Antara Taubat dan Derajat
Ketika seseorang bertaubat dari dosanya, apakah ia akan kembali ke derajatnya seperti semula sebelum ia melakukan dosa tersebut ?
***
Sebagian kelompok berkata :
“Ia akan kembali ke derajatnya semula karena taubat akan menghapuskan dosa secara menyeluruh dan menjadikannya seperti tidak pernah ada.”
Kelompok lain berkata :
“Ia tidak akan kembali ke derajatnya seperti semula, karena ia tidak berada dalam diam, akan tetapi naik dengan dosa yang dilakukannya maka ia seolah-olah turun, namun apabila ia bertaubat turunnya pun berkurang, maka ketika itu ia siap untuk naiK kembali.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-semoga Allah merahmatinya- berkata :
“Pendapat yang benar adalah bahwa di antara orang yang bertaubat itu ada yang kembali ke derajatnya seperti semula dan ada juga yang kembali ke derajat yang lebih tinggi sebelum ia berbuat dosa, ia menjadi lebih baik daripada sebelum berbuat dosa sebagaimana Dawud juga ia menjadi baik dibandingkan sebelum ia berbuat kesalahan.”
Ibnul Qayyim-semoga Allah merahmatinya- berkata :
“Di sini terdapat contoh yang bisa dijadikan perumpamaan, yaitu seorang laki-laki yang berjalan menyusuri jalan dengan tenang dan aman. Ia sesekali berlari dan sesekali berjalan, sesekali istirahat dan sesekali tidur. Ketika keadaannya seperti itu, di tengah perjalanan nampaklah sebuah bayangan yang teduh, air yang dingin dan kebun yang berbunga. Jiwanya kemudian mengajak orang tersebut untuk turun ke tempat itu, ia pun turun ke sana.
Lalu dari tempat tersebut terdapat musuh yang melompat, ia menangkap orang tersebut dan mengikatnya, ia melarang orang itu untuk melanjutkan perjalanan. Kehancuranpun nampak jelas baginya, ia mengira bahwa ia terputus dari perjalanan tersebut, ia merasa menjadi rizki bagi ketakutan dan binatang buas, ia merasa terhalang untuk mencapai tujuannya. Ketika ia merasa seperti itu, ia pun terlepas dari perasaannya tersebut ketika tiba-tiba ayahnya yang merasa kasihan kepadanya berada di sampingnya, ia melepaskan lengan dan ikatannya. Ayahnya pun berkata kepadanya : “Jalanlah dan hati-hatilah terhadap musuh ! Karena ia berada di rumah-rumah sepanjang perjalananmu sembari mengintaimu. Ketahuilah bahwa selama engkau berhati-hati terhadapnya, engkau terjaga dalam kehati-hatianmu, ia tidak bisa menguasaimu.
Namun apabila engkau lalai maka ia akan melompat menujumu. Aku akan mendahului menuju rumah, dan aku akan lebih dulu sampai di sana, maka ikutilah aku melalui jejak yang aku tinggalkan.” Ketika laki-laki itu sudah merasa kuat, pintar, cerdas akal dan pikirannya selalu terjaga, ia pun telah siap untuk menghadapi perjalanannya dengan persiapan yang lain, lebih kuat, dan lebih berhat-hati. Ia telah bersiap-siap menghadapi musuh dan telah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi baginya, maka perjalanannya yang kedua ini ia hadapi dengan keadaan lebih kuat dan lebih baik dari sebelumnya.
Akan tetapi apabila ia lalai dalam menghadapi musuhnya seperti dahulu, dengan tanpa kurang dan lebih, tanpa kekuatan, tanpa kehati-hatian dan tanpa persiapan maka ia akan kembali seperti dahulu sebagaimana ia pada perjalanan pertama, ia akan ditampakkan baginya kebun sebagaimana terjadi pada saat perjalanan yang pertama. Meskipun pada saat itu ia merasakan keterlamabatan dalam perjalanannya, merasakan kesegaran, mencium bau yang wangi, merasakan kebaikan dari kebun tersebut dan mampu merasakan segarnya air yang ada di sana, akan tetapi ia tidak akan bisa kembali melanjutkan perjalanannya dan perjalanannya akan berkurang dari seharusnya.”
Wallahu A’lam
Sumber :
Al-Bahrur Raa-iq Fii Zuhdi Wa ar-Raqa-iq, Dr. Ahmad Farid (ei, hal. 253-254)
Amar Abdullah bin Syakir