Agungnya Ilmu..

Rasulullah ﷺ mengatakan,

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar mapun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fatimah radhiallahu ‘anha mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar Ash- Shiddiq untuk meminta diberikan bagian dari harta Rasulullah ﷺ . Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan jawaban bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda,

“Sesungguhnya harta peninggalam kami tidak dapat diwarisi, Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR. Muslim 3/1380)

Abu Bakar Ash-Shiddiq menjelaskan bahwa para nabi tidak memberi warisan dari dinar dan dirham. Adapun warisan ilmu, itulah warisan para nabi. Oleh karenanya dalam hadits ini Nabi ﷺ mengatakan bahwa barangsiapa yang mengambil bagian dari warisan tersebut (yaitu ilmu), maka dia mendapat bagian warisan yang amat besar. Oleh karenanya jika Anda ingin mengambil warisan dari para nabi, maka bacalah Alquran, hadits, dan penjelasan para ulama tentang ilmu tersebut.

Maka keterangan di atas menunjukkan bahwa tatkala Nabi ﷺmengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, Nabi ﷺ ingin menjelaskan bagaimana dekatnya kedudukan para ulama dan para nabi. Maka sebagaimana dekatnya kedudukan ahli waris dengan pemberi warisan, maka seperti itulah kedekatan kedudukan antara para ulama dan ara nabi.
Inilah sebagian kecil dari hadits-hadits yang menunjukkan agungnya ilmu. Maka hendaknya seseorang meyakini bahwa menuntut ilmu adalah suatu ibadah, dan jangan sampai dia menuntut ilmu namun tidak merasakan bahwa dia sedang beribadah. Oleh karenanya juga hendaknya seseroang tatkala menuntut ilmu dia memerhatikan niatnya. Dalam suatu riwayat Imam Ahmad berkata kepada muridnya
“Tidak ada keutamaan yang setara dengan keutamaan ilmu (agama) bagi siapa saja yang niatnya benar (ikhlas).” Kemudian Imam Ahmad ditanya, “Bagaimana cara seseorang niatnya menjadi benar (ikhlas)?” Imam Ahmad berkata, “Dalam menuntut ilmu hendak seserang

berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan juga menghilangkan kebodohan dari orang lain.”
Maka jangan kemudian Anda menuntut ilmu dengan niat tampil, atau ingin diakui sebagai murid ustaz fulan, atau bahkan mencari dunia. Akan tetapi tatkala Anda sedang menuntut ilmu, pasanglah dua niat sperti di atas bahwa Anda menuntut ilmu untuk mengangkat kebodohan dari diri sendiri dan orang lain. Tatkala seseorang bisa menuntut ilmu dengan keikhlasan, maka Allah akan berkahi dia dan dia akan mendapatkan pahala yang besar.
Maka setelah kita mengetahui akan agungnya ilmu, pertanyaan selanjutnya adalah kepada siapa kita mengambil ilmu? Ketahuilah bahwa ilmu merupakan perkara yang besar. Ada sebuah kisah yang menarik dari Imam Malik. Suatu ketika ada orang yang melakukan perjalanan selama enam bulan untuk bertanya tentang suatu masalah kepada Imam Malik. Dia berkata kepada Imam Malik,

“Wahai Aba Abdillah, aku datang kepadamu dari jarak enam bulan perjalan, penduduk negeriku menugaskanku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.” Imam Malik berkata “Tanyakanlah!”. Maka orang tersebut bertanya sesuatu permasalaha. Imam Malik menjawab, “Aku tidak bisa menjawabnya”. Orang

tersebut kaget, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segalanya. Kemudian orang tersebut berkata, “Lalu apa yang akan aku katakana kepada penduduk negeriku jika aku pulang kepada mereka?” Imam Malik menjawab: “Katakan kepada mereka bahwa Imam Malim berkata ‘Saya tidak bisa menjawabnya”. (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/838 no. 1573)
Kisah lain juga disebutkan bahwa Imam malik sangat tidak senang dengan orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada orang yang bertanya kepadanya dengan mengatakan, “Wahai Imam Malik, saya memiliki pertanyaan yang ringan”. Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan “Tidak ada yang ringan dalam perkara Agama karena Allah ﷻ berfirman,

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat (Alquran).” (QS. Al-Muzzammil : 5)

Maka karena ilmu agama adalah perkara yang berat, maka ilmu agama sangat agung. Sehingga seseorang hendaknya mengagungkan ilmu tersebut dengan selektif dalam mencari sumber ilmu yang agung tersebut. Dalam hadits Rasulullah ﷺmenyuruh kita selektif dalam memilih teman. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Perumpamaan teman yang salih dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan pandai besi. Perumpaan penjual minyak wangi adalah bisa jadi akan menghadiahkan kepadamu atau kamu membeli darinya, atau kamu akan mendapatkan bau wanginya. Sedangkan pandai besi hanya akan membakar bajumu atau kaum akan mendapatkan baut tidak sedapnya.” (HR. Bukhari 7/96 no. 5534)

Dalam hadits yang lain Rasulullah ﷺ bersabda,
“Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman.” (HR. Ahmad 2/3342 no. 8398)
Oleh karenanya pepatah Arab mengatakan, “Sahabat itu menarik.”

Tatkala kita sedang menjalin persahabatan, maka pasti akan terjadi sinkronisasi. Entah kita akan menjadi seperti sahabat kita atau dia (sahabat) akan menjadi seperti diri ktia. Jika tidak terjadi keduanya, maka pasti akan putus persahabatan tersebut. misalnya jika seseorang dsering bergaul dengan orang yang mulutnya senantiasa berkata-kata kotor dan ghibah, maka dia akan terbawa pada sifat berkata-kata kotor dan ghibah tersebut. Adapaun jika seseorang sering bergaul dengan orang yang rajin ke masjid dan ke majelis ilmu, maka dia akan terbawa sifat rajin ke masjid dan ke majelis

ilmu pula. Mau tidak mau akan terjadi singkronisasi antar sahabat, karena sahabat itu akan menarik sahabat yang lainnya.
Jika ternyata untuk memilih teman harus selektif, maka bagaimana lagi dengan memilih guru agama yang dari mulutnya kita menjadikannya akidah di dalam hati kita dan kita bertemu dengan Allah dengan keyakinan tersebut? Maka hendaknya seseorang berhat-hati dengan tidak menjadikan sembarang orang sebagai sumber ilmu agamanya. Sebagai conto, sebagian orang terkadang dalam perkara dunia seperti kesehatan dia tidak ingin sembarang dalam memilih dokter untuk melakukan operasi terhadapnya. Bahkan terkadang sebagian orang rela membayar mahal agar dia mendapatkan dokter yang betul-betul ahli dalam bidang yang dia inginkan dan agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganan medis tersebut.

Tidak perlu jauh-jauh, seseorang yang sakit sederhana saja, terkadang dia pun pilih-pilih dokter yang menurutnya lebih baik dari segi pelayanan atau yang lainnya. Kemudian contoh lain juga tatkala seseorang hendak mengambil guru untuk mengajarkan anaknya dalam perkara dunia, maka pasti dia selektif dalam memilih guru tersebut. Maka apabila seseorang selektif mengambil orang dalam perkara-perkara dunia, terlebih lagi dalam ilmu agama, hendaknya seseorang selektif dalam memilih guru agama.

Perkara selektif dalam memilih guru agama merupakan hal yang sangat dituntut di zaman sekarang. Karena pada zaman sekarang ini sudah sangat sulit untuk membedakan mana yang benar seorang ustaz dan mana yang ustaz karbitan. Pada zaman sekarang semua orang bisa berbicara masalah agama hanya melalui suatu tulisan dan kemudian sebab pandainya dia dalam beretorika maka diangkatlah dia oleh masyarakat sebagai ustaz. Padahal tatkala berbicara

permasalahan yang lain dia tidak tahu sama sekali. terlebih lagi jika ustaz tersebut adalah ustaz yang fleksibel dalam hukum hala-haram, sehingga masyarakat mendapatkan apa yang mereka cari yaitu penghalalan dalam perkara yang ustaz lainnya mengharamkan seperti musik. Ini adalah contoh sederhana dan kita baru berbicara tentang hukum, belum lagi ketika kita berbicara tentang akidah. Dan hal-hal seperti ini benar terjadi di zaman sekarang, dimana seseorang sangat mudah menjadi ustaz atau memberi fatwa.
Di zaman Imam Malik, beliau memiliki guru yang dikenal dengan sebutan Rabi’ah Ar-Ra’yi. Nama beliau adalah Rabi’ah bin Abi Abdirrahman yang merupakan salah seorang tabi’in. Imam Malik meriwayatkan,

“Seorang laki-laki mengbarkan kepadaku bahwa suatu ketika dia datang menemui Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, lalu ia melihatnya sedang menangis. Lallu laki-laki terssebut berkata: “Apa yang membuatmu menangis? Apakah ada musibah yang menimpamu?” Maka Rabi’ah berkata: “Tidak, aku menangis karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa, sehingga muncullah kerusakan besar di tengah agama Islam ini. Sebenarnya, sebagian orang yang lansang berfatwa, lebih pantas untuk dipenjara dibandingkan para pencuri.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/1225 no. 2410)

Lihatlah bahwa Rabi’ah menangis lantaran ada orang yang tidak memiliki ilmu, akan tetapi dimintai fatwa. Padahal perkara tersebut adalah hal yang besar dalam agama. Rabi’ah sedih karena merasa tidak ada pengagungan terhadap ilmu, sehingga orang-orang bisa mengambil ilmu dari siapa saja. Padahal orang tersebut tidak memiliki landasan agama sama sekali, bahkan mungkin baru sebulan hijrah mendalami ilmu agama kemudian telah berani berkomentar masalah agama.

Tentunya kita akan sangat senang tatkala melihat saudara kita yang lain hijrah. Akan tetapi tidak serta merta setelah hijrah langsung menjadi ustaz. Kalau hanya sekedar menjadi motivator dalam mengajak seseorang berhijrah dengan kisahnya adalah hal yang boleh. Akan tetapi jangan langusung menjadi ustaz yang bisa mengomentari berbagai macam perkara agama. Fenomena seperti ini banyak terjadi, dan dahulu saya pernah mendengar bahwa di Mesir banyak orang yang baru hijrah kemudian langsung berceramah. Dan para ulama mengingkari hal-hal tersebut. ketahuilah bahwa fenomena seperti ini adalah perendahan terhadap ilmu.

Kemudian ketahuilah bahwa Rabi’ah wafat pada tahun 136H. Kemudian perkataan beliau di atas, kembali dinukil oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziah yang wafat tahun sekitar 750- anH dan berkata, “Bagaimana jika saja Rabi’ah melihat orang di zaman sekarang ini (semangat berfatwa)?” Maka kita juga ikut mengatakan bahwa bagaimana jika Rabi’ah hidup di zaman sekarang, terlebih lagi di Indonesia yang sangat banyak orang menggampangkan untuk berfatwa? Bisa jadi mungkin beliau akan menangis setiap harinya.
Terkadang kita melihat ada seorang ahli kimia yang berbicara sesuai bidangnya, akan tetapi kita lihat bahwa tidak

ada orang yang berani mengomentarinya karena menyadari bahwa dia tidak ahli dibidang tersebut. Begitupula dengan masalah kedokteran, tidak semua orang berani mengomentari. Akan tetapi yang mengherankan adalah kenapa jika hal tersebut adalah urusan agama yang merupakan syariat Allah ﷻ, semua orang berani berkomentar? Padahal mereka mungkin adalah orang yang baru belajar agama, tidak mengetahui bahasa Arab, dan bahkan tidak pandai membaca Alquran dengan benar. Jika matematika yang salah dalam menghitung akan menghasilakan kesalahan yang besar, maka bagaimana lagi jika seseorang salah dalam berbicara urusan syariat agama.

Jika pada akhirnya kita salah dalam memilih guru, kemudian darinya kita mendengarkan dan menyerap berbagai macam syubhat, perkara yang tidak jelas, dan ilmu akidah yang menyimpang, maka kita akan kerepotan nantinya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. maka jangan membuat susah diri kita dengan mendengarkan berbagai macam syubhat. Cukupkan diri dengan mendengarkan ilmu dari orang yang kita tahu bahwa dia berada di atas ilmu yang benar. Oleh karenanya mengingat di zaman ini betapa banyak orang yang pandai berbicara agama, maka hendaknya seseorang selektif dalam mencari ilmu dan guru agama. Karena sesungguhnya setiap orang akan bertemu Allah dengan ilmu tersebut, maka jangan sampai seseorang salah dalam berkeyakinan.

diambil dari buku DR. Firand Andirja- Agungnya Ilmu dengan sedikit perubahan

Imam ibn Zuhri 

25 Dhul Qadah, 1441

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *