa waktu shalat subuh sudah dekat. Karena perlu diketahui, bahwa Azan Subuh itu sejatinya dua kali, pertama azan Bilal untuk membangunkan orang-orang, kedua Azan Ibnu Ummi Maktum sebagai azan shalat subuh.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu‘anhum bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
((إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ)) رواه البخاري ومسلم
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di tengah malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Jadi, kesimpulan bahwa masih bolehnya makan ketika azan subuh sudah berkumandang adalah kesimpulan yang keliru karena tidak berdasar, hanya melihat dari sisi tekstual satu hadits itu saja, tanpa memperhatikan maknanya pada hadits-hadits lain.
Dan kesalahpahaman akan kesimpulan hadits ini sejatinya jelas bersebrangan dengan Ijma’ Ulama akan defenisi puasa yang sudah disebutkan di atas, yang mana bersandarkan ayat Allah ﷻ:
((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)) البقرة/187
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. Al Baqarah: 187)
Dan yang terakhir, mungkin sebagian masih juga bertahan dengan kesalahpahamannya dengan berdalil hadits keutamaan mengakhirkan sahur, yaitu riwayat:
زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ ذَلِكَ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
Dari Zaid bin Tsabit dia berkata, kami pernah sahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian kami shalat berjama’ah. Anas berkata, saya bertanya, berapa lama jarak antara sahur dan shalat? Dia menjawab, kira-kira lima puluh ayat. (HR Tirmidzi)
Maka yang dimaksud disini adalah agar sahur tidak terlalu cepat, sehingga akan berakibat pada cepatnya pula datang rasa haus dan lapar, namun agar sahur di dekat waktu subuh, bukan mengakhirnya sahur itu maknanya sampai azan subuh pun masih boleh makan dan minum untuk menghabiskan sisa makanan.
Terakhir sebagai penutup masalah ini, simak Imam An Nawawi rahimahullah berkata di dalam Al Majmu’ (6/333):
“Kami telah menyebutkan bahwa bagi siapa saja yang sudah terbit fajar sementara di dalam mulutnya masih ada makanan, maka hendaknya dikeluarkan dan melanjutkan puasanya, jika ia menelannya setelah tahu bahwa fajar sudah terbit maka puasanya batal, hal ini tidak ada perbedaan di dalamnya”.
Semoga Allah ﷻ mengampuni kesalahan kita yang telah lalu, dan menunjukkan kita dengan taufiknya ke jalan yang lurus hingga meraih surganya.
Ditulis oleh:
Muhammad Hadrami, Lc
Alumni Fakultas Syariah LIPIA Jakarta
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama
Ramadhan 1442 H / 2021 M
TARGET 5000 PORSI
ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000
Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui
Bank Mandiri Syariah
Kode Bank 451
No Rek 711-330-720-4
A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136
Info Lebih Lanjut Klik Disini