Membuang Kebiasaan Riba dalam Kehidupan
Pembaca yang budiman,
Dalam rangkaian ayat-ayat tentang riba, Allah azza wa jalla berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebaikan, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati (Qs. al-Baqarah : 277)
Dalam naungan kesejahteraan inilah ada keamanan yang dijanjikan Allah –سبحانه وتعالى- untuk masyarakat muslim yang membuang kebiasaan riba dari kehidupan mereka, menyingkirkan kekufuran dan perbuatan dosa, serta membangun kehidupan ini di atas keimanan, amal shaleh, ibadah (shalat), dan zakat.
Di dalam naungan kesejahteraan ini pula Allah menyeru kepada orang-orang yang beriman dengan seruan pamungkas supaya mereka menjauhkan dari kehidupan mereka sistem riba yang kotor dan menjijikan itu. Jika tidak, maka genderang perang ditabuh oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada keringanan, penundaan, dan pengakhiran. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) [البقرة : 278 – 279]
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Qs. al-Baqarah : 278-279)
Teks ayat di atas mengkritik keimanan orang-orang mukmin terhadap perintah meninggalkan sisa-sisa riba. Maka, mereka tidak bisa disebut mukmin, kecuali mereka bertakwa kepada Allah dan meninggalkan apa yang tersisa dari riba (di masa lalunya). Mereka bukanlah seorang mukmin walaupun menyatakan diri bahwa mereka beriman. Sungguh tidak ada iman tanpa ada ketaatan, kepatuhan, mengikuti apa yang diperintahkan Allah. Teks al-Qur’an tidaklah mengajak mereka pada hal-hal Syubhat.
Al-Qur’an juga tidak menyeru manusia untuk menyembunyikan ketidaktaatan dan ketidak relaan terhadap apa yang disyariatkan Allah di balik kalimat iman. Tidak pula menyeru untuk tidak menjalankan syariat tersebut di dalam kehidupannya dan tidak menjadikan syariat itu sebagai hukum di dalam muamalah sehari-harinya.
Maka, orang-orang yang memisahkan antara berakidah dan bermuamalah dalam beragama maka mereka bukanlah orang yang beriman. Meskipun dia menyeru dan menyatakan keimanannya itu dengan lisan mereka. Atau sampai dengan menyatakan bahwa mereka beriman dengan syiar ibadah yang lain, tetap saja sejatinya mereka tidaklah beriman. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Qs. al-Baqarah : 278)
Dan sungguh Allah telah meminta supaya mereka meninggalkan apa yang telah berlalu dari riba. Dia tidak menyeru mengambil kembali sisa-sisa riba itu dari orang-orang yang menjadi korban praktek riba. Juga tidak memperbolehkan mengambil sesuatu dari sumber-sumber harta mereka seluruhnya atau sebagiannya dikarenakan harta riba itu sudah tercampur di dalamnya.
Hal ini dikarenakan tidak ada pengharaman tanpa adanya nash (Teks ayat atau hadis), tidak pula ada hukum tanpa perundang-undangan. Perundang-undangan itu sendiri dilaksanakan dan dijalankan hukum-hukumnya setelah terbitnya syariat tersebut.
Adapun orang-orang yang telah melakukan riba di masa sebelum turunnya pengharaman riba maka urusannya dikembalikan kepada Allah, tidak kepada hukum undang-undang. Dengan demikian, Islam menjauh dari kejadian-kejadian yang bisa mengguncang perekonomian dan permasalahan sosial yang besar, walaupun Islam menjadikan pemberlakukan sariat tersebut sebagai hukum yang reaksioner.
Itulah undang-undang Islam yang diberlakukan untuk mengarahkan, menjalankan, membersihkan, menumbuhkan, dan meninggikan derajat kehidupan manusia yang sesuai dengan keadaan dunia nyata.
Di waktu bersamaan, Islam mengorelasikan antara klaim keimanan manusia dengan penerimaan dan pelaksanaan undang-undang ini di dalam hidup mereka sejak diturunkan dan diajarkannya syariat ini.
Bersama dengan ini, bertambahlah perasaan-perasaan takwa kepada Allah di dalam hati mereka. Perasaan itulah yang menggantungkan Islam kepada pelaksanaan syariat-syariatnya. Lalu Islam membuatkan jaminan yang tersimpan dalam diri setiap orang yang memiliki jiwa melebihi jaminan-jaminan yang ditanggung oleh syariat itu sendiri
Kemudian, dibuatkan baginya jaminan-jaminan pelaksanaan syariat ini dengan sesuatu yang tidak bisa dijamin oleh undang-undang konvensional yang hanya bersandar pada kontrol eksternal saja. Betapa mudahnya mencurangi kontrol eksternal ketika tidak ada nurani yang berdiri menjaganya dalam bentuk takwa kepada Allah, sang penguasa semesta. Ini adalah bagian dari motivasi.
Wallahu A’lam
Sumber :
Tafsiir Aayaat ar-Riba, Sayyid Quthb Ibrahim Husayn asy-Syadzili, (ei, hal.79-83)
Amar Abdullah bin Syakir