Ibnul Qayyim-semoga Allah meridhainya- berkata : Jenis zina yang paling besar adalah seorang berzina dengan istri tetangganya, karena kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh zina berlipat ganda dengan berlipat gandanya keharaman yang dilanggar, maka berzina dengan perempuan yang telah bersuami lebih besar dosa dan hukumannya dibandingkan berzina dengan perempuan yang belum bersuami karena di dalam perbuatan tersebut terkandung pelanggaran terhdap kehormatan suami, perusakan terhadap “ranjangnya”, mengaitkan nasab selainnya kepadanya, dan lainnya dari bentuk-bentuk perbuatan buruk terhadapnya, maka ia lebih besar dosa dan kejahatannya daripada berzina dengan perempuan yang belum bersuami. Jika suaminya adalah tetangganya, hal itu ditambah dengan hubungan yang buruk dengan tetangga (Mawarid azh-Zham’an, 5/108)
Sebelumnya telah dijelaskan kepada’ Anda bahwa ketika Nabi-shallallahu ‘alaihi wasalam- ditanya “Dosa apa yang paling besar ?” Beliau menyebutkan syirik, kemudian membunuh (jiwa tanpa alasan yang haq) , kemudian berzina dengan istri tetangga. Dan diriwayatkan secara shahih dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Tidak akan masuk Surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.
Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dengan redaksi ,
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوْا مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : اَلَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman. Mereka bertanya, “Siapakah itu, wahai Rasulullah ? Nabi menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya. (Shahih al-Bukhari)
Dan tidak ada gangguan yang lebih besar daripada berzina dengan istrinya, lalu jika tetangga tersebut merupakan saudara atau salah seorang dari kerabatnya, maka hal itu ditambah lagi dengan memutuskan hubungan kekeluargaan sehingga dosanya berlipat danda, dan jika tetangga tersebut sedang tidak ada di rumah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan shalat, menuntut ilmu, dan berjihad, maka dosanya semakin berlipat ganda.
Hingga sesungguhnya orang yang berzina dengan istri pejuang yang berperang di jalan Allah akan diberhentikan pada hari Kiamat, dan dikatakan kepada si pejuang itu,”Ambillah kebaikan-kebaikannya sebanyak apapun yang engkau kehendaki, dan dia pada saat itu sangat membutuhkan kebaikan meskipun hanya satu kebaikan di mana seorang bapak tidak akan meninggalkan untuk anaknya, begitu juga seorang teman tidak akan meninggalkan untuk temannya satu hak pun yang harus ditunaikan.
Apabila kebetulan perempuan tersebut adalah istri tetangganya dan tetangganya tersebut adalah kerabatnya maka hal itu ditambah dengan memutuskan hubungan kekeluargaan, lalu pabila kebetulan laki-laki pezina itu telah menikah, maka dosanya semakin besar, lalu jika ia telah berusia lanjut , maka dosanya semakin besar, dan dia adalah salah satu dari tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak akan disucikan oleh-Nya, dan akan diberikan adzab yang besar, lalu jika perbuatan nistnya itu dilakukan pada bulan haram, atau negeri haram, atau waktu yang diagungkan di sisi Allah, seperti waktu-waktu shalat dan waktu—waktu diijabahinya doa, maka dosa dan hukumannya berlipat ganda. Kepada Allahlah kita memohon pertolongan (Mawarid azh-Zham’an, 5/109)
Disebutkan dalam tafsir Ruh al-Bayan karya al-Barusawi al-istambuli, “Zina yang paling parah adalah seorang laki-laki menceraikan istrinya, dan dia tetap tinggal bersamanya dengan melakukan perbuatan haram namun ia tidak mengakui hal itu di hadapan manusia karena takut menanggung malu, maka bagimana bisa dia tidak takut bahwa dia akan dipermalukan di akhirat pada hari seluruh rahasia ditampakkan, yakni semua hal yang disembunyikan akan diperlihatkan, maka waspadalah, jangan sampai anda dipermalukan pada hari itu, tinggalkanlah perbuatan zina dan jangan bersikukuh melakukannya, karena sesungguhnya Anda tidak akan mampu menghadapi azab Allah, dan bertobatlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.
اِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا
Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa : 116)
Sumber :
Wa Laa Taq-rabuu al-fawaahisya, Jamal Abdurrahman Ismail (ei, hal.32-36)
Amar Abdullah bin Syakir