Abdullah bin Abbas Mengingkari Abdullah bin Haris Saat Shalat

Dari Kuraib maula ibnu Abbas, ia berkata, “Sesungguhnya Abdullah bin Abbas pernah melihat Abdullah bin Haris tengah mengerjakan shalat sementara kepalanya terjalin dari belakangnya. Maka, segera saja ia bangkit dan melepaskannya, ternyata Abdullah bin Harits tetap tidak bergeming dan tidak bergerak sedikitpun ketika Ibnu Abbas melakukan hal itu. Lalu, setelah Abdullah bin Haris usai melaksanakan shalatnya, segera saja ia menemui Ibnu Abbas, seraya mengatakan kepadanya,  “ ada masalah apa dengan kepalaku “ ? maka Abdullah bin Abbas menjawab : Sungguh, aku pernah mendengar Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabada :

Sesungguhnya permisalana ini adalah seperti orang melaksanakan shalat sementara dia mengumpulkan dan menggabungkan sesuatu. (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan juga oleh imam Muslim, 4/432, hadis no. 1101)    

       

Ihtisab dalam Hadis :

Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  poin berikut ini :

Pertama, Bersegeranya seorang Muhtasib melakukan pengingkaran terhadap kemungkaran.

Kedua, Seorang muhtasib berusaha mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangannya sendiri ketika dibutuhkan.

Ketiga, Seorang muhtasib hendaknya berupaya mengaitkan hukum dengan dalil-dalil syar’inya dan juga dengan alasannnya jika diketahui.

Penjelasan :

  • Bersegeranya seorang Muhtasib melakukan pengingkaran terhadap kemungkaran.

Seorang muhtasib hendaklah bersegera melakukan pengingkaran terhadap kemungkaran, tidak menunda-nunda untuk memberikan penjelasan dari waktu dibutuhkannya hal tersebut, kecuali bilamana di sana ada kemaslahatan. Inilah dia Abdullah bin Abbas bersegara melakukan pengingkaran terhadap kemungkaran ketika ia melihatnya. Beliau mengingkari tindakan Abdullah bin Haris ketika ia melihatnya tengah mengerjakan shalat sementara kepalanya terjalin dari belakang. Ibnu Abbas bangkit dan menguraikannya, kemudian setelah itu Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya bahwa tindakannya tersebut terlarang. Imam an-Nawawi –semoga Allah merahmatinya-mengatakan :

Di dalam (atsar ini) terdapat (anjuran atau bahkan contoh) beramar ma’ruf dan nahi munkar dan bahwa hal tersebut tidak layak untuk ditunda-tunda (Syarah Muslim, 4/431, dan lihat, Nailul Authar, asy-Syaukaniy, 2/339)

Dan seorang muhtasib hendaknya bersegara melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran, baik mengungkaran tersebut sesuatu hal yang makruh ataupun sesuatu yang diharamkan (oleh syariat), karena Abdullah bin Abbas bersegera melakukan pengingkaran sedangkan kemungkaran yang diingkarinya tersebut bukanlah hal yang diharamkan, namun sesuatu yang makruh (dibenci), sebagaimana yang menjadi kesepakatan para ulama. Imam an-Nawawi mengatakan : di dalamnya (di dalam atsar ini) terdapat larangan melaksanakan shalat sementara bajunya atau kerah bajunya atau yang lainnya, atau kepalanya terjalin atau rambutnya mengikal dibawah imamahnya, atau yang lainnya. Kesemuanya ini terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama, tindakan tersebut merupakan karahah tanzih (Syarah Muslim, 4/431, dan lihat, Shahih Ibnu Khuzaemah, 2/57, dan Nailul Authar, Asy-Syaukaniy, 2/339)

  • Seorang muhtasib berusaha mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangannya sendiri ketika dibutuhkan.

Sesungguhnya mengubah kemungkaran dengan tangan merupakan urutan amar ma’ruf nahi munkar yang terkuat dan tertinggi [1] akan tetapi tidak berarti bahwa hal tersebut merupakan sesautu yang paling utama dalam hal mengubah kemunkaran, hinggapun bagi para penguasa dan orang-orang yang memiliki kewenangan, karena pengubahan kemungkaran dengan tangan secara langsung padahal (kala itu) hal tersebut belum diperlukan, tidak jarang justru banyak menimbulkan fitnah, atau justru pelaku kemungkaran tersebut terus saja melanjutkan kemunkaran yang dilakukannya, atau bahkan hal itu menimbulkan kemungkaran yang lebih besar …  disamping karena telah dimaklumi secara akal bahwa melakukan tindakan menghilangkan kemungkaran dengan selalu menggunakan tangan dalam setiap kondisinya, sementara hal tersebut tidak diperlukan, tertolak pada akal dan fitrah, maka orang yang berakal akan merasa heran terhadap tindakan menggunakan tangan selalu untuk mencegah sebuah kesalahan yang dilakukan sementara hal tersebut tidaklah diperlukan. Hal seperti ini, tidaklah diperintahkan oleh agama, tidak pula penghulu para rasul menyeru kepada hal tersebut … dan sebagaimana telah dimaklumi bahwa seorang dai dan muhtasib mengambil tindakan keras pada tempatnya dan ketika hal tersebut dibutuhkan. Dan, jika hal tersebut ternyata tidaklah diperlukan, maka termasuk kesalahan dan kemungkaran ketika seorang dai menggunakan cara tersebut. Hal ini berlaku hinggapun pada diri orang yang berhak untuk melakukan tindakan tersebut dari kalangan orang-orang yang memiliki kekuasaan atau para penguasa. (Thariquka Ilaa al-Ikhlash Wal Fiqhi Fii ad-Diin, Abdullah ar-Ruhailiy, hal. 175)

  • Seorang muhtasib hendaknya berupaya mengaitkan hukum dengan dalil-dalil syar’inya dan juga dengan alasannnya jika diketahui.

Sesungguhnya tindakan seorang muhtasib mengaitkan hukum dengan dalil-dalilnya dan juga alasan-alasannya akan dapat membantu terwujudnya pemahaman dan penerimaan terhadap ajakannya, karena terkadang orang yang ditegakkan kepadanya amar ma’ruf nahi munkar adalah orang yang belum tahu tentang hukum (perbuatan mungkar yang dilakukannya), maka ketika dijelaskan kepadanya dalil dari kitab atau sunnah terhadap hukum tersebut, hal itu akan lebih memberikan peluang untuk diterima. Dan, demikian pula halnya dengan penjelasan mengenai alasan pengharamannya atau hikmah dari hal tersebut jika diketahui, hal tersebut juga akan membantu tercapainya pemahan terhadap hukum dan penerimaannya. Maka, dari hadis Ibnu Abbas ini, imam an-Nawawi mengatakan : sesungguhnya hikmah dalam larangan dari melakukan tindakan tersebut adalah bahwa rambut akan terikutkan ketika seorang melakukan sujud) (syarh Muslim, 4/431, Nailul Authar, asy-Syaukaniy, 2/339)

Wallahu A’lam

Sumber :

Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 106-107

Amar Abdullah bin Syakir

 

 

 

[1] Lihat, al-Ihya, karya : al-Ghazaliy, 2/326, Majmu’ al-Fatawa, Abdurrahman bin Qasim, 15/329, Ma’alim al-Qurbati, Ibnu al-Ukhuwwah, hal. 22

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *