Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya-meriwayatkan bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi seorang lelaki yang menuntun badanah (unta yang akan dijadikan sebagai “hadyu” yang akan disembelih di Makkah dan dibagikan kepada orang-orang fakir Makkah dalam aktifitas haji tamattu’ atau qiran), lalu beliau mengatakan kepada orang tersebut : tunggangilah badanah ini ! lelaki tersebut mengatakan : sesungguhnya hewan ini adalah badanah (unta yang akan dijadikan sebagai hadyu). Maka, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan kepada lelaki tersebut : tunggangilah badanah ini ! , celakalah kamu !
(HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, 3/626, hadis no. 1690, Muslim, 9/79, hadis no. 3198)
@ Ihtisab
dalam Hadis :
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama,
Berihtisab (amar ma’ruf Nahi Munkar) terhadap orang yang membawa serta atau menuntun hewan sebagai hadyu (dalam haji tamattu’ atau qiran) sementara ia enggan menungganginya.
Kedua, Teguran dan hardikan
keras seorang muhtasib terhadap orang yang tidak bersegera menjalankan perintah (kebaikan yang diperintahkan kepadanya).
&
Penjelasan :
- Berihtisab (amar ma’ruf Nahi Munkar) terhadap orang yang membawa serta atau menuntun hewan sebagai hadyu (dalam haji tamattu’ atau qiran) sementara ia enggan menungganginya.
Dulu, orang-orang Arab sedemikian mengagungkan hewan yang akan dijadikan sebagai hadyu. Hadyu tersebut memiliki kehormatan di dalam hati mereka. Kemudian datanglah Islam, maka bertambahlah penghormatan kepada hadyu tersebut, karena hadyu tersebut dikeluarkan untuk mengharap keridhaan Allah, dihadiahkan untuk Ka’bah. Bilamana halnya demikian itu, maka tak sedikitpun hewan hadyu tersebut yang dimanfaatkan oleh orang yang membawanya selagi ia tidak membutuhkannya, karena orang tersebut mengeluarkannya untuk mengharap ridha Allah, maka tak sedikitpun kemanfaatan dari hadyu tersebut yang kembali kepadanya. Namun, bila mana seseorang membutuhkan untuk mengambil sebagian manfaat dari hadyunya tersebut seperti menungganginya, atau memerah susunya, maka hal tersebut tidak mengapa, sepanjang tidak membahayakan hewan hadyu tersebut. Ibnu Khuzaemah –semoga Allah merahmatinya- mengatakan : sesungguhnya Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- membolehkan untuk menunggangi unta sebagai hadyu bilamana orang yang menungganginya tersebut tidak mendapatkan tunggangan yang lainnya. Bukan untuk orang yang mendapati tunggangan lainnya. … kemudian, bilamana orang yang menunggangi hadyu tersebut mendapati tunggangan lainnya, maka ia tidak boleh tetap menunggangi hewan hadyunya tersebut. Ia harus segera turun dari hewan hadyu yang tengah ditungganginya tersebut. (Shahih Ibnu Khuzaemah, 4/149, dan lihat, Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Baththal,3/373).
Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Jabir bin ‘Abdillah pernah ditanya tentang menunggangi hewan hadyu, lalu ia mengatakan, ‘aku pernah mendengar Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “tunggangilah hadyu itu dengan cara yang ma’ruf apabila kamu memerlukannya hingga kamu mandapati tunggangan yang lainnya (HR. Ibnu Khuzaemah, 4/189, hadis no. 2664, Muslim, 9/79, hadis no. 3201)
Oleh karena ini, kala Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- melihat seorang lelaki yang menuntun badanah (unta) (sebagai hadyu) sementara ia butuh untuk menungganginya, maka beliau memberi keringanan kepada lelaki tersebut untuk menunggangi badanahnya tersebut, dan beliau pun memerintahkan kepadanya untuk melakukan hal itu. Maka, ketika lelaki tersebut mengulangi penolakannya untuk menaiki badanahnya tersebut untuk kedua atau ketiga kalinya-sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat imam al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya- maka Nabi mengingingkari orang tersebut, beliau pun menghardiknya dan mencibirnya, beliau mengatakan kepadanya, “naikilah badanah ini, celakalah kamu !”
- Teguran dan hardikan
keras seorang muhtasib terhadap orang yang tidak bersegera menjalankan perintah (kebaikan yang diperintahkan kepadanya).
Apabila seorang muhtasib memerintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan atau melarangnya dari sesuatu kemungkaran, dan ia telah menjelaskan hukum syariat dalam masalah tersebut, sementara pihak yang diperintah atau dilarang tersebut belum saja melaksanakan perkara yang diperintahkan atau belum saja meninggalkan perkara yang dilarang, maka si muhtasib dibolehkan untuk menghardik atau menegur orang yang enggan tersebut, memperingatkannya akan akibat buruk dari keengganannya untuk bersegera melaksanakan perintah tersebut. Si muhtasib juga boleh untuk mencerca orang yang enggan tersebut, terkhusus bila mana Si muhtasib tersebut termasuk orang yang diserahi urusan atau sebagai petugas amar ma’ruf nahi munkar, atau bila pihak yang ditegakkan kepadanya amar ma’ruf nahi munkar tersebut adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya, seperti orang tersebut dari kalangan keluarganya atau anak-anaknya.
Karena, sungguh, Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menghardik lelaki tersebut ketika lelaki tersebut tidak bersegera melaksanakan perintah beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- kepadanya, seraya mengatakan : “naikilah badanah ini, celakalah kamu !” . Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya-mengatakan : di dalamnya terdapat pengulangan fatwa dan anjuran untuk bersegera kepada melaksaanakan pertinah serta hardikan dan cercaan kepada orang yang tidak bersegera menunaikan perintah. (Fathul Baariy, 3/629. Dan, lihat juga, Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Baththal, 3/375)
Wallahu A’lam
Sumber :
Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 226-227
Amar Abdullah bin Syakir