Maqashid (Tujuan) Pelarangan Riba

Maqashid (Tujuan) Pelarangan Riba

Di antara maqashid larangan riba adalah :

Pertama, Uang tidak boleh menjadi komoditas yang diperjual belikan sehingga uang tidak melahirkan uang tetapi uang-sesuai fungsinya- menjadi alat tukar dalam sirkulasi barang dan jasa.

Kedua, Karena dalam riba qardh, al-ghunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmu (risiko), hasil usaha (al-Kharraj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman) ; al-ghunmu dan al-kharraj muncul hanya dengan berjalannya waktu.

Padahal dalam bisnis selalu ada kemunkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang di luar wewenang manusia adalah bentuk kezhaliman. Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi’ah, yakni terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya uncertain (tidak pasti) menjadi certain (pasti).
Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak lain.
Jadi, menggunakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan.

Ketiga, riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah

‘ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

(setiap pinjaman yang memberikan manfaat –kepada kreditor- adalah riba).

Dalam perbangkan konvensional, riba nasiah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan giro dan lain-lain. Bank sebagai kreditor yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarannya tetap dan ditentukan dahulu di awal transaksi (fixed and predetermind rate).
Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman ini tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermind, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung, yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.

Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (mu’awadhah). Jadi, transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi bermotif bisnis.

Keempat, mencegah para rentenir berbuat zhalim kepada penerima pinjaman karena praktek riba berarti pemberi pinjaman mengekploitasi penerima pinjaman dengan meminta bunga atas pinjaman yang diberikan.
Wallahu A’lam

Sumber :
Dinukil dari ‘Riba, Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah’, penulis : Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P. dan Dr. Oni Sahroni, M.A., penerbit : Rajawali Pers, Cetakan ke-3, Juni 2018, hal.13-14

Amar Abdullah bin Syakir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *