Pertanyaan :
Syaikh utsaimin pernah ditanya oleh seorang muslimah bernama Majidah dari Makkah, seraya megatakan, “Syaikh saya ingin bertanya tentang mengulangi umrah berkali-kali di bulan ramadahan “, apa hukumnya ?
Beliau –semoga Allah merahmatinya-menjawab :
Pengulangan umrah beberapa kali yang dilakukan dalam satu kali safar, bukan termasuk petunjuk Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula merupakan petunjuk para sahabat beliau, sejauh yang saya ketahui. Inilah dia Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- setelah manaklukan kota Makkah pada bulan ramadhan pada 20 ramadhan atau sekitar itu, beliau tinggal selama 9 hari di Makkah, tidak ada berita yang valid bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar ke tan’im untuk melakukan Umrah padahal hal tersebut sangat mudah untuk beliau lakukan. Demikian juga dalam kasus Umrah al-Qadha, beliau masuk Makkah dan tinggal di sana selama 3 hari, beliau tidak melakukan seperti umrahnya yang pertama, sementara kita yakin bahwa tak seorang pun yang sangat suka untuk melakukan ketaatan kepada Allah daripada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- , dan kita pun yakin, andai kata “pengulangan umrah beberapa kali yang dilakukan pada satu safar” termasuk syariat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam rentang waktu yang singkat tersebut niscaya beliau telah menjelaskannya kepada umatnya baik dengan perkataan ataupun dengan tindakan ataupun dengan penetapannya. Namun, kita tidak dapati hal tersebut, maka dengan ini kita tahu bahwa hal tersebut tidak termasuk bagian dari syariatnya.
Dan bahwasanya tidak termasuk sunnah seseorang mengulangi umrah yang dilakukannya dalam satu kali safar. Oleh karenanya, cukup baginya dengan umrah yang pertama yang ia lakukan kala ia datang dari negerinya.
Hal lain yang menunjukkan ini juga (yakni, tidak disyariatkannya mengulangi umrah beberapa kali dalam satu kali safar-pen) adalah bahwa ketika Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengutus Abdurrahman bin Abi Bakr bersama dengan saudarinya ‘Aisyah (istri Nabi) ke Tan’im, ‘Aisyah berihrom untuk melakukan umrah sementara Abdurrahman tidak berihrom untuk umrah. Kalaulah seandainya telah ma’ruf dikalangan mereka (disyariatkannya) mengulang kembali umrah (dalam satu kali safar) tentunya Abdurrahman berihrom pula untuk umrah agar ia tidak terlewat untuk mendapatkan pahala, karena ia tengah berada di dalam daerah haram dan ia harus bersama dengan saudarinya, namun begitu Abdurrahman tidak berihrom untuk umrah.
Yang mena’jubkan adalah bahwa orang-orang yang melakukan hal tersebut, yakni, mengulangi melakukan umrah dalam satu kali safar, mereka berhujjah dengan hadis ‘Aisyah. Namun, sebenarnya hadis ‘Aisyah tersebut menjadi bumerang bagi mereka bukan menjadi hujjah bagi mereka. Karena, ‘Aisyah –semoga Allah meridhainya- melakukan hal tersebut karena ia telah tertinggal dari melakukan umrah yang pertama. Karena Aisyah berihrom dari Hudaidah kala Nabi pertama kali datang ke Makkah, Aisyah berihrom (untuk umrah) dari Hudaidah kala awal kedatangan Nabi ke Makkah, namun di tengah jalan Aisyah mengalami haid di daerah syarif, Nabi menemuinya sementara ia tengah menangis, kemudian Aisyah menghabarkan kepada beliau tentang apa yang telah terjadi pada dirinya berupa haid maka Nabi memerintahkan untuk memasukan haji ke umrah, maka Aisyah berihrom untuk haji, Aisyah tidak melakukan tawaf, tidak juga sa’i kala kedatanganya pertama kali ke Makkah. ‘Aisyah towaf dan sai setelah itu, dengan demikian, ‘Aisyah menunaikan haji menyendiri dan umrah menyendiri. Ketika ‘Aisyah usai dari menunaikan ibadah haji, ‘Aisyah meminta kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk menunaikan umrah, ia mengatakan, ‘manusia akan pulang membawa (pahala) ibadah haji dan pahala umrah, sementara aku akan pulang hanya membawa pahala haji saja. Lalu, Nabi memberikan izin kepadanya untuk melakukan umrah, maka segera saja ‘Aisyah pergi ditemani saudaranya Abdurrahman sementara Abdurrahman tidak berihrom untuk umrah. Andai saja hal ini –yakni, mengulang umrah- merupakan sunnah secara mutlak yang disyariatkan untuk dilakukan oleh manusia secara umum niscaya nabi menyarankan Abdurrahman untuk berihrom beserta dengan saudarinya (Aisyah) atau Abdurrahman langsung berihrom beserta Saudarinya (tanpa menunggu perintah Nabi) sehingga hal itu menjadi legitimasi dari Rasulullah terhadap umrah yang dilakukannya tersebut, namun kesemuanya ini tidak terjadi.
Dan, kita katakan jika seorang wanita mengalami seperti yang dialami ‘Aisyah, yakni ia melakukan haji tamattu’ namun ia mengalami haid sebelum sampai ke Makkah untuk melakukan umrah secara terpisah, maka ia boleh untuk melakukan hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah. Dengan demikian, kasus ‘Aisyah ini adalah kasus yang bersifat terbatas, bukan berlaku umum untuk siapa pun. Oleh karena itu, kita katakan kepada si penanya ini, “jangan lakukan umrah berulang kali dalam satu kali safar”. Lakukan umrah yang pertama kala kedangan mu pertama ke Makkah, dan cukuplah hal itu ! dan sebaik-baik petunjuk itu adalah petunjuk Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- . Inilah yang benar dalam masalah ini.
….
Sumber :
Dialihbahasakan dari https://www.youtube.com/watch?v=IHOr8jkuGUM, dengan sedikit gubahan
Amar Abdullah