Sebagaimana dilarang mengerjakan shalat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat, tidak diperbolehkan juga shalat dengan pakaian tipis (transparan) yang menampakkan bagian tubuh di baliknya, seperti yang dikenakan sebagian korban mode saat ini. Mereka sengaja melakukan sesuatu yang sebenarnya adalah aib dalam pandang syariat, karena mereka sudah terlanjur menjadi budak hawa nafsu dan tradisi. Parahnya, selalu ada “penyeru kebebasan” yang mengajak mereka untuk menyukai model busana tersebut dan berusaha meyakinkan bahwa busana seperti itu lebih modern dan lebih pantas, serta tidak ketinggalan zaman dan tidak kuno (Fatawa Rasyid Ridha, V/2056)

Termasuk dalam kategori pakaian tipis dan transparan yang tidak diperkenankan dipakai ketika shalat adalah piyama, disydasy (semacam jubah berbahan tipis), dan pakaian yang terbuat dari kain nilon dan sifon.

 

Hukum Shalat dengan mengenakan pakaian tidur atau piyama

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dengan sanad muttasil (bersambung) sebagaimana dalam shahihnya dia mengisahkan: “Seorang laki-laki menghadap Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan bertanya tentang hukum mengerjakan shalat dengan mengenakan sehelai kain (pakaian) saja. Beliaupun menjawabnya dengan balik bertanya :

أَوَ كُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ ؟

“Apakah tiap-tiap kalian mempunyai dua helai kain ?”

Pertanyaan serupa juga pernah disampaikan seseorang kepada Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu. Maka Umar menjawab, ‘Manfaatkanlah kelapangan rizki yang diberikan Allah. Hendaklah seseorang shalat dengan mengenakan sarung dan pakaian atas, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel, atau celana panjang yang lebar dan pakaian atas, atau celana panjang dan gamis, atau celana panjang yang lebar dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis. (HR. al-Bukhari dan lainnya)

Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu penah melihat Nafi’ shalat sendirian hanya dengan mengenakan sehelai kain. Abdullah pun bertanya, ‘Bukankah Allah telah memberimu kemampuan untuk mengenakan dua helai kain? Nafi’ menjawab,’Ya.’ Abdullah bertanya lagi,‘Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan sehelai kain saja ?” Nafi’ menjawab,’Tidak’. Maka Abdullah menyatakan,’Sungguh Allah lebih berhak menjadi tujuan kita dalam menghias diri (Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar)

Begitu pula tidak sepantasnya seorang Muslim shalat dengan memakai pakaian tidur, padahal dia pasti malu mengenakannya saat pergi ke pasar karena memang umumnya tipis dan transparan.

Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullah menyatakan dalam at-Tamhid (VI/369) : “Para ulama menganjurkan orang yang mampu berpakaian untuk menghias diri dengan pakaiannya itu ketika hendak mengerjakan shalat, juga dengan memakai wewangian dan bersiwak.”

Para ulama fikih pun menegaskan pada bahasan syarat-syarat sah shalat, khususnya pada bahasan menutup aurat di dalam shalat, bahwa penutup aurat yang disyaratkan harus tebal, tidak boleh menggunakan kain tipis yang dapat memperlihatkan warna kulit.

Hukum ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, baik ketika shalat sendirian maupun berjama’ah. Jadi, siapa pun yang auratnya terbuka ketika shalat, padahal ia mampu menutupinya, maka shalatnya tidak sah, walaupun shalat itu dikerjakannya sendirian dan di tempat yang gelap. Sebab, terdapat ijma’ yang menyatakan kewajiban menutup aurat di dalam shalat, dan ijma’ itu disandarkan pada ayat :

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Hai anak cucu Adam ! Pakailah perhiasanmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid…(Qs. al-A’raf : 31)

Yang dimaksud “Perhiasan” di sini adalah pakaian, sedangkan yang dimaksud “masjid” adalah shalat. Dengan demikian, makna ayat tersebut adalah kenakanlah pakaian yang dapat menutupi aurat setiap kali kalian hendak mengerjakan shalat. (ad-Diin al-Khalish, II/101 dan at-Tamhid, VI/379)

Hukum Shalat dengan mengenakan disydasy tipis tanpa bercelana

 Sebagian kaum Muslimin shalat dengan memakai disydasy tanpa mengenakan celana pendek di baliknya. Disydasy adalah pakaian sejenis jubah namun terbuat dari bahan yang tipis sehingga dapat memperlihatkan warna kulit.

Apabila kita memperhatikan perkataan Umar bin Khaththab sebelumnya, jelas bahwa menutup aurat ketika shalat hukumnya adalah wajib. Namun demikian Umar tidak bermaksud membatasi jenis pakaian yang dianggap layak untuk menutupi aurat ketika shalat. Akan tetapi, dia menyebutkannya sebatas contoh pasangan pakaian yang dianggap telah dapat menutupi aurat dan umum dipakai masyarakat, sehingga pakaian yang sejenis dengan itupun dapat menggantikannya. Adapun shalat dengan sehelai pakaian saja, yang dipraktikkan sebagian orang ketika itu, hal ini disebabkan oleh kondisi kehidupan mereka yang susah (miskin).

Dari perkataan Umar itu, kita juga bisa menyimpulkan bahwa shalat dengan mengenakan dua helai pakaian lebih utama daripada mengenakan sehelai pakaian. Bahkan, al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan secara tegas bahwa para ulama tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut (Fathul Baari, I/476, al-Majmu‘, III/101 dan Nailul Authar, II/78, 84)

Imam Syafi’i menyatakan : Jika seseorang shalat dengan mengenakan gamis (tipis) yang masih memperlihatkan anggota badan di baliknya, maka shalatnya dianggap tidak sah(al-Umm, I/78)

 

Hukum Shalat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari kain nilon maupun sifon

 Imam asy-Syafi’i mengatakan : Tuntutan terhadap kaum wanita dalam menutup auratnya ketika shalat lebih besar disbandingkan yang dituntut dari kaum laki-laki. Beberapa wanita mengerjakan shalat dengan pakaian panjang dan kerudung yang tipis sehingga masih menampakkan anggota badannya. Saya menyarankan agar kaum wanita menambahkan jilbab (yaitu kain tebal yang menutupi bagian kepala sampai lutut) di samping dua jenis pakaian itu ketika shalat, dan membiarkan jilbabnya melebar agar pakaiannya tidak membentuk badannya. (al-Umm, I/78)

Oleh kerena itu, kaum wanita tidak dibolehkan shalat dengan pakaian transparan, baik yang terbuat dari kain nilon ataupun sifon. Karena kain jenis itu masih menampakkan tubuh orang yang mengenakannya, walaupun dibuat menutupi seluruh badan atau dibuat longgar.

Di antara dalil yang menunjukkan larangan terkait hal tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,

سَيَكُوْنُ آخِرَ أُمَّتِي نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ

Akan ada di tengah-tengah ummatku, pada akhir zaman nanti, para wanita yang berpakaian tetapi sebenarnya telanjang (HR. Muslim dan Malik)

Ibnu Abdil Barr Rahimahullah menerangkan : Yang beliau maksud adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian berbahan tipis dan transparan, sehingga memperlihatkan auratnya dan tidak dapat menutupinya. Wanita seperti ini hanya berpakaian secara lahiriyah, namun hakikatnya telanjang. (Tanwirul Hawalik, III/103)

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah; bahwa ketika datang dari Irak, al-Mundzir bin az-Zubair mengirimi Asma bintu Abu Bakar pakaian yang terbuat dari kain tenun Qahistan-salah satu daerah di Khurasan- yang sangat lembut dan halus. Pakaian ini dikirimkan setelah Asma mengalami kebutaan. Asma pun meraba kain itu dengan tangannya, lalu berkomentar : “Ah, kembalikan pakaian ini kepadanya” Penolakan itu membuat al-Mundzir kecewa, hingga dia bertanya, “Wahai ibu, bukankah pakaian ini tidak tipis ? Asma menanggapi : Walaupun tidak tipis, pakaian itu dapat menggambarkan bentuk tubuh orang yang mengenakannya (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqa al-Qubra, VIII/184)

As-Safarini berkata dalam Ghidza-ul Albab “Pakaian dibuat dari kain yang tipis sehingga dapat menampakkan aurat adalah terlarang dan haram dipakai, baik bagi laki-laki atau pun perempuan. Karena, pakaian seperti itu tidak dapat menutup aurat secara sempurna seperti yang diperintahkan syariat; dan para ulama sepakat mengenai hukum tersebut (ad-Diinu al-Khalish, VI/180)

Asy-Syaukani Rahimahullah menyatakan dalam Nailul Authar (II/115) : Wanita Muslimah wajib menutupi tubuh dengan pakaian yang tidak menampakkan bentuk tubuhnya, dan ini merupakan syarat dalam menutup aurat.

Sebagian ulama fikih menegaskan bahwa memakai pakaian yang masih memperlihatkan bentuk tubuh sama saja seperti tidak berpakaian, meskipun secara lahiriah berpakaian. Karena itulah, shalat dianggap tidak sah apabila mengenakannya. Mereka juga menyebutkan bahwa pakaian kaum Salaf dahulu tidaklah menampakkan aurat atau menggambarkan bentuknya, karena pakaian mereka tidak terbuat dari bahan yang sangat lembut, tidak sempit dan tidak ketat. (Syarh ad-Darir ‘Ala Mukhtashar Khalil (I/82)

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Al-Qaulu Al-Mubin Fii Akhtha-I al-Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *