Imam Al-Jurjani dalam kitabnya, At-Ta’rifat (hal 183), mendefinisikan al-kahin (dukun) dengan kata-kata beliau : “Ialah orang yang biasa memberitahukan tentang kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa di masa mendatang, mengaku mengetahui berbagai rahasia dan ilmu tentang alam ghaib”.
Fenomena perdukunan adalah salah satu fenomena menyimpang yang paling berbahaya dalam kehidupan ummat manusia sepanjang sejarah, karena ia mengancam aqidah dan merusak tauhid. Dan dukun adalah salah satu musuh utama para nabi dan rasul pembawa panji aqidah dan pengemban risalah tauhid. Dengan demikian para dukun juga merupakan musuh bagi kaum mukminin (orang-orang yang beriman) dan bahkan bagi ummat manusia seluruhnya, karena perdukunan menjadi salah satu penghalang utama di jalan lurus menuju tauhid dan iman yang murni kepada Allah ta’ala.
Penyimpangan dan pertentangan perdukunan terhadap aqidah Islam bersifat menyeluruh, meliputi semua sisi dan aspeknya. Diantara aspek-aspek penyimpangan tersebut adalah sebagai berikut.
Sebagaimana definisi dukun menurut Al-Jurjani diatas, esensi perdukunan adalah pengakuan seseorang bisa mengetahui tentang alam ghaib. Ini adalah penyimpangan aqidah yang paling mendasar, bahkan merupakan kekufuran, karena tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah semata (lihat QS Al-An’am (6) : 59 dan QS An-Naml (27) : 65). Bahkan rasul pun tidak bisa mengetahui tentang alam ghaib, kecuali sebatas yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (lihat QS Al-An’am (6) : 50 dan QS Al-Jinn (72) : 26-27).
Salah satu kaidah dasar yang tidak bisa dipisahkan dari perdukunan adalah bahwa dukun dalam menjalankan praktek perdukunannya senantiasa bekerjasama dan meminta pertolongan serta bantuan dari jin dan syetan, baik dalam menyampaikan hal-hal ghaib (yang kebanyakannya hanyalah dusta belaka), dalam aktivitas-aktivitas perdukunan yang lainnya seperti mengobati (yang biasanya hanya bersifat pengelabuan), maupun dalam memiliki ”kelebihan-kelebihan” tertentu (yang biasa dikenal sebagai kesaktian untuk semakin menguatkan kedukunannya). Hal ini merupakan penyimpangan yang besar karena dua hal.
Pertama, meminta bantuan kepada jin dan syetan adalah haram dan terlarang (lihat QS Al-Jinn (72) : 6).
Kedua, tidak mungkin mereka memberikan bantuan dan pertolongan secara cuma-cuma, akan tetapi pasti ada kompensasi dan imbalannya (lihat QS Al-An’am (6) : 128).
Imbalan atau kompensasi tersebut adalah berupa ketaatan dan khidmah (pelayanan dan pengabdian) yang harus diberikan oleh dukun kepada jin dan syetan tersebut. Oleh karena itu, dalam hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dukun disebut sebagai wali atau kekasih jin dan syetan pencuri dengar berita langit. Sehingga dengan demikian, tidaklah ada orang yang memiliki khadam (pelayan dan pembantu) dari golongan jin kecuali setelah orang tersebut telah terlebih dahulu menjadi khadam bagi jin tersebut, karena hanya Nabi Sulaiman sajalah yang diberi kekuasaan istimewa oleh Allah untuk bisa menundukkan jin tanpa kompensasi (lihat QS Shaad (38) : 35-38).
Umumnya dukun adalah juga penyihir, sementara sihir adalah dosa besar yang disejajarkan dengan syirik dan para ulama menghukuminya sebagai kekufuran berdasarkan firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2) : 102. Dukun penyihir merupakan penjahat tersadis yang pengecut karena ia menyakiti dan bahkan membunuh seseorang tanpa dengan mudah bisa diketahui siapa pelakunya. Bahkan, korban bisa jadi malah dibuat meminta pertolongan kepada dukun penyihir tersebut sementara yang tertuduh adalah orang lain. Ini termasuk diantara penyebab utama fitnah dalam kehidupan masyarakat.
Seorang dukun diposisikan seperti nabi dan rasul dalam dua hal. Pertama, ia diminta untuk menyampaikan berita-berita ghaib. Kedua, ia sangat ditaati oleh masyarakat yang mempercayainya sebagaimana seorang nabi dan rasul ditaati atau bahkan lebih dari itu. Oleh karena itu, pada zaman kekosongan nabi dan rasul, perdukunan menjadi sangat marak dan merajalela, sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyah pra-Islam, khususnya di kalangan bangsa Arab, karena terputusnya kenabian di kalangan mereka. Dengan demikian, dukun merupakan pesaing utama para nabi. Bahkan para nabi palsu kebanyakannya adalah para dukun.
Dukun adalah pendusta besar, setidak-tidaknya karena tiga hal. Pertama, ia mengaku mengetahui yang ghaib dan ini jelas-jelas adalah kedustaan yang nyata. Kedua, pembantunya dari kalangan jin adalah juga tukang berdusta sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadits kisah Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Ketiga, sejak diutusnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, para jin tidak lagi bisa mencuri berita ghaib dari langit, berbeda dengan jin pada zaman sebelumnya (lihat QS Ash-Shaaffaat (37) : 6-10, QS Al-Jinn (72) : 9, dan hadits riwayat Bukhari Muslim), sehingga berita yang mereka sampaikan kepada para dukun pastilah kedustaan pula.
Karena berbagai penyimpangan besar diatas, yang sangat membahayakan aqidah ummat, maka diharamkan atas setiap muslim mendatangi dukun, peramal, penyihir, dan semacamnya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal dan membenarkan apa yang ia katakan maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam” (HR Ashhabus Sunan dan Al-Hakim). Dan dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa mendatangi seorang peramal lalu bertanya kepadanya tentang suatu hal maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”.
Jadi, kita harus benar-benar waspada terhadap fenomena perdukunan yang sangat marak saat ini, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, dan jenis terakhir inilah yang bahkan saat ini lebih banyak. Wallahul Musta’aan.
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet