Taubat Dari Menganggap Sedikit Kemaksiatan

Syaikhul Islam Al Anshari Al Harawi, dalam matan Manazil As Saairin, berkata

Orang-orang yang berada di maqam pertengahan harus bertaubat dari menganggap sedikit kemaksiatannya. Hal ini disebabkan, dengan menganggap sedikit kemaksiatannya berarti ia telah lancang, menentang, murni mencari pembelaan atas kesalahannya, dan mengundang embargo kepada dan dari Allah

Maksudnya, anggapan seseorang bahwa maksiatnya sedikit adalah dosa, dan sebaliknya anggapan bahwa ketaatannya telah banyak juga dosa. Adapun orang arif adalah orang yang menganggap amal ketaatannya sedikit, sementara di sisi lain ia menganggap dosanya sangat banyak dan besar. Semakin Anda menganggap sedikit kebajikan yang Anda lakukan, semakin besar dan banyak nilainya di sisi Allah. Sebaliknya, apabila Anda menganggap kebajikan yang Anda lakukan besar dan banyak nilainya, maka bagi Allah itu hanyalah sedikit dan kecil. Anda pun bisa membuat kebalikannya. Barangsiapa yang bermakrifat kepada Allah tahu benar apa yang menjadi haknya, apa yang selayaknya ia berikan dalam berubudiah kepadanya, serta ia sadar bahwa dirinya tidak akan selamat dari azabnya dan menganggap bahwa ibadahnya tidak layak bagi keagungannya sehingga ia terus memperbaiki ubudiahnya, maka semua itu adalah hal yang lain. Semakin seseorang menganggap banyak ibadah maka semakin sedikit dan kecil nilainya di hadapannya.

Apabila seorang hamba semakin memperbanyak amal dan ibadahnya, sementara ia selalu menganggapnya sedikit, maka ibadah dan amalnya akan membukakan pintu-pintu makrifat dan kedekatan kepada Allah untuk dirinya. Dengan anggapan bahwa amalnya terlalu sedikit, maka ia akan menyaksikan kebesaran Allah dan keagungannya. Sebaliknya, jika seorang hamba telah menganggap amalannya besar dan banyak maka sebenarnya ia adalah orang yang mahjub (terhalang dari musyahadah), bukanlah orang arif, dan tidak tahu hak-hak ubudiah yang harus ia penuhi untuk Allah. Dengan pemahaman seperti ini dan pengetahuannya terhadap nafsunya, niscaya hamba tersebut akan merasa bahwa dosanya banyak dan besar. Hal ini akan berdampak baik bagi hamba tersebut. Sebab dengan anggapan bahwa dirinya tidak berhak mendapatkan musyahadah karena anggapannya bahwa selama ini dia teledor memenuhi hak Allah maka semua hal ini akan memacunya untuk terus berbenah diri dan memberikan apa yang selayaknya ia berikan sesuai dengan yang disukai dan di ridhai Allah dari sisi mana pun.

Jika hal ini sudah dipahami, maka dengan demikian anggapan bahwa amalnya sudah banyak adalah kelancangan dan ke kurang ajaran kepada Allah. Dengan anggapan yang seperti ini, sebenarnya ia adalah orang yang tidak tahu betapa besar maksiat yang dilakukan dan betapa besar hak Allah yang selama ini diabaikan. Penentangannya itu muncul tatkala ia memandang kecil atau sedikit terhadap kemaksiatan yang dilakukannya sehingga ia menganggapnya sebagai hal yang remeh dan meninggalkan kesan ringan di hati. Ini tidak lain merupakan bagian dari penentangan.

Adapun makna redaksi “murni mencari pembelaan atas kesalahannya” bermakna mencari pembenaran atas keinginan nafsunya serta menampakkan ketidak berdosaannya, terlebih ia melakukan hal itu dengan berdalih untuk bermusyahadah dan berdalih dengan takdir. Seolah-olah ia berkata, “Apa dosaku, padahal yang menggerakkanku bukanlah aku, dan yang berbuat pun bukan aku? aku ibarat jenazah yang berada di hadapan orang-orang yang memandikanku. Apalah arti daya dari orang yang tidak berdaya, dan apalah arti kuasa orang yang tidak berkuasa” Ungkapan-ungkapan seperti ini mengandung kelancangan dan penentangan kepada Allah. Di samping itu, hal ini merupakan pembelaan terhadap nafsu dan memandang remeh dosa dan maksiat, terlebih jika semuanya disandarkan kepada takdir. Akibat pemahaman seperti ini, sudah barang tentu pemahaman tersebut akan menghantarkannya pada pengembargoan. Maksudnya, pemahaman ini dan aplikasinya akan pemutusan rahmat Allah karena dia pun melakukan pemutusan ubudiah kepadanya. Dengan kata lain, ia telah bergabung dengan nafsunya dan setan kemudian berdiri berlawanan menentang Allah. Inilah kondisi orang-orang yang mahjub (terhalang) dan berdalih atas nama takdir terkait dosa yang dilakukannya. Mereka yang berpaham seperti ini menjadi musuh Allah bersama nafsunya dan setan. Posisi yang paling jauh dan terputus dari rahmat Allah inikah yang mereka maksud?

 

Wallahu A’lam 

 

Sumber :

At Taubatu Wal Inabah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pentahqiq: Dr. Muhammad Umar Al Hajj (ei, hal.142-143)

Amar Abdullah bin Syakir

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

 

Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama
Ramadhan 1442 H / 2021 M

TARGET 5000 PORSI
ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000

Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui

Bank Mandiri Syariah
Kode Bank 451
No Rek 711-330-720-4
A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136

Info Lebih Lanjut Klik Disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *